Kupi Beungoh

Muhammad SAW Mengangkat Derajat Kaum Perempuan

Islam telah mengatur kodrat laki-laki dan perempuan sesuai proporsinya, sehingga ada peran-peran perempuan yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Ustadzah Nora Maulida Julia SPd. 

Oleh: Nora Maulida Julia, S.Pd | Pengurus ISAD Aceh

SERAMBINEWS.COM - Peran perempuan menjadi salah satu faktor baiknya peradaban dan menjadi aspek penting dalam beribadah kepada Allah.

Pada dasarnya, perempuan memiliki hak untuk dimuliakan. Sejak Rasul diutus, diskriminasi kaum perempuan mulai dihilangkan di dunia.

Beliau mengangkat kembali derajat perempuan sesuai nilai-nilai syariat Islam. Derajat perempuan dan laki-laki dipandang sama, perbedaannya terletak pada "ketaqwaan".

Pada masa jahiliah, perempuan tertindas dan teraniaya, bahkan kelahiran perempuan dianggap “aib” bagi keluarga.

Atas dasar inilah, seolah-olah perempuan tertindas selamanya. Penindasan perempuan yang terjadi setelah Rasul diutus adalah akibat dari gaya masyarakat yang berkiblat pada budaya Barat, yang kerap perempuan hanya dijadikan sebagai obyek seksual dan pemuas hawa nafsu saja.

Perempuan-perempuan Barat yang berpendidikan tinggi, kebanyakan mereka alpa terhadap perannya dalam “mendidik”.

Padahal, peran mendidik adalah fitrah perempuan yang tidak dapat dihilangkan. Sama halnya laki-laki yang memiliki fitrah sebagai “pemimpin”.

Islam telah mengatur kodrat laki-laki dan perempuan sesuai proporsinya, sehingga ada peran-peran perempuan yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki.

Melihat bagaimana kemulian perempuan dalam perspektif Islam, lihatlah dari bagaimana Rasul memuliakan perempuan.

Syariat Islam sangat menghormati, menjaga dan menjunjung tinggi perempuan. Hal ini terbukti dengan adanya syariat Islam yang membela kepentingan perempuan, seperti cara berpakaian, safar, dan pengecualian khusus dalam beribadah.

Pengaturan lainnya tentang nafkah, warisan, wali, dan batasan-batasan Islam terhadap perempuan. Bahkan, dalam syariat Islam, perempuan diberi kebebasan mengembangkan potensi diri.

Pengembangan potensi

Potensi perempuan dapat dikembangkan dengan belajar ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup, yaitu ilmu agama (ilmu fardhu ‘ain). Ini adalah metode dasar, agar perempuan mengenal dirinya, menjadi kuat, dan tangguh.

Perempuan juga akan mampu menjawab tantangan zaman dan layaknya berlian yang diagungkan dalam agama Islam.

Modal iman, ilmu, dan akhlak perempuan mampu menemukan dan pengembangan potensi diri. Namun, tanpa hal itu, perempuan hanya akan menjadi sumber fitnah dan bencana di muka bumi.

Tentang kemuliaan perempuan, Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.“ (HR Tirmidzi)

Hadist tersebut menunjukkan, bahwa manifestasi iman yang baik adalah akhlak yang baik, yang dimulai dari memperlakukan orang-orang terdekat dengan baik.

Orang terdekat itu adalah isteri dan keluarga, karena mereka adalah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik.

Karena itu, kelahiran Nabi Muhammad SAW benar-benar telah memerdekakan hak-hak perempuan dari kejahilan.

Dalam tradisi Aceh, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW biasanya dilakukan dengan “kanduri maulod” selama tiga bulan, yaitu setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, hingga Jumadil Awal.

Dalam tradisi maulod ini, sering kali peran perempuan berada di belakang layar dalam mempersiapkan segala sesuatu, misalnya masak-masak, sedangkan laki-laki berada di garda depan, melayani tamu yang diundang dalam kanduri maulod di meunasah, hingga suksesnya acara tersebut.

Hal ini menjadi unik, karena peran perempuan dalam memperingati maulod di Aceh adalah pendukung syiar, namun posisinya paling utama.

Hal ini bukan berarti bentuk deskriminasi perempuan, namun sebagai wujud menjaga akhlak, kemuliaan dan kehormatan perempuan, yang telah diperjuangkan oleh Rasulullah SAW.

Sejarah Tradisi Maulid

Al – Syaikh Muhammad Illaisy al-Maliki (w.1299 H) dalam kitabnya al-Qaulul-Munji berkata bahwa peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja daerah Irbil bernama Raja Muzhaffar Abu Sa’id pada awal abad ke 7 H. Ibnu Katsir dalam kitab Tarikhnya berkata:

“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid secara besar-besaran, beliau adalah seorang raja cerdik, pemberani, pahlawan, alim dan adil”.

Beliau telah mengadakan sambutan tersebut secara besar-besaran pada bulan Rabiul-Awwal. Beliau mengundang seluruh rakyatnya dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, hadist, tasawwuf, kalam, ushul dan lainnya.

Sebagian tamu yang menghadiri majlis tersebut menceritakan bahwa beliau telah menyediakan sebanyak 5.000 kepala kambing yang dipanggang, 10.000 biji keju dan 30.000 piring berisi manisan.

Para ulama ketika itu dan setelahnya sampai sekarang menganggap perayaan maulid nabi sebagai sesuatu yang baik, bahkan Imam as-Suyuthi menulis karangan khusus tentang maulid yang berjudul Husnu al Maqsid fi ‘Amal al Maulid.

Maka semenjak saat itulah perayaan maulid nabi menjadi tradisi umat Islam di seluruh belahan dunia, termasuk Aceh di setiap bulan Rabi’ul Awwal. (*)

*) PENULIS adalah Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved