Jurnalisme Warga
Mengenal Karawitan dari Alumnus ISBI Aceh
Ketika mendengar kata “karawitan”, maka yang terbayang dalam pikiran saya adalah alunan suara gamelan yang mengiringi pertunjukan tradisional Jawa

OLEH IHAN NURDIN, Jurnalis dan pegiat Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Meureudu, Pidie Jaya
DALAM benak saya, istilah karawitan telanjur identik dengan budaya Jawa.
Setidaknya, ketika mendengar kata “karawitan”, maka yang terbayang dalam pikiran saya adalah alunan suara gamelan yang mengiringi pertunjukan tradisional Jawa seperti wayang atau ketoprak.
Itu sebabnya, ketika saya berkenalan dengan alumnus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Intan Nirmala Sari, saat ia mengatakan lulusan dari Prodi Karawitan di bawah Jurusan Seni Pertunjukan, saya mengulang pertanyaan, “Jurusan Karawitan? Apa yang dipelajari di sana?” “Penamaan karawitan sebenarnya kan untuk Jawa,” Intan mulai menjelaskan, “hanya saja untuk di Aceh, khususnya di ISBI Aceh, yang dipelajari lebih ke musik tradisi yang ada di Aceh, apa pun jenis musik tradisinya masuk ke karawitan,” katanya, Senin (26/7/2022).
Saya mengulik lebih banyak mengapa dara asal Negeri Pala ini melabuhkan hatinya ke ISBI, khususnya di Prodi Karawitan.
Uniknya, hingga kelas dua SMA, aktivitas yang dilakoni Intan hanya di seputar dunia olahraga.
Saat SMP dia atlet badminton andalah sekolah.
Ketika SMA, menjadi atlet karate.
Posturnya memang mendukung sebagai atlet.
Tingginya 169 cm dengan bobot yang ideal.
Baca juga: ISBI Pengawal Budaya Aceh
Baca juga: HAkA dan ISBI Gelar Bu-Moe Fest, Tunjukkan Keprihatinan Perdagangan Ilegal Satwa Liar Melalui Seni
Namun, memasuki kelas tiga SMA hobinya berubah.
Ia justru ingin menjadi seniman, seperti ayahnya yang seorang pelatih tari dan memiliki sanggar.
“Pendorongnya hanya karena orang tua melarang saya masuk polwan.
Mereka beralasan penempatannya nanti akan jauh dari orang tua.
Barangkali karena saya memiliki darah seni dari ayah, larangan ini justru membuat gejolak seni saya bangkit,” ujar perempuan yang lahir di Susoh, Aceh Barat Daya, di tengah huru-hara tumbangnya Orde Baru itu.
Intan pun belajar kibor dan gitar dari ayahnya, Haris Yunardi.
Guru musik pertamanya.
Dari sinilah mulai terbit keinginan untuk kuliah di jurusan seni.
Intan pun bergerilya mencari informasi dan berniat untuk kuliah di Yogyakarta.
Lagi-lagi dilarang.
Sebagai satu-satunya anak perempuan, Intan tak diizinkan jauh-jauh dari orang tua.
Dari almarhum pamannya yang juga Ketua Sanggar Lempia, Zulfi Hermi atau Syeh Emi, Intan mendapat informasi tentang ISBI.
Ia pun jatuh hati pada perguruan tinggi negeri seni budaya yang resmi berdiri pada 6 Oktober 2014 dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Surabaya.
Namun, justru di sinilah persoalannya.
Drama belum berakhir, ibunya yang ia panggil mamak tidak mengizinkan karena ISBI saat itu masih kampus baru, akreditasi belum ada.
“Mamak inginnya saya seperti beliau, menjadi guru, sedangkan saya tidak mau menjadi guru.
Saya maunya murni di seni, tidak untuk mengajar.
Kalau saya kuliah di kampus khusus seni tentunya akan beda kurikulumnya, ketimbang kuliah di jurusan seni yang ada di fakultas keguruan dan pendidikan.
Ini yang memantapkan saya kuliah di ISBI.
” Intan dihadapkan pada syarat yang diberikan ibunya, Mardhannah SAg.
Boleh kuliah di ISBI, tetapi harus mendaftar di Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry terlebih dahulu.
Intan pun memenuhi syarat itu.
Ia mendaftar di Jurusan Sendratasik FKIP USK dan TEN UIN Ar-Raniry.
Ketika proses wawancara di USK dan pewawancara menanyakan mengapa dirinya memilih Jurusan Sendratasik, dengan polos Intan menjawab bahwa itu “syarat” dari ibunya agar dia bisa kuliah di ISBI.
“Tahu apa yang terjadi? Nama saya langsung dicoret saat itu juga.
Di TEN alhamdulillah saya lulus, tetapi saya rahasiakan dari mamak.
Baru saya beri tahu setelah saya lulus dari ISBI,” kenang Intan.
Bekal belajar musik semasa SMA membuat Intan cepat beradaptasi ketika kuliah.
Apalagi keinginan kuliah memang murni kemauan sendiri.
Lebih dari itu, menjadi lulusan ISBI dengan spesifikasi karawitan membuatnya merasa istimewa dan keren karena bisa memainkan alat musik tradisional Aceh yang umumnya dikuasai laki-laki.
Intan mahir memainkan seurune kale, rapa-i geleng, hingga genderang.
“Dari dulu saya memang suka berbeda, tidak suka melakoni sesuatu yang digeluti banyak orang, dan dengan kuliah di jurusan ini sehingga menguasai beberapa alat musik tradisional membuat saya merasa, Wow! Aku keren!” ucapnya.
ISBI Aceh lahir dari embrio ISI Padangpanjang yang sebelum genap setahun usianya sudah melepaskan diri dari sang induk.
Telah memiliki rektor dan menjalankan manajemen sendiri.
Dosendosennya beragam dan berasal dari daerah-daerah seperti Medan, Padang, hingga Bandung.
Belajar di sana, seperti pengalaman Intan, lebih banyak praktik ketimbang teori.
Dituntut berkarya dengan dasar pengetahuan yang kuat; mengapresiasi karya melalui garapan yang baik; dan dirangsang untuk terus berinovasi dengan ide-ide baru.
Calon lulusan bisa mengerjakan tugas akhir berupa minat penciptaan atau pengkajian (skripsi).
Intan sendiri, yang tercatat sebagai angkatan kedua pada tahun 2015, lebih memilih tugas akhir dengan membuat karya penciptaan komposisi musik.
Namun, bukan berarti “bebas” dari menulis.
Ia tetap perlu membuat laporan karya yang berbasis akademik.
Tepat pada malam tahun baru pergantian 2019, Intan menggelar pertunjukan tugas akhirnya.
Karena terhalang pandemi, dia baru bisa yudisium pada Agustus 2020 dan diwisuda pada November.
Lulus dengan IPK 3,67.
Pada akhirnya, sang ibu pun tak lagi mempersoalkan pilihan putrinya yang ingin menjadi seniman.
Intan membuktikan dengan prestasi akademik yang baik.
Kuliah di ISBI membawanya pada kesempatan untuk tampil hingga ke luar provinsi di Sumatra dan Jawa.
Menjadi Mahasiswa Karawitan Berpestasi pada 2018.
Ia juga ditabalkan sebagai Lulusan Terbaik Jurusan Seni Pertunjukan ISBI Aceh pada 2020.
Apalagi, tak sampai setahun lulus, Intan diterima sebagai PNS di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pidie Jaya dengan formasi Pamong Budaya.
Mengikuti jejak karier ayah dan ibunya.
Formasi ini sangat sesuai dengan jurusannya dan pekerjaannya fokus pada empat aspek pemajuan kebudayaan: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan, baik di bidang cagar budaya, nisan kuno, permuseuman, nilai-nilai budaya/tradisi, dan adat istiadat.
Pada tahun ajaran baru ini ISBI Aceh membuka Jalur Mandiri Khusus yang menyasar tiga kelompok calon mahasiswa, yaitu lulusan SLTA sederajat yang memiliki ijazah sepuluh tahun terakhir; memiliki ijazah paket C dengan usia maksimal 35 tahun; dan pelaku seni atau pengurus organisasi seni dengan usia maksimal 40 tahun.
Pendaftaran telah dibuka sejak 14 Juli hingga 4 Agustus 2022.
Kesempatan ini menurut Intan perlu dimanfaatkan dengan baik oleh para seniman di Aceh.
Soalnya, banyak seniman yang “kurang mendapat tempat” atau kapasitas mereka diragukan hanya karena mereka tidak belajar di jalur formal.
“Ini kesempatan yang sangat bagus dan untuk menunjang value si seniman itu sendiri.
Apalagi, kuliah di ISBI juga mencakup tentang manajemen, pengelolaan event, sehingga potensi dunia kerjanya juga bisa lebih luas.
Bisa jadi komposer, koreografer, event organizer, guru kursus, atau di instansi pemerintah.
Artinya, kuliah di ISBI memberikan dua kesempatan sekaligus, menjadi seniman yang akademis,” ujar Intan yang juga menggawangi acehplus di Instagram.
Baca juga: Plt Dirjen Diktiristek Tinjau Pembangunan Kampus ISBI Aceh, Sangat Modern dan Ramah Lingkungan
Baca juga: ISBI Aceh Wisuda 70 Sarjana, Tiga Lulus Cum Laude