Internasional

Kerusuhan Seperti Perang Meletus di Peru, Pemerintah Berlakukan Jam Malam Selama Tiga Hari

Pemerintah Peru mengumumkan pemberlakukan jam malam di wilayah Puno selatan dalam upaya meredam kerusuhan.

Editor: M Nur Pakar
AFP/Juan Carlos CISNEROS
Kerabat korban bentrokan dengan polisi Peru menunggu dengan peti mati kosong di luar kamar mayat rumah sakit Carlos Monge Medrano di Juliaca, Peru selatan pada 10 Januari 2023. 

Dia ditangkap atas tuduhan pemberontakan setelah berusaha membubarkan parlemen dan pemerintahan melalui dekrit.

Ketegangan sejak itu meningkat di kota Puno dan Juliaca di mana pemogokan umum selama seminggu telah memaksa bisnis tutup.

Kedua kota tersebut berada pada ketinggian sekitar 3.800 meter dekat perbatasan Andes yang tinggi dengan Bolivia.

Demonstran telah membuat blokade jalan di enam dari 25 departemen di negara itu.

Baca juga: Mahkamah Agung Brasil Perintahkan Penangkapan Pejabat Publik Terlibat Kerusuhan

Para pejabat mengatakan ada 53 blok jalan terpisah.

Di wilayah Andean selatan Ayacucho, ribuan orang berbaris melalui jalan-jalan kota Huamanga menuntut pengunduran diri Boluarte dan pemilihan baru, yang telah dimajukan dari 2026 hingga April 2024.

Jumlah korban tewas membawa teguran dari kantor PBB di Peru, yang menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya kekerasan.

“Kami mendesak pihak berwenang dan pasukan untuk mengambil tindakan mendesak untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, hak protes damai,” tambahnya.

Para pemimpin Gereja Katolik, yang dominan di Peru, menyebut kekerasan terbaru itu seperti perang.

“Kami berada di tangan barbarisme,” kata Kardinal Pedro Barreto, uskup agung dari pusat kota Huancayo, kepada stasiun radio RPP.

Pemerintah daerah Puno mengumumkan tiga hari berkabung atas kematian baru-baru ini dan meminta Boluarte untuk mengundurkan diri.

Pada Rabu (11/01/2023) delegasi dari Inter-American Commission on Human Rights akan mengunjungi Peru untuk menyelidiki protes dan tuduhan penindasan politik.

Sebelumnya, mantan presiden Bolivia Evo Morales, yang berasal dari etnis Aymara dan merupakan pemimpin pribumi pertama negaranya, meminta Peru untuk mengakhiri pembantaian saudara-saudara.

Dia telah dilarang memasuki Peru karena pemerintah menuduhnya mencoba mencampuri urusan negara.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved