Kupi Beungoh
46 Tahun GAM, Apa yang Berubah?
Pernah suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman yang juga mantan kombatan: Apa yang dihasilkan dari perang selama 29 tahun?
Oleh: Khairil Miswar*)
Setelah pemberontakan Darul Islam berakhir dengan turun gunungnya Teungku Daud Beureueh, Aceh sempat menghirup udara damai untuk beberapa saat, lalu kemudian kembali bergolak setelah Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.
Kemunculan Aceh Merdeka (AM) yang kemudian populer dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menambah rentetan perang dan konflik yang sambung-menyambung di tanah Aceh.
Sejak saat itu pula Aceh kembali mencekam akibat dentuman senapan dari mereka yang bertikai – sehingga orang-orang tak berdosa pun harus menanggung akibat dari pertikaian yang terjadi.
Dalam kondisi demikian, rakyat harus merelakan diri menjadi tumbal dari saudara-saudara mereka sendiri yang menenteng bedil dan juga dari para serdadu Republik yang datang dari seberang.
Perlawanan bersenjata yang dilakukan GAM selama 29 tahun menyisakan banyak cerita tentang bagaimana duka-duka itu dipahat di tanah Aceh.

Perempuan diperkosa, laki-laki disiksa, orang-orang tak berdosa dibunuh dan anak kecil menjadi yatim adalah sedikit dari banyak kisah menyakitkan yang menemani perjalanan Aceh dari 1976 hingga 2005.
Satu fase tragedi yang tidak bisa dilupakan begitu saja dengan kompensasi apa pun. Dendam mungkin bisa diredam, tapi memori tentang tangisan, jeritan dan ratapan akan terus mengapung dalam ingatan.
Kematian-kematian tak terduga terjadi hampir setiap hari. Mereka yang ditembak aparat Republik akan segera mendapat label sebagai “GAM” atawa pemberontak, meski mereka tak tahu menahu tentang perang yang sedang berlangsung.
Baca juga: Mualem Bentuk KPA Luar Negeri, Teuku Emi Syamsyumi Sebagai Ketua, Menetap di Australia
Demikian pula dengan mereka yang dibunuh oleh “saudaranya sendiri” secara spontan dituduh sebagai “Cuw’ak” atawa pengkhianat tanpa proses “peradilan.”
Dalam kondisi demikianlah rakyat menjadi tumbal yang harus menanggung derita dari pertikaian yang tidak mereka mengerti.
Kita tahu bahwa pada awal perang dimaklumkan, dukungan terhadap perjuangan GAM tidak begitu meriah.
Namun aksi kekerasan, status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer yang dilancarkan Pemerintah untuk meredam perjuangan GAM telah memantik emosi rakyat Aceh untuk kemudian memberikan dukungan terbuka kepada GAM sebagai simbol perlawanan atas “kekejaman” aparat di masa itu.
Baca juga: Abu Razak: Subtansi Perubahan UUPA Harus Berpegang Pada MoU Helsinki
Hari Minggu, 4 Desember 2022, GAM yang dulunya memaklumkan perang telah berusia genap 46 tahun. Dengan kata lain, perjuangan GAM di Aceh telah berlangsung selama 46 tahun; 29 tahun melalui gerakan bersenjata dan sisanya 17 tahun melalui pentas politik.
Lalu apa yang berubah?
Dalam konteks kekinian mungkin pertanyaan ini tidak lagi penting untuk dijawab sebab institusi GAM – meskipun belum dibubarkan, tampak tidak mampu melakukan apa-apa untuk menghadirkan Aceh yang lebih baik pascaperang.
Pernah suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman yang juga mantan kombatan: Apa yang dihasilkan dari perang selama 29 tahun?
Dengan spontan dia menjawab: damai! “Perdamaian yang kita capai hari ini adalah hasil dari perjuangan berdarah-darah selama 29 tahun,” dia mencoba memberikan jawaban lebih lengkap atas pertanyaan yang saya ajukan.
Baca juga: Beredar Undangan Milad GAM Besok Digelar di Blangpadang, Begini Penjelasan KPA dan Kodam IM
Tentu saja saya tidak mengerti dengan jawaban ini, sebab jawaban demikian akan menghadirkan pertanyaan baru. Jika memang damai yang menjadi incaran, kenapa pula memilih jalan perang? Di sinilah kebingungan itu dimulai.
Namun demikian, tentunya saya tidak bisa memaksa si teman untuk menjawab hal-hal yang tidak dipahaminya, lagi pula pascaperang dia telah kembali menjadi masyarakat dengan sejumlah kesulitan hidup yang terus membelit sembari memandang “drama” para elite yang tak pernah usai.
Namun apa pun itu, melalui ijtihad politiknya, GAM telah berupaya memberikan koreksi kepada Republik, bahwa Aceh berhak atas apa yang dimilikinya – bahkan lebih dari itu, berhak mengatur dirinya sendiri.

Karena itulah GAM menuntut kemerdekaan melalui jalan perang. Namun apa yang terjadi kemudian, setelah elite-elite GAM berada di tampuk kekuasaan pascadamai?
Sudahkah mimpi-mimpi masa perang itu terwujud? Lagi-lagi pertanyaan ini tidak penting dijawab, sebab pertanyaan demikian tak pernah dirancang di masa masa perang yang penuh dengan imajinasi.
Tidak lama setelah perang usai, yang muncul justru kontestasi berebut kuasa antaranak bangsa yang kemudian berlanjut pada insiden dan kekerasan di pentas politik. Saling dominasi antarsesama terus menghiasi wajah politik Aceh pascaperang.
Baca juga: Mualem Ultimatum Pengganggu Damai, Pulang ke Aceh jangan Cuap-cuap dari Luar Negeri
Sementara cita-cita di masa perang seketika hilang dari perbincangan dan justru terjebak dalam perjuangan terhadap simbol-simbol yang sama sekali tidak membawa dampak apa pun dalam mengubah Aceh menjadi lebih baik.
MoU Helsinki yang telah membuka peluang bagi perubahan-perubahan besar di Aceh dalam faktanya tidak mampu diserap secara maksimal dalam UUPA yang telah dianggap sebagai peta jalan menuju Aceh baru.
Ini adalah salah satu bentuk “kegagalan” yang mestinya disesali oleh elite-elite GAM yang sempat berada di tampuk kekuasaan.
Demikian pula dengan segudang janji-janji politik pascadamai juga tak mampu dihadirkan secara nyata dalam realitas sehingga ia abadi dalam imajinasi dan akan terus diulang-ulang di musim pemilu.
Kondisi demikian dalam faktanya telah membuat simpati terhadap partai politik yang diisi kader-kader GAM kian merosot. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya kursi mereka di parlemen.
Baca juga: Anies ke Aceh: Perdamaian Ditandai Hadirnya Rasa Keadilan Sosial, Bukan Sekadar Tiada Konflik
Kembali menguatnya eksistensi partai nasional dalam beberapa tahun terakhir tentu akan semakin menyulitkan partai-partai “binaan” GAM untuk menguasai perpolitikan Aceh di masa depan.
Alhasil realisasi imajinasi di masa perang akan semakin jauh, atau justru hal itu tidak pernah menjadi prioritas sama sekali – atau mungkin semuanya telah usai dan Aceh akan kembali ke era sebelum perang dikobarkan? Selamat milad!
*PENULIS adalah Khairil Miswar, penulis buku “Demokrasi Kurang Ajar” (Zahir Publishing, 2019).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI