Berita Simeulue

Terdakwa Korupsi Pembangunan Jalan di Simeulue Tetap Dihukum Setahun, Pengacara Minta Dibebaskan

Dimana berdasarkan putusan PT Banda Aceh itu, telah menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 13 Juni 2022 Nomor

Penulis: Sari Muliyasno | Editor: Mursal Ismail
Serambinews.com/Sari Muliyasno
Kejari Simeulue memperlihatkan enam tersangka (baju orange) kasus dugaan korupsi pengaspalan jalan Batu Ragi - Simpang Patriot Kabupaten Simeulue, Senin (17/1/2022). Kini para terdakwa perkara ini masing-masing sudah dihukum setahun penjara. 

Bahwa berdasarkan putusan PT Banda Aceh itu, telah menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 13 Juni 2022 Nomor. 11/Pid.Sus-TPK/2022/Bna yang dimintakan banding oleh Jaksa Penuntut Umum.

Laporan Sari Muliyasno | Simeulue

SERAMBINEWS.COM, SINABANG - Kasibun Daulay, pengacara dua terdakwa korupsi proyek pembangunan ruas jalan Simpang Batu Ragi-arah Patriot di Kabupaten Simeulue, mengatakan pihaknya telah menerima salinan petikan putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Jumat 26 Agustus 2022.  

Bahwa berdasarkan putusan PT Banda Aceh itu, telah menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 13 Juni 2022 Nomor. 11/Pid.Sus-TPK/2022/Bna yang dimintakan banding oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dalam pada putusan tersebut kedua terdakwa, Yusril Aleng dan Aryon Saputra, tetap dihukum satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

"Kami menyambut baik putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang telah menguatkan putusan pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh," kata Kasibun Daulay dalam siaran pers kepada Serambinews.com, Minggu (4/9/2022).

Namun, Kasibun mengatakan putusan ini belum memenuhi rasa keadilan bagi kliennya. 

Baca juga: Polda Aceh Limpahkan 6 Tersangka Beserta Barang Bukti Korupsi Proyek Jalan di Simeulue

Ia mengatakan sudah seharusnya hakim sebagai tempat pencari keadilan memberikan putusan yang layak dan adil, serta melihat perkara ini secara menyeluruh, bukan parsial.

Menurutnya, putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh terhadap perkara ini harusnya bebas (vrijpraak) atau setidak-tidaknya menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.

Pasalnya, menurut pengacara Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan dakwaannya yang meyatakan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 9 miliar lebih.

Hal itu terbukti JPU tidak konsisten dengan dakwaannya sendiri.

Dimana, kerugian negara telah berubah di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum, antara kerugian negara pada dakwaan berbeda dengan tuntutan jaksa, kerugian negara berubah dari Rp 9 miliar menjadi Rp 2,8 miliar saja.  

Baca juga: Polda Aceh Tahan 5 Tersangka Kasus Korupsi Proyek Jalan di Simeulue, Mulai Kadis hingga Rekanan 

Dugaan Korupsi Proyek Jalan di Simeulue Mulai Disidang Tatap Muka di Pengadilan Tipikor, Dulu Online

Pada 30 Maret 2022, Serambinews.com pernah memberitakan perkara ini bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh mulai menyidangkan secara tatap muka perkara dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Simeulue.

Tepatnya dugaan korupsi proyek pembangunan atau pengaspalan jalan dari Simpang Batu Ragi ke arah Simpang Patriot, Simeulue Timur, tahun 2019 - 2020 

Proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang atau PUPR Simeulue menggunakan Dana Otonomi Khusus Aceh atau DOKA Kabupaten Simeulue Rp 12.826.492.000.

Sidang offline atau tatap muka atas perkara ini digelar di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Selasa (29/3/2022). 

Sedangkan sebelumnya, sidang perkara ini digelar secara online dengan posisi para terdakwa di tempat penahanan mereka Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas Kelas III Sinabang, Simeulue.

Baca juga: Polda Aceh Tahan 5 Tersangka Korupsi Proyek Jalan di Simeulue, Rekanan: Tak Ada yang Dikorupsi

Kali ini, sidang lanjutan perkara itu atau perdana digelar secara tatap muka ini menyusul sudah mulai membaiknya kondisi dari pandemi Covid-19, namun tetap mengikuti Protkes.

Dengan demikian para terdakwa yang sebelumnya ditahan di Lapas Sinabang dan menjalani sidang secara online, sejak Rabu (23/3/2022) dialihkan menjadi tahanan kota. 

Pengalihan penahanan ini diberikan majelis hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh agar mereka bisa mengikuti sidang ini secara tatap muka. 

Al-Mirza SH, pengacara Ibrahim, satu dari enam terdakwa perkara ini menyampaikan hal itu kepada Serambinews.com di Banda Aceh, Rabu (30/3/2022) pagi jelang siang. 

Ibrahim adalah Kepala Dinas PUPR Simeulue 2020 atau yang melanjutkan proyek pembangunan ini atau selaku Pengguna Anggaran atau PA lanjutan.  

Sedangkan lima terdakwa lainnya adalah Ihsan selaku Kepala Dinas PUPR Simeulue 2019 atau saat proyek ini berjalan 2019 selaku PA pertama.

Baca juga: BPKP Serahkan ke Kejati Aceh Hasil Audit Dugaan Korupsi Proyek Jalan Muarasitulen-Gelombang

Berikutnya Beureueh Firdaus selaku Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK proyek ini. 

Kemudian Mumun selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan atau PPTK, selanjutnya Aryon selaku Kuasa Direksi PT Intan Meutuah Jaya. 

Terakhir Yusri alias Aleng selaku pelaksana proyek tersebut.

Namun, dari keenam terdakwa ini, hanya Beureueh Firdaus yang tak bisa mengikuti sidang ini secara tatap muka langsung.  

Pasalnya, ia juga sedang menjalani hukuman di Lapas Sinabang atas perkara lainnya. 

"Kami menyambut baik upaya majelis hakim menghadirkan terdakwa ke depan persidangan. 

Dengan demikian hak-hak terdakwa dan hukum benar-benar dapat kita tegakkan di depan persidangan ini," kata Al-Mirza. 

Selama ini, kata Al-Mirza banyak terdakwa mengeluh atas sistem sidang online. 

Pasalnya, saat sidang kerap terjadi gangguan sinyal, listrik padam, dan sebagainya, sehingga terdakwa benar-benar tidak dapat melakukan pembelaan dengan baik. 

Selain itu, kata Al-Mirza, majelis hakim, jaksa, dan pengacara juga sulit menyimak dan mengerti dengan sistem sidang online yang belum ada titik penyelesaiannya tersebut.  

Oleh karena itu, Al-Mirza mengimbau masyarakat tidak salah menilai pemberian penahanan kota kepada para terdakwa karena mereka secara hukum tetap ditahan. 

"Mulai kemarin, klien saya dan empat terdakwa lainnya pun sudah mengikuti sidang ini secara langsung di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. 

Agendanya pemeriksaan saksi mahkota atau pemeriksaan sesama mereka sebagai saksi untuk terdakwa lainnya.

Sedangkan hari ini, Rabu, 30 Maret 2022, lanjut pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum atau JPU dari Kejari Simeulue," kata Al-Mirza. 

Proyek dipindahkan sesuai permohonan warga 

Adapun terkait materi perkara ini, kata Al-Mirza, menurut mereka tak ada yang dirugikan, termasuk negara. 

Pasalnya pembangunan jalan itu tetap dikerjakan, namun hanya digeser, yang semestinya sesuai kontrak dari Simpati Batu Ragi ke arah Simpang Patriot dipindah ke Desa Amabaan. 

"Pemindahan ini juga sesuai permohonan masyarakat secara tertulis karena di lokasi yang sesuai kontrak itu tak banyak penduduk.

Sedangkan ke lokasi yang dipindahkan ke daerah yang banyak penduduk. Jaraknya kurang lebih juga lebih panjang ke lokasi yang dipindahkan. 

Namun, secara umum pembangunan jalan ini 3.000 meter lebih," sebut Al-Mirza. 

Sedangkan terkait tidak ada perubahan kontrak kerja atas pemindahan lokasi jalan ini, kata Al-Mirza, untuk mengejar agar pembangunan jalan itu rampung tanpa melewati batas waktu. 

Hal ini, katanya sesuai keterangan Beureueh Firdaus dalam persidangan sebelumnya.    

"Dengan demikian negara tak dirugikan dan masyarakat sudah menikmati manfaat dari jalan tersebut sesuai permohonan mereka," ujar Al-Mirza. 

Oleh karena itu, Al-Mirza mengatakan dirinya tak sependapat dengan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP Aceh. 

Bahwa BPKP Aceh menyatakan kerugian keuangan negara atas perkara ini Rp 9.032.187.894.00. 

Dari jumlah itu, kerugian negara yang dibebankan kepada terdakwa Ibrahim Rp 3.474.905.693 atas penandatangannya terhadap Surat Perintah Membayar (SPM) 95 persen kemajuan pekerjaan ini. 

Sisanya, lima lima persen untuk uang retensi atau pemeliharaan jalan itu. 

"Nah, semua yang dilakukan itu sudah benar, darimana pula kerugian negara sampai Rp 9 miliar lebih dan Rp 3 miliar dibebankan kepada klien kami. 

Jika kerugian mencapai Rp 9 miliar dari nilai kontrak Rp 12 miliar, berarti pembangunan jalan itu enggak ada apa-apanya. Sedangkan faktanya kan rampung seratus persen.

Ini lah yang sama-sama sedang kita buktikan di persidangan dalam mencari keadilan ini," tandas Al-Mirza. (*) 
 
 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved