Internasional

Masyarakat Pesisir Bangladesh, Manfaatkan Hujan Sebagai Sumber Air Minum, Topan Hancurkan Semuanya

Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Bangaladesh harus memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum.

Editor: M Nur Pakar
Shahinoor Islam
Siswa minum air yang disaring di fasilitas pengumpulan hujan di Sekolah Menengah Gabura GlM di Shyamnagar, Distrik Satkhira, Bangladesh. 

SERAMBINEWS.COM, SHYAMNAGAR - Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Bangaladesh harus memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum.

Seperti Tamanna Akter Akhi sudah biasa berjalan kaki sejauh 2 km untuk mengumpulkan air minum segar untuk keluarganya.

Seperti banyak gadis lain di daerah pesisir barat daya Bangladesh, di mana masyarakat menanggung beban paling berat dari bencana alam, perubahan iklim.

Akhi, siswa sekolah menengah, tinggal di wilayah Gabura dan Padmapukur di dDistrik Satkhira, Delta Gangga yang pada tahun 2009 hancur akibat Topan Aila.

Topan telah merusak dan mencemari semua sumber air permukaan di daerah tersebut.

Peningkatan salinitas telah menyebabkan migrasi massal karena orang tidak lagi dapat mengolah tanah mereka karena krisis air tawar yang akut, yang segera juga menyebabkan wabah penyakit.

Baca juga: Penyediaan Air Minum dan Bersih Bagi Rumah Tangga di Aceh Baru Capai 87,6 Persen

Sekitar 16.000 keluarga tetap tinggal di wilayah tersebut dan butuh waktu bertahun-tahun untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah.

Komunitas Akhi melakukannya dengan mulai memanen air hujan.

Reservoir yang terdekat dengan rumahnya dipasang di Sekolah Menengah Gabura GLM miliknya pada tahun 2018.

“Di waduk plastik besar ini, air hujan disimpan selama musim hujan," kata Akhi kepada Arab News, Sabtu (24/12/2022).

"Otoritas sekolah menyiapkan atap bangunan untuk menampung air hujan dan mengawetkannya untuk kami gunakan," ujarnya.

“Pada jam sekolah, masing-masing siswa meminum dua gelas air dari tanaman pemanen air hujan," jelasnya.

Baca juga: SDGs sebagai Upaya Penyediaan Air Minum Aman Konsumsi

"Kami tetap sangat berhati-hati untuk tidak menyia-nyiakan setetes air yang berharga ini karena air minum lebih berharga dari apapun," katanya.

Teman sekolahnya, Nasirul Kabir, mengenang bagaimana dulu anak-anak jatuh sakit ketika tidak ada air bersih untuk diminum.

“Banyak dari kami, termasuk saya, pernah jatuh sakit karena berbagai penyakit yang terbawa air hampir setiap minggu,” katanya.

“Tadi kami harus membawa teko air dari rumah saat datang ke kelas," tambahnya.

"Berjalan melalui jalan desa yang sempit membawa buku dan air tidaklah mudah dan sekarang, kami hanya membawa buku saat datang ke sekolah," jelasnya.

Tetapi jumlah hujan yang dipanen terbatas dan sejauh ini hanya 50 persen penduduk lokal yang memiliki akses ke sana, menurut perkiraan Amjad Hossain, seorang pejabat tinggi pemerintah daerah di Padmapukur.

Baca juga: Suplai Air Bersih dan Sanitasi Berkontribusi dalam Pencegahan Stunting

Dia mengatakan pemerintah menyediakan beberapa tandon plastik untuk menampung air hujan.

Tetapi pasokannya sangat buruk dibandingkan dengan permintaan.

"Tahun ini, saya menyediakan tiga waduk untuk rakyat saya, sementara ada permintaan sekitar 2.000 orang,” katanya kepada Arab News.

Mereka yang tidak memiliki instalasi pemanenan hujan harus membeli air dari instalasi pengolahan air swasta, sehingga biaya telah meningkat seiring dengan masalah salinitas.

“Semuanya air asin, tidak peduli seberapa dalam kita menggali,” kata Hossain.

Dia menambahkan untuk 30 sen AS yang mereka bayarkan untuk 20 liter air olahan sudah terlalu banyak.

Dikatakan, sebagian besar orang di sini termasuk dalam kategori sangat miskin.

"Mereka tidak mampu membeli air minum, jadi mereka terpaksa mengangkut air minum dari tempat yang jauh setiap hari," ujarnya.

"Ini tantangan sehari-hari bagi orang-orang di daerah saya," tandasnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved