Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion

Karena Mughayatsyah lah dua Kerajaan Aceh yang berseteru, yakni dinasti Darul Kamal dan dinasti Meukuta Alam, bersatu.

Editor: Zaenal
Dok Pribadi
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

SEANDAINYA Ali Mughayatsyah tak ada, apakah akan ada kerajaan Aceh?

Jawaban logika empirik yang didapatkan, sepertinya tak ada kerajaan Aceh tanpa Ali Mughayatsyah.

Karena dari Mughayatsyah lah dua Kerajaan Aceh yang berseteru, yakni dinasti Darul Kamal dan dinasti Meukuta Alam, bersatu.

Karena ia pula seluruh kerajaan kecil, seperti Daya di pantai barat dan sepanjang Pantai Timur Sumatera, seperti Pedir (Pidie), Pasai, Perlak, Jeumpa, Peusangan, Aru, dan Deli, dipersatukan.

Sultan Ali Mughayatsyah sesungguhnya seorang Sultan Aceh yang kehebatannya sama, bahkan mungkin melebihi kehebatan Sultan Iskandar Muda.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Profesor Nazaruddin Sjamasuddin bahkan dengan berani memberi nilai lebih kepada Ali Mughayatsyah, karena dianggap sebagai pendiri dan pemersatu sejumlah kerajaan kecil di Aceh.

Tidak dapat dipungkiri, sebuah entitas Kerajaan Aceh yang besar dan bersatu adalah warisan dari Sultan Ali Mughayatsyah.

Sulit memilih judul yang tepat untuk Mughayatsyah, apakah dia seorang tentara yang menjadi raja, ataukah seorang raja yang juga tentara.

Resiko kesalahan yang paling kecil adalah, menggelarinya sebagai raja yang juga tentara.

Ia mempunyai nalar dan wawasan yang luar biasa, sekalipun tak ada catatan masa kecil dan remajanya tentang interaksinya dengan dunia luar.

Ketokohan dan kekuatannya terbukti ketika ia berkesimpulan untuk menyatukan seluruh kerajaan kecil menjadi sebuah kerajaan besar, Kerajaan Aceh.

Pada tingkat penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh, kepemimpinannya sudah terlihat dengan jelas.

Kehebatan Mughayatsyah sebagai pemimpin kerajaan besar, adalah kombinasi dari kemampuannya berperang dan memimpin angkatan perang, sekaligus menguasai semua wilayah yang dikalahkannya.

Apa yang juga membuat Mughayatsyah hebat adalah kemampuan yang dimilkinya dalam membaca geo-politik global, tentang ekspansi bangsa-bangsa Eropa pada awal ke 16.

Dengan cepat ia mendefinisikan bangsa Portugis sebagai musuh utama yang mesti diperangi, tidak hanya dengan mengusir dan menunggu Portugis datang ke Aceh.

Mughayatsyah sangat marah ketika melihat Portugis berkeliran di Pasai dan Pidie, termasuk Daya, dan sudah mulai mempengaruhi, bahkan mulai menguasai kerajaan-kerajaan itu.

Ia berperang mengusir mereka dari Aceh.

Pada sebuah titik, walaupun gagal, ia berkeputusan untuk menyerang Portugis di basis komando regionalnya, di semanjung Malaysia, tepatnya di Malaka.

Memang ada sejumlah perlawanan kecil terhadap kedatangan Portugis di sejumlah kerajaan di kawasan, mulai dari Semenanjung Melayu sampai ke Jawa dan Maluku, namun hanya Mughayasyatlah yang punya “nyali” dan otot untuk mendatangi dan mengusir bangsa itu dari sarangnya di Malaka.

Salah satu alasan kuat kenapa Mughayatsyah sangat layak berkualifikasi militer, karena ia memang panglima perang yang sangat tangguh, yang kehebatannya tidak hanya berurusan dengan memerangi dan mengusai kawasan Melayu -Sumatera.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari  Klasik Hingga Kontemporer

Mahakarya Ali Mughayatsyah

Kehebatan dan kedigdayaan Mughayatsyah juga terbukti karena  kemampuannya berperang melawan sebuah bangsa yang peradaban material dan nonmaterialnya, terhebat di Eropa pada masa itu.

Portugis pada abad ke-16, bahkan meninggalkan Belanda dan Inggris jauh di belakang dalam mencari kawasan jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika.

Tranformasi kerajaan Aceh “kecil” yang dimulai dengan amalgamasi dua kerajaan tetangga - kerajaan Darul Kamal dengan kerajaan Meukuta Alam menjadi sebuah kerajaan besar Aceh Darussalam.

Kerajaan baru itu kemudian tumbuh, baik secara wilayah, kekuatan, maupun pengaruh.

Dalam waktu yang tak terlalu lama Aceh kemudian menjadi salah satu kekuatan regional Asia Tenggara.

Capaian itu adalah puncak prestasi, dan mahakarya Ali Mughayatsyah, sehingga dalam perjalanan waktu, seluruh capaian berkutnya semuanya berakar darinya sebagai “pendiri” kerajaan Aceh. 

Ali Mughayatsyah mengusir Portugis dari Daya, Pedir (Pidie), dan Pase, baik yang berdagang maupun yang sudah mulai bekerjasama dan menguasai kerajaan-kerajaan itu.

Pasukan Portugis yang mengusik kerajaan Aceh di perairan Banda Aceh yang dipimpin oleh Gaspar da Costa dikalahkan oleh Mughatsyah pada tahun 1521.

Kemampuannya sebagai pemimpin militer terbukti lagi dua tahun kemudian ketika menghajar pasukan Portugis lainnya yang dipimpin oleh Laksamana Jorge di Brito.

Seperti dicatat oleh Pusponegoro (2010), Mughayatsyah pada tahun 1524 mengalahkan invasi Portugis yang hendak menyerang Banda Aceh di bawah pimpinan Simao de Souza Galvao, dan bahkan kapalnya berhasil dirampas.

Kapal itu kemudian dipersiapkan untuk digunakan oleh Mughayatsyah  memerangi Portugis di Malaka.

Sayang ia mangkat pada tahun 1530, ketika persiapan perang itu sedang dilakukannnya.

Mughayatsyah hanya memerintah sekitar 14 tahun, akan tetapi apa yang dilakukannya memberikan implikasi global pada masa, terutama untuk bangsa-bangsa Eropah.

Tidak hanya itu, lahir dan jayanya kerajaan Aceh sebagai kerajaan Islam dipimpin oleh Mughayatsyah di Asia Tenggara juga menjadi kabar baik bagi Kerajaan Ottoman Turki yang memerlukan aliansi di kawasan Timur untuk menghadapi persaingan dagang dan keamanan kawasan dengan bangsa-bangsa Eropa. 

Warisan terbesar yang diwariskan oleh Mugayatsyah adalah  rasa percaya diri yang luar biasa, baik untuk dirinya dan kerajaan Aceh untuk menjadi sebuah kerajaan besar, dengan menjadikan Portugis sebagai musuh besar abadi.

Cerita Mughayatsyah melahirkan kerajaan Aceh hanya dalam masa 14 tahun, dengan memerangi Portugis adalah sesuatu yang tak terbayangkan pada masa itu.

Kehebatan Portugis menjelajahi dan menguasai berbagai bagian dunia dimulai ketika menguasai kota-kota pesisir  di sepanjang Samudera India yang dimulai dari kawasan Gujarat.

Goa dan Kalkutta adalah dua kota awal yang ditaklukkan oleh Vasco da Gama dan Pedro Avares Cabral pada akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16.

Goa dijajah secara abadi oleh Portugis selama 450 tahun, dan baru diserahkan kepada negara India pada tahun 1961.

Baca juga: Portugis Rela Jauh-jauh ke Timor Leste Demi Kayu Cendana, Kini Kerap Diselundupkan ke Indonesia

Baca juga: Ratusan Tahun Dijajah Portugis & Sempat Jadi Bagian dari Indonesia, Inilah Fakta tentang Timor Leste

Ketekunan Sepenuh Jiwa

Apa yang sangat penting dicatat untuk Mughayatsyah adalah keyakinan besarnya untuk tumbuh dan hadirnya sebuah kerajaan besar yang terhebat di kawasan yang mampu menghadapi kehebatan Portugis.

Kehebatan tentang keyakinan dan percaya diri sering dilukiskan dengan metafora mitologi Yunani kuno tentang seorang seniman, pematung.

Sang seniman yang bernama Pymalion, mengukir patung cantik dari gading.

Karena kecintaannya yang luar biasa kepada patung itu-namanya Galtea, ia tak berhenti memohon kepada dewi Aphrodite untuk menjadikan patung itu  sebagai manusia yang nyata.

Patung yang diukir dengan keyakinan dan ketekunan sepenuh jiwa, akhirnya membuat dewi Aphrodite mengabulkan doa dan harapan Pygmalion.

Mitologi ini menggambarkan tentang sebuah imajinasi yang memiliki kehadiran yang begitu kuat dalam pikiran dan perbuatan yang akhirnya menjadi sesuatu yang kenyataan.

Melahirkan dan mendirikan kerajaan Aceh, apalagi mampu berperang dan mengusir salah satu negara adikuasa Eropa pada abad ke 16 adalah sesuatu yang sangat mustahil pada masa itu.

Mughayatsyah seolah menjadikan dirinya sebagai  Pygmalion dalam melahirkan kerajaan Aceh menjadikan sebagai kerajaan besar dalam masa 14 tahun.

Dalam psikologi kepemimpinan, istilah pygmalion sering diasosiasikan dengan keyakinan dan kesungguhan yang tinggi, yang dimiliki oleh pemimpin.

Keyakinan dan kesungguhan itu kemudian ditularkan kepada bawahannya yang membuat mereka juga yakin dan sungguh-sungguh.

Keyakinan itu membentuk sebuah mekanisme bawah sadar yang  menjadi energi untuk mencapai sesuatu yang diyakini.

Imajinasi-visi yang pada awalnya sangat abstrak dengan ketekunan akhirnya menjadi kenyataan.

Bayangkan saja pygmalion Osama bin Laden yang membuatnya menjadi seorang  manusia “super empowered” melawan AS sebagai “super power” dengan meledakkan gedung ITC New York pada tahun 2001.

Bayangkan juga pygmalion Obama yang memerintahkan pasukan AS mencari dan membunuh Osama pada tahun 2011, yang ibaratnya mencari ranting dalam hutan belantara.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved