Berita Banda Aceh
Aktivis: Pelanggaran HAM Berat Aceh Bukan Hanya 3 Tragedi, Seharusnya Disebut 1976 Hingga 2005
Tiga di antara terjadi di Aceh, yaitu peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, dan peristiwa Jambo Keupok
BANDA ACEH - Aktivis hak asasi manusia (HAM) di Aceh, Zulfikar Muhammad merespons pidato Presiden Republik Indonesia terkait pengakuan dan penyesalan atas berbagai tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk Aceh di masa lalu.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM terjadi di Indonesia.
Tiga di antara terjadi di Aceh, yaitu peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Menurut Zulfikar Muhammad, kasus pelanggaran HAM berat di Aceh di masa lalu bukan hanya tiga tragedi yang telah diakui presiden tersebut.
"Kasus pelanggaran HAM di Aceh itu bukan pada tiga peristiwa itu, tiga peristiwa itu hanya contoh tapi banyak kejadian lain pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh," kata Zulfikar.
Tragedi lainnya yang menurut Zulfikar juga merupakan pelanggaran HAM berat--selain tiga peristiwa yang telah disebut Presiden--adalah tragedi Bumi Flora Aceh Timur, tragedi KNPI Aceh Utara, tragedi Arakundo Aceh Timur.
"Ada tragedi Rancong di Lhokseumawe, ada tragedi Trumon, dan banyak lagi.
Jadi seharusnya yang disampaikan presiden itu adalah serangkaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh itu dari tahun 1976 sampai tahun 2005," katanya.
"Kenapa begitu?," lanjut Zulfikar.
Karena katanya dimulai tahun 1976 saat DI TII sudah terjadi pelanggaran HAM di Aceh.
Baca juga: Amnesty International: Hukum Pelaku Pelanggaran HAM Berat untuk Mencegah Peristiwa Terulang
Baca juga: Mahfud MD Jelaskan Langkah Pemerintah Setelah Presiden Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Kemudian dilanjutkan dengan DOM pada tahun 1989 hingga 1998 yang juga memakan korban.
"Agresi-agresi militer yang dilakukan Pemerintah RI telah memakan banyak korban, termasuk peristiwa-peristiwa dalam darurat militer.
Jadi pengakuan presiden itu adalah harus pakek tahun, negara menyesal sudah melakukan pelanggaran HAM berat di Aceh selama 1976 hingga 2005," kata Zulfikar.
Menurut mantan Direktur Koalisi NGO HAM itu, apa yang disampaikan Presiden belum memenuhi rasa keadilan yang diinginkan korban karena setiap pengakuan dan penyesalan tentu harus dibarengi dengan tindakan.
"Kalau cuma bilang menyesal, anak-anak pun bisa," ketus Zulfikar.
Meski demikian, menurutnya, pengakuan negara yang disampaikan Presiden adalah sebuah langkah maju.
Namun kata dia, pidato presiden dengan tim PPHAM itu hanya pidato biasa.
"Mengakui ada peristiwa kemudian menyesal atas peristiwa itu biasa saja, tidak ada yang dapat kita ambil inti pentingnya," kata dia.
Seharusnya, lanjut Zulfikar, pidato presiden itu langsung dengan tindakan yang real.
"Contoh ada upaya pendataan korban setelah itu kemudian apa yang dibutuhkan korban sudah dilengkapi dalam dokumen PPHAM.
Kalau sekedar pengecekan peristiwa apa ada atau tidak itu cuma buang-buang energi saja.
Baca juga: Koalisi NGO HAM Apresiasi Presiden Terkait Pengakuan Kasus Pelanggaran HAM
Sekelas tim presiden kalau itu hasilnya kan biasa aja, nggak ada pengaruh dan dampak apa-apa," demikian Zulfikar.
Apresiasi Presiden
Sementara itu, Koalisi NGO HAM Aceh mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang telah menyatakan pengakuan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil mengatakan, ini merupakan penantian dari perjuangan panjang korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapat pengakuan oleh negara terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi masa lalu.
"Pernyataan presiden tersebut menjadi langkah baik dalam rangka penyelesaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, khususnya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi Aceh," kata Khairil.
Selain itu juga, dengan adanya pernyataan Presiden, kata dia, maka pemerintah harus melakukan upaya pemulihan korban dan keluarga korban secara massif.
"Untuk pemulihan korban dan keluarga korban harus dilakukan oleh nasional dengan sumber anggaran APBN yang berkaitan dengan korban dan keluarga korban yang ada di Aceh," sebutnya.
Terkait dengan model dan mekanisme pemulihan korban dan keluarga korban, Koalisi NGO HAM bersama masyarakat korban sedang membangun mekanisme reparasi untuk korban pelanggaran HAM yang berkeadilan dan konprehensif.
"Dokumen yang kami susun ini nantinya menjadi dokumen yang dapat membahani RPJMN dan RPJMA dan atas pernyataan presiden.
Koalisi NGO HAM meminta presiden bersungguh-sungguh melalukan pemulihan kepada masyarakat korban, dan jangan lagi memberikan isapan jempol kepada masyarakat korban," pungkasnya. (dan)
Baca juga: Tragedi Rumoh Geudong Pelanggaran HAM Berat, Diakui Jokowi Bersama 9 Kasus Lain
Baca juga: Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999
pelanggaran HAM berat masa lalu
Kasus Pelanggaran HAM Berat
Negara akui Pelanggaran HAM Berat
pelanggaran HAM berat
Korban Pelanggaran HAM
Kasus Pelanggaran HAM
Serambi Indonesia
Serambinews.com
UIN Ar-Raniry Kirim 87 Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Magang di 39 Instansi, Pustaka Kampus dan Dayah |
![]() |
---|
Niat Cari Suami di Banda Aceh, Seorang Ibu Muallaf dan Anaknya Terlantar di Halte Bus |
![]() |
---|
Kerap Alami Kecelakaan, Perempuan Diedukasi Keselamatan Dalam Berkendara |
![]() |
---|
Butuh Modal Usaha? Baitul Mal Banda Aceh Buka Pendaftaran Bantuan Modal Usaha, Baca Syaratnya |
![]() |
---|
Polda Aceh Gelar Yasinan, Perdana Diikuti Seluruh Jajaran Via Virtual |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.