Jurnalisme Warga

Menggali Makna Intangible Koin Teluk Samawi

‘Intangible’ dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai aset tak berwujud atau aset nonmoneter yang membawa manfaat ekonomi ke masa depan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menggali Makna Intangible Koin Teluk Samawi
FOR SERAMBINEWS.COM
FARHAN ZUHRI BAIHAQI, Tenaga Ahli Bidang Adat da Kebudayaan Pemko Lhokseumawe serta Koordinator Komunitas Teluk Samawi, melaporkan dari Lhokseumawe

OLEH FARHAN ZUHRI BAIHAQI, Tenaga Ahli Bidang Adat da Kebudayaan Pemko Lhokseumawe serta Koordinator Komunitas Teluk Samawi, melaporkan dari Lhokseumawe

SELASA lalu saya memoderatori diskusi Hasil Kajian Numismatik Teluk Samawi dengan tema Menggali Makna Intangible Koin Teluk Samawi.

‘Intangible’ dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai aset tak berwujud atau aset nonmoneter yang membawa manfaat ekonomi ke masa depan.

Narasumber pada presentasi kajian ini adalah Dr Saifuddin Dzuhri Lc, MA, Hermansyah MTh, MHum, dan Yudi Andika SS.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe.

Pesertanya seratusan orang, terdiri atas berbagai kalangan, baik itu praktisi budaya, akademisi, mahasiswa, Rapa-i Rukon Group, serta kalangan lainnya.

Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe, Drs Ibrahim A Rahman MPd.

Melalui Kabid Kebudayaan Zul Afrizal MA atau yang lebih dikenal dengan Joel Pase mengungkapkan kajian terhadap koin Teluk Samawi ini telah berlangsung selama tiga bulan terkahir.

Lalu, apa yang mendasari koin Teluk Samawi menjadi sebuah kajian yang unik untuk ditelaah? Menurut Dr Saifuddin Dzuhri yang merupakan Dosen FUAD IAIN Lhokseumawe, dulu Teluk Samawi yang sekarang dikenal dengan Kota Lhokseumawe pernah menjadi pusat pemerintahan di akhir kekuasaan Kerajaan Aceh.

Saat itu Sultan Jauharul 'Alam Syah bin Muhammad Syah pindah ke Teluk Samawi dari kota pemerintahannya, Bandar Aceh Darussalam.

Baca juga: Teluk Samawi dan Teluk Jakarta, Bandar Niaga Masa Lalu

Baca juga: Rapai Uroeh Dari Teluk Samawi di Bandar Sumatera

Di sana, sultan yang memiliki wawasan luas dan cakap berbahasa Inggris ini menetap.

Ada tiga faktor yang melatarbelakangi perpindahan kekuasaan Kerajaan Aceh ke Teluk Samawi, yakni pergolakan yang muncul untuk menjatuhkan Sultan Jauharul 'Alam Syah pada waktu itu, juga faktor rial/uang dan kapal.

Memahami sisi koin menunjukkan periodesasi kekuasaan kerajaan.

Setiap periode nakhoda kerajaan silih berganti, begitu juga koin.

Namun, menurut Dr Saifuddin, koin Teluk Samawi mempunyai keanehan pada ornamen dan inskripsi.

Biasanya, koin Kesultanan Aceh itu mempunyai kesamaan konten dalam kedua sisinya.

Bagian sisi muka nama sultan dan di sisi belakang gelar sultan seperti ‘sultan al adil’ dan tanpa ada nama tempat.

Sementara itu, koin Teluk Samawi di sisi muka nama Sultan Jauhar Alam Syah dan sisi belakang nama Teluk Samawi dan tahun 1229.

Nama Teluk Samawi dan tahun inilah yang menjadi pembeda dengan koin lainnya dalam Kesultanan Aceh.

Sementara itu, menurut Hermasnyah yang merupakan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Ar-Raniry, berdasarkan kajian manuskrip tentang Teluk Samawi, dulu pada masa Kesultanan Aceh ada beberapa mata uang yang digunakan sebagai alat tukar.

Di antaranya dirham (terbuat dari emas), kupang (terbuat dari perak), busok (terbuat dari perak), serta keuh (terbuat dari timah/ kuningan).

Selain itu juga digunakan dolar/ringget, meuriam/ringgit Spanyol, gulden Belanda, busok, dan riyales/reil.

Ketua Manassa Aceh ini menjelaskan bahwa sebagian besar kolonial penjajah ingin mata uang mereka yang digunakan di negeri jajahannya dan dapat digunakan untuk perdagangan dan lainnya.

Koin Teluk Samawi tidak terlepas dari teritorial yang dinamai Teluk Samawi sebagaimana judul buku Kapten Laut Belanda, Von Schmidt, yaitu Telok Semawe De Beste Haven op Atjeh's Noordkust (Teluk Semawe Pelabuhan Terbaik di Pesisir Utara Aceh) pada tahun 1887.

Herman mempertegas bahwa koin Teluk Samawi merupakan ‘keuh’ yang terbuat dari timah hitam, dikelurakan oleh Sultan Aceh Darussalam, Jauharul 'Alam Syah di Teluk Samawi.

Pada mata uang ini tercetak dengan huruf Arab (jawiy), nama Jauharul Alam Syah pada sisi depan, sedangkan pada sisi belakang nama tempat dikeluarkan: Teluk Samawi dan tahun pengeluarannya pada 1229 Hijriah (1814 Masehi).

Ketika berada di Teluk Samawi, kepada Jauharul Alam Shah dihadiahkan tanah sebagaimana tertulis dalam manuskrip koleksi Perpusnas RI yang berbunyi, “Sarakata Paduka Seri Sultan ‘Alauddin Jauhar al-‘Alam Shah jauhan tahun 1226 H (1811/12) sepucuk surat akan tuan Abdullah bin Syekh al-Habsyi karuniakan tanah tempat rumah pada [Teluk Samawi] tempat ia duduk hingga di tepi lambungan.

” Sementara itu, Yudi Andika SS selaku Kasi Permuseuman dan Pelestarian Cagar Budaya Disbudpar Aceh, memaparkan bahwa pada masa Kesultanan Aceh mata uang itu sangat beragam dan mata uang terbanyak itu pada masa Sultan Iskandar Muda, ada lima jenis.

Yudi menjelaskan bahwa konflik Kerajaan Aceh Darussalamlah yang melahirkn koin Teluk Samawi.

Selain itu, Yudi menambahkan, menurut hipotesis terdahulu bahwa koin Teluk Samawi sama dalam bentuknya dengan mata uang Meukek dan Trumon di kawasan selatan Aceh.

“Kini kita dapati bahwa koin Teluk Samawi ini dihargai 900.000 rupiah di platform digital marketing,” pungkas Yudi.

Upaya memugar ingatan Sejatinya, manfaat Kajian Koin Teluk Samawi yaitu membangun kembali peradaban di Bandar Teluk Samawi (Kota Lhokseumawe), selaras dengan pandangan Dr Saifuddin Dzuhri yang menyampaikan bahwa kajian koin Teluk Samawi dapat memberi penjelasan tentang identitas Lhokseumawe pada masa dikeluarkan koin Teluk Samawi.

Lebih lanjut juga dapat menjadi kontribusi bagi pemahaman sejarah Aceh, khususnya pada masa Sultan Jauhar Alam Syah.

Selain itu, saat ini di halaman Museum Kota Lhokseumawe atau lebih dikenal dengan MKL sedang dibangun Tugu Koin Teluk Samawi.

Menurut Joel Pase, Tugu Koin Teluk Samawi sebagai representatif keadaan ekonomi Lhokseumawe sebelum era petrodolar hadir, yaitu di masa kesultanan dulu.

Juga sebagai upaya memugar hati dan pikiran masyarakat bahwa Lhokseumawe pernah jaya secara ekonomi dari dulu.

“Sehingga, perhatian kita tidak hanya bertumpu pada kejayaan era petrodolar.

Tugu Koin Teluk Samawi juga dilengkapi dengan kapal Cakradonya di bagian atas sebagai pertanda bahwa perdagangan yang telah berjalan dahulu tidak hanya antarmasyarakat setempat, tapi juga merambah hingga ke suluruh Asia,” kata Joel Pase.

Teluk Samawi, selain sebagai jalur perdagangan juga sebagai pelabuhan singgahan untuk berbagai perbaikan, menyuplai perbekalan, dan memasok batu bara atau air.

Sebagaimana informasi yang saya peroleh dari Website www.mapesaaceh.com/ bahwa kepentingan Teluk Samawi di jalur pelayaran dunia sebenarnya telah diketahui sejak ratusan tahun sebelum kedatangan Von Schmidt (Kapten Laut Belanda).

Sedikitnya, sejak abad ke-7 Hijriah (ke-13 Masehi), sebuah kerajaan Islam telah memantapkan keberadaannya di pesisir teluk ini.

Von Schmidt menyatakan bahwa Teluk Samawi memiliki lokasi yang bagus, di mana dalam waktu yang sama ratusan kapal besar dapat menemukan tempat berlabuh yang bagus, dan kapal-kapal kecil dalam jumlah yang banyak dapat bersandar di dekat pantai.

Bahkan, dalam kondisi angin timur laut yang bertiup terus-menerus, rumpunrumpun bambu dan pantai dapat bertahan di sepanjang laguna yang tidak hanya cocok untuk kapal-kapal kecil, tapi juga untuk kapal yang dapat dilayari.

Wallahu’alam.

Baca juga: Napak Tilas Jalur Rempah di Samudera Pasai Diangkat dalam Film ‘Laguna Teluk Samawi’

Baca juga: Film Laguna Teluk Samawi Garapan Nyakman akan Tayang, Napak Tilas Jalur Rempah di Samudra Pasai 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved