Kupi Beungoh

Anies dan Omongan Kedai Kopi Aceh: “Batat”, “Lisek”, dan “Peurancut” (II-Habis)

Yang menjadi anomali justru Partai Aceh yang bekerja keras membawa nama Prabowo kehilangan 11 kursi, yang sebagiannya beralih ke Gerindra.

Editor: Zaenal
Dok Pribadi
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 

“Batat”  yang berkualitas selalu bersaudara dengan ungkapan “peurancut”- yakni cerdas secara IQ, stabil dan matang secara EQ, dan cerdik dalam taktik dan strategi.

Kesan pertama tentang kepemimpinan Aceh tekstual harfiah sering dikaitkan dengan sopan, sabar, jujur, yang itu semua relatif dimiliki oleh Anies.

Tetapi kesopanan, kesabaran, dan kejujuran yang ditampilkan secara lugu akan menjadi tertawaan dan olok-olok.

Ketiga kata keramat sopan, sabar, dan jujur baru sempurna tampilannya ketika ia dibajukan dengan ungkapan “peurancut.”

Itulah keunikan Anies yang dalam penilaian logika awam kedai kopi Aceh, bukan hanya soal "akhlakul karimah,” tetapi soal kemampuannya memperdayai musuh dan orang-orang yang ingin mencelakakannya.

Lihat saja kasus reklamasi ketika ia berhadapan tidak hanya dengan oligarki, tetapi juga dengan lingkaran kekuasaan pemerintah pusat yang pada awalnya berpikir akan dengan mudah “menghajar”Anies.

Amati juga kasus formula E yang skenarionya telah dipersiapkan jauh hari, bahkan oleh lembaga hebat Republik.

Uniknya, Anies mengarungi tantangan itu dengan kemampuan “peurancut”nya yang jauh di atas rata-rata politisi nasional yang hebat.

“Perancut” dan “batat”, tidak akan bisa berjalan dengan sempurna tanpa ada bawaan alami sikap dan perilaku “lisek”.

Bayangkan saja, elemen waspada, siaga, dan antisipasi yang diperagakan dalam film silat Shaolin, atau film James Bond 007.

Kekuatan fisik dan mental yang hebat, teknik yang mumpuni  hanya akan sempurna kalau sang aktor siap menghadapi berbagai alternatif skenario lawan dengan kecepatan dan kesigapan yang sempurna.

Itulah  arti lisek yang paling minimum, dan Anies telah membuktikannya kepada publik lebih dari itu.

Walaupun “ureung gampong”-orang kampung di Aceh,  tidak mengetahui detail tentang berbagai perlakuan “gorengan” dan “rebusan” yang diberikan oleh kekuasan dan para musuh Anies selama ia menjadi Gubernur DKI, pemilih Aceh tahu ia selamat sampai akhir jabatan, salah satu sebabnya adalah karena “lisek” yang dimilikinya.

Jika semua skenario pencalonan Anies berhasil, akankah ia mendapat 90 persen suara pemilih Aceh, seperti yang dialami SBY?

Peluang itu sangat terbuka lebar, apalagi kalau Anies semakin dihalang-halangi, apalagi ditekan oleh kekuasaan.

Kalau itu yang terjadi, maka pemilih Aceh mungkin akan semakin menyatu dengan Anies.

Bagaimana dengan Prabowo?

Omongan kedai kopi Aceh tentang Prabowo yang bergabung dengan kekuasaan ditanggapi dengan sinis.

Walaupun bagi Gerindra dan Prabowo itu tak lebih sebagai sebuah strategi politik tersendiri, publik kedai kopi melihat itu sebagai pengkhianatan.

Apalagi mayoritas omongan warung kopi Aceh yang melihat “kazaliman” yang dialami Habib Rizieq Shihab, dan boikot terselubung terhadap Ustad Abdul Somad, sebagai sesuatu yang “dibiarkan” Prabowo, walaupun ia ada dalam kekuasaan.

Sukar sekali publik Aceh menerima perlakuan itu dan akan menjadi  catatan yang sangat sulit dilupakan.

Ungkapan kedai kopi dari beberapa orang yang tak setuju terhadap Prabowo pada dua Pilpres “kon ka kupeugah”- kan sudah kuberitahu tentang dia, Prabowo - cukup untuk menangkap bagaimana prospek Prabowo pada Pilpres 2024 di Aceh.

Baca juga: Warga ke Kantor NasDem Aceh Bawa Kupon Sembako yang Ternyata Hoaks, Anies Menyapa di Lapangan Pango

Baca juga: Izin Acara Anies Basweda Dicabut, Nasdem Cari Lokasi Alternatif

Tak Mempan Dinyinyirin

Ada sekelompok “orang nyinyir” di Aceh yang sering menyebutkan, berapalah pemilih Aceh yang hanya sekitar 1 persen dari pemilih nasional, terutama yang calonnya tak pernah menang selama empat kali Pilpres.

Omongan kedai kopi tak peduli dengan statistik itu.

Pemilih Aceh ingat sekali tentang hanya Aceh sendiri yang terus menang Partai PPP selama periode Orde Baru, kecuali pada dua pemilu terakhir Orde Baru.

Orang Aceh tidak pernah merasa kalah, padahal Golkar sudah menjadi partai penguasa selama lebih dari  duapuluh  tahun.

Fakta itu berubah ketika ilmuwan yang juga kental pemahaman islamnya, Ibrahim Hasan membawa “pembangunan” dan logika baru politik nasional, dan politik Aceh yang seharusnya kepada masyarakat.

Golkar kemudian menang dua kali dalam Pemilu 1989.

Ibrahim Hasan  adalah tipikal pemmpin Aceh yang punya kualitas “dunia” dan “akhirat”. Ia juga terkenal karena gayanya yang terkait dengan “batat”, “lisek”, dan “peurancut”.

Akhirnya, tidak sangat sukar untuk Anies mengasosiakan dirinya dengan Aceh.

Kuailitas keislamannya dan kecendikiaanya ditambah dengan “batat”, “lisek”, dan “peurancut”, sudah lebih dari cukup.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved