Jurnalisme Warga

Ikut Belajar Menulis di Dekranasda Aceh Besar

Saya satu-satunya siswi tsanawiah yang ikut sebagai peserta dalam seminar tersebut, selebihnya berasal dari guru PAUD hingga SMA, mahasiswa, dan umum

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Ikut Belajar Menulis di Dekranasda Aceh Besar
FOR SERAMBINEWS.COM
NABILA ALFATHYA, Siswi Kelas IX Tsanawiyah Baitul Arqam, Sibreh, melaporkan dari Gani, Aceh Besar

OLEH NABILA ALFATHYA, Siswi Kelas IX Tsanawiyah Baitul Arqam, Sibreh, melaporkan dari Gani, Aceh Besar

KAMIS, 24 November 2022, saya berkesempatan mengikuti Seminar Belajar Menulis yang diadakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh Besar yang berada di jalan Bandara Sultan Iskandar Muda, Gani, Kecamatan Ingin Jaya.

Seminar ini terselenggara atas kerja sama Dekranasda Aceh Besar, Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Aceh, dan Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Aceh, dengan Penerbit Erlangga dan mengusung tema Berkarakter Sesuai dengan Kearifan Lokal, Implementasi Kurikulum Merdeka.

Saya satu-satunya siswi tsanawiah yang ikut sebagai peserta dalam seminar tersebut, selebihnya berasal dari guru PAUD hingga SMA, mahasiswa, dan umum.

Saya tak sempat ikut acara pembukaan karena tempat saya tinggal, Tampok Blang Sibreh, saat itu diguyur hujan deras sehingga saya tiba di lokasi setelah acara pembukaan selesai.

Dalam kegiatan seminar tersebut hadir Bunda PAUD Aceh besar, Ketua Himpaudi Aceh, Ketua Himpaudi Aceh Besar, perwakilan BPMP Aceh, Raja dan Ratu Baca Aceh sebagai moderator seminar, serta wartawan senior Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika sebagai narasumber Seminar Belajar Menulis.

Ada tiga hambatan menulis, menurut Pak Yarmen Dinamika dalam presentasinya, Pertama, sebagian orang menganggap menulis itu susah sehingga malas belajar menulis.

Kedua, merasa tidak berbakat sehingga seseorang enggan belajar menulis.

Padahal, menulis itu tidak perlu bakat.

Ia hanyalah minat dan keinginan yang terus diasah dan diapresiasi.

Kita hanya perlu belajar mengembangkan potensi diri agar lebih berkembang sehingga kita bisa membuat sebuah tulisan.

Baca juga: Belajar Menulis di Rumoh Harapan Atjeh

Baca juga: Erina Gudono, Calon Istri Kaesang, Ternyata Suka Budaya dan Fasih Menulis serta Membaca Aksara Jawa

Hambatan ketiga, menurut Pak Yarmen, adalah orang sering merasa bahwa menulis itu tidak ada gunanya sehingga sia-sia saja belajar menulis.

Padahal, dengan menulis, lanjut Pak Yarmen, kita dapat meninggalkan karya atau kenangan melalui tulisan yang apabila suatu saat kita telah tiada dan tulisan itu dibaca dan dikutip orang, atau orang belajar sesuatu dari tulisan itu, maka pahalanya akan terus mengalir tanpa putus kendatipun penulisnya sudah tiada.

Penulis juga akan dikenal oleh banyak orang, sebagaimana sebuah kutipan, “Membacalah agar kamu mengenal dunia, menulislah agar dunia mengenalmu.

” Narasumber juga menyampaikan bahwa kualitas tulisan ditentukan oleh empat hal, yaitu ide, bahan, bahasa, dan teknik penyajian.

Ide tulisan bisa didapat dari berbagai sumber.

Misalnya, dari bahan bacaan, dari obrolan ringan atau diskusi seputar fenomena yang sedang menjadi tren, bahan terinspirasi dari mimpi.

Ada hal unik dan berkesan yang dikisahkan Pak Yarmen dalam menggali ide sebuah tulisan.

Sekitar enam tahun lalu Pak Yarmen pernah diundang BPNB ke Singkil untuk ceramah.

Saat itu masih ada pesawat udara yang melayani rute Banda Aceh dan Medan ke Bandara Singkil.

Sehabis ceramah sekitar dua jam, Pak Yarmen tak bisa langsung pulang ke Banda Aceh.

Ia masih harus menunggu jadwal penerbangan keesokan harinya.

Baca juga: ISAD Umumkan Juara Lomba Menulis Santri Aceh, Ini Nama Pemenang Santriwan dan Santriwati

Daripada nganggur tanpa kesibukan di hotel, Pak Yarmen meminta salah seorang panitia untuk mengantarnya ke rumah pawang buaya karena ia penasaran kenapa semakin banyak buaya di sungai Singkil.

Seingatnya dulu, tidak ada buaya sebanyak saat itu dan sampai memangsa para nelayan pencari lokan dan pencari pucuk nipah untuk dibuat daun rokok.

Pak Yarmen akhirnya diantar ke rumah pawang buaya.

Dengan bahasa Singkil yang fasih dan membuat pawang buaya itu terkejut, Pak Yarmen bertanya tentang fenomena banyaknya buaya di Singkil.

Padahal dulu saat beliau masih kecil, tinggal dan belajar berenang di Sungai Singkil, buaya tidak sebanyak dan seganas saat ini.

Jadi, mengalirlah cerita dari pawang buaya itu bahwa pernah suatu waktu, delapan tahun sebelum kedatangan Pak Yarmen ke rumah pawing buaya, ada beberapa orang Nias datang ke Singkil untuk membeli biawak hidup.

Per kilogram dibayar Rp40.000, maka maraklah perburuan biawak yang membuat biawak menjadi langka.

Di sisi lain rantai makanan pun terganggu, biawak yang sering memakan telur buaya jumlahnya semakin sedikit dan sebaliknya buaya bebas bereproduksi, buaya berkembang biak dengan cepat.

Biawak sebenarnya merupakan predator alami yang memangsa telur-telur buaya betina.

Namun, karena biawak sudah punah, berkembang pesatnya buaya.

Sampai sekarang buaya terus berkembang biak dan sekarang mencapai 3.000 ekor.

Baca juga: Latih Kader Menulis, HMI Lhokseumawe-Aceh Utara Buka Sekolah Jurnalistik

Begitulah jawaban sang pawang buaya tersebut.

Cerita berlanjut saat Pak Yarmen bertanya seberapa banyak buaya yang telah ditangkap oleh pawang buaya tersebut.

Dari obrolan sederhana tadi, Pak Yarmen mendapatkan informasi yang luar biasa bahwa rata-rata buaya yang tertangkap sudah berisi mayat atau tulang beluang manusia di dalam perutnya.

Ada sekitar delapan kejadian seperti itu.

Pawang buaya tersebut pun pernah pula diliput oleh National Geographic TV dalam sebuah film dokumenter.

Di rumahnya ada foto ketika sang pawang berpose di antara buaya dan katanya kepunahan biawak dan merajalelanya buaya-buaya tersebut juga menjadi bahan skripsi anaknya yang kuliah di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.

Di akhir cerita, Pak Yarmen bertanya, dari kisah yang ia sampaikan itu yang mana ide, mana bahan, bahasa, dan yang mana pula teknik penyajian? Ketika pertanyaan itu dilontarkan Pak Yarmen, seorang perempuan guru menjawabnya dengan benar.

Dan ibu tersebut mendapat doorprize buku Penerbit Erlangga yang diserahkan langsung oleh Pak Yarmen.

Pak Yarmen pun menulis dalam bentuk berita untuk koran tempatnya bekerja, Serambi Indonesia, bahwa jumlah buaya di Singkil saat ini mencapai 3.000 ekor.

Itu jumlah buaya terbanyak di seluruh Aceh.

Bagi saya, kisah mengeksplorasi ide yang diceritakan sang narasumber sangat mengesankan.

Prinsipnya, semakin unik ide yang didapatkan untuk menulis, maka semakin baik untuk bahan membuat tulisan yang menarik.

Saya sendiri mulai belajar menulis ketika bersekolah di Pesantren Baitul Arqam.

Ketika belajar menulis perasaan saya sangat senang karena berpikir saya bisa mengembangkan potensi diri melalui tulisan.

Demikian juga saat mengikuti Seminar Belajar Menulis, saya bisa bertemu dengan para pegiat dan praktisi pendidikan serta literasi.

Materi yang dibawakan narasumber sangat bermanfaat dan menambah motivasi untuk berkarya, terutama dalam menulis.

Tampak sekali narasumber sudah ahli dalam bidang kepenulisan dan bisa menyampaikan dengan cara yang mudah dipahami orang lain, bahkan bagi saya yang masih sekolah di tingkat menengah.

Panitia juga menyediakan beberapa doorprize bagi peserta.

Karena seminar ini bekerja sama dengan Penerbit Erlangga, peserta diberikan buku panduan menulis berjudul “Wujudkan Tulisanmu Menjadi Buku, Makes Your Books Comes True!” yang ditulis oleh Ahmad Faizin Karimi.

Peserta juga berkesempatan menerbitkan karyanya jadi buku di Penerbit Erlangga jika terpilih.

Saya berharap semoga di kemudian hari potensi diri saya semakin berkembang sehingga saya dapat membuat sebuah cerita dan cerita saya bisa dicetak menjadi buku. (nabilaalfathya26@ gmail.com)

Baca juga: Menulis Menjadi Keterampilan Dasar di Industri Kreatif

Baca juga: Natasha Rizky Hobi Menulis Sejak SMP

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved