Rapai Uroeh
Rapai Uroeh Dari Teluk Samawi di Bandar Sumatera
Amin menuturkan tentang rapai dan mengisahkan bagaimana dia memulai karirnya dalam seni warisan indatu tersebut
“Khalifah bertugas menjaga keamanan saat berlangsungnya uroh. Mereka menjaga supaya tim masing-masing yang tengah bertanding tidak saling mencaci, tidak saling mencela dan tidak membuat kerusuhan,” katanya.
Dalam tiap serangkaian acara Rapa’i Uroh biasanya ada beberapa lagu atau ada cara menabuhnya tersendiri. Permainan rapa’i dimulai dengan tabuhan pembuka. Kemudian dilanjutkan dengan syair saleum (salam) dan diakhiri dengan lagu atau syair Burak Meunari.
Amin membacakan penggalan dari syair Burak Meunari.
“Burak meunari adoe e ateuh rueng gunong. Bak cabeueng bungong limpeuen ngon kala.” (Aceh, terjemahan: Burak menari wahai adik di atas punggung gunung, di cabang kembang limpan dan kalajengking).
“Bek gundah hate peularha bayeuen. Kureung umpeuen jipo lan rimba. Musem mu'ue jiwo saboh. Musem keumeukoh jiwo bandua.” (Jangan gundah hati memelihara beo. Kurang makanan ia terbang ke rimba. Musim menanam kembali satu, musim panen nanti kembali keduanya).
Umumnya, setiap acara Rapa’i Uroh diadakan akan berlangsung selama dua jam dengan sekira tujuh irama lagu dan masing- masing setiap lagu tabuhan membutuhkan waktu sekira 15 menit.
“Dalam keadaan kurang beruntung, terkadang irama lagu tabuhan tak sempat dimainkan seluruhnya disebabkan tabuhan kubu penabuh sebelah lebih kencang. Di saat seperti itu terkadang tinggal menunggu lagu terakhir Burak Meunari,” kata Amin.
Dalam kancah dunia rapa’i sekarang, Amin telah menjabat sebagai kali. Seorang kali bertugas mengontrol memandu suara tabuhan saat tengah uroh. Meski tinggal di kawasan Lhokseumawe yang berdekatan dengan pusat peradaban Pasee di seputaran kawasan Geudong, Aceh Utara, Amin belum pernah memainkan rapa’i uroh dong (Rapa’i Pasee).
Kata Amin, bahan untuk kulit Rapa’i Uroh Duek adalah kulit kambing yang dikeringkan, berukuran sedang. Sementara Rapai Pasee, baloh-nya berukuran lebih besar, membutuhkan kulit yang lebih besar dan tata cara mainnya juga berbeda.
Jika rapa’i berbahan baku langka, yaitu baloh-nya (ring) dibuat dari akar pohon Tualang. Akar Tualang yang membentangi sungai gunung (melintang jurang) adalah terbaik untuk baloh rapai. Untuk baloh rapa’i langka tersebut akan digunakan kulit kambing terbaik.
Rapai dengan baloh langka seperti itu memiliki kekuatan tersendiri, gemanya sangat kuat menggelegar, atau dengan istilah lain disebut “meujen”.
Rapa’i semacam ini disebut “rapai ulee” (rapa’i pemimpin), suaranya terdengar lebih nyaring menggelegar membuat rapa’i lain tanpa sadar mengikuti irama tabuhannya. Grup yang memiliki rapa’i ulee selalu memenangkan tunang (pertandingan rapa’i uroh).
Namun, tidak semua orang dapat menjadi penepuk rapa’i ulee. Tidak semua orang dapat memunculkan suara gema menggelegar dari rapa’i ulee tersebut. Terkadang, rapa’i ulee yang memiliki gaung luar biasa dan dianggap memiliki kekuatan gaib serta sering jadi juara di tunang akan dihargai sangat mahal. Ketika pemiliknya sudah uzur, rapa’i ulee tersebut akan jadi rebutan.
Rapa’i yang sudah menjadi legenda seperti itu biasanya akan menjadi “petualang”, sering berpindah dari satu pemilik ke pemilik lain, dari satu kampung ke kampung lain. Rapa’i jenis ini akan terus dibayar dengan harga mahal oleh para pecinta rapa’i sejati
Bercerita tentang rapa’i berdaya sakti tersebut, Amin juga sempat menyinggung soal rapa’i di kulam peninggalan Teungku Chik di Paloh di Meunasah Dayah. Dalam cerita rakyat, kulam misteri itu menyimpan rapa’i Teungku Chik di Paloh.