Opini
Menghapus Trauma Pengasuhan dalam Pernikahan
Hak dan kewajiban suami istri itu seimbang adanya, ibarat langit dan bumi, ibarat rel kereta api, ada untuk saling menopang dan mengisi

OLEH HAYAIL UMROH S Psi MSi, Dosen Psikologi Keluarga Universitas Muhammadiyah Aceh, Duta Kesehatan Mental Dandiah Aceh
BANYAK istri mengeluh tidak mendapat izin dari suami untuk beraktivitas di luar rumah.
Jika tidak patuh dan taat maka dianggap sebagai istri durhaka.
Padahal istri mungkin memiliki potensi hebat dan mampu memberikan manfaat besar bagi umat.
Namun dengan berbagai alasan suami melarang, sehingga potensi hebat istri yang merupakan titipan Allah sejak diciptakan tidak dapat dimanfaatkan untuk orang banyak.
Istri durhaka menjadi julukannya.
Sederajat
Laki-laki dan perempuan sama-sama Allah muliakan tanpa ada perbedaan.
Perempuan dan laki-laki samasama memperoleh balasan atas apa yang mereka lakukan.
Hal ini tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 286, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya".
Keduanya memiliki potensi untuk melakukan kebaikan juga kejahatan dan mendapatkan ganjarannya, tiada beda.
Baca juga: Curi Uang dari Ponsel Temuan, Pasutri Muda Pakai Uangnya untuk Pernikahan Mewah, Akhirnya Ditangkap
Baca juga: Irwan Mussry Bisa Sembuhkan Luka Hati Maia hingga Pulih Dari Trauma Pernikahan, Ini Katanya
Dalam pernikahan suami istri juga memiliki hak yang sama.
Hak istri menjadi kewajiban suami, begitu pun hak suami menjadi kewajiban istri.
Sejatinya tidak ada yang lebih unggul daripada yang lain.
Al-Baqarah ayat 228 menyebutkan "Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, dan bagi kaum laki-laki (suami) satu tingkat dari kaum perempuan (istri)".
Ayat ini hendak menyampaikan bahwa hak dan kewajiban suami istri itu seimbang adanya, ibarat langit dan bumi, ibarat rel kereta api, ada untuk saling menopang dan mengisi.
Suami berkewajiban mencari nafkah, istri berkewajiban memberi kesenangan, menjaga kehormatan dan menaati apa pun yang diridhai Allah, demikian juga dengan suami.
Umar bin Khattab ra mengutip ucapan Rasulullah saw: "Sesungguhnya aku suka berhias untuk istriku sebagaimana mereka juga menghias diri untuk aku".
Lalu Umar membaca ayat di atas.
Sementara terkait dengan kelebihan satu tingkat lakilaki dibanding perempuan ini berada pada kekhususan lelaki yang didesain Allah sebagai kepala keluarga, memiliki tanggung jawab yang besar, menjadi pencari nafkah utama.
Lelaki Allah berikan potensi memiliki dorongan kuat untuk berusaha mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Dari struktur otaknya, lelaki memiliki hipotalamus (area di otak yang mengatur rasa aman dan perlindungan) lebih tebal dari perempuan.
Pada lelaki, dorongan untuk melindungi dan memberikan rasa aman terhadap perempuan dan anak lebih tinggi.
Baca juga: BKKBN Aceh Sebut Pernikahan Dini Jadi Penyumbang Stunting
Maka tak heran jika lelaki Allah berikan otot yang lebih besar, tenaga yang lebih kuat, kemampuan berpikir dan mencari solusi yang lebih tinggi dari perempuan untuk mengayomi dan memberikan rasa aman termasuk dalam hal ekonomi, memberi nafkah dengan bahagia kepada anak dan istrinya.
Idealnya seperti ini, namun semua itu tergantung kepada pengalaman hidup yang membentuk pola pikir, pengasuhan dan pemahamannya akan keteladanan yang diterima sejak kecil dari orang tua, khususnya ayah.
Jika ia mendapatkan pengalaman dan nilai-nilai positif tentang menjaga dan menghormati perempuan, dan mencari nafkah serta memberikannya kepada istri dan anak merupakan kewajiban, maka nilai itulah yang akan mewarnai pola pikir dan perilakunya.
Walau di era modern ini tidak sedikit perempuan menjadi tulang punggung keluarga.
Ini dilihat sebagai upaya yang boleh dilakukan, karena di setiap perbuatan baik ada pahala dari Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An'am ayat 132, artinya "Setiap manusia akan memperoleh derajatderajat (keseimbangan) atas apa yang dikerjakannya.
Dan Allah tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan".
Jadi sah saja jika istri bersedia mencari nafkah terlebih jika itu dapat membantu suami.
Abai dan lalai
Namun suatu hal yang tidak dibenarkan manakala laki-laki menuntut haknya saja, sementara ia melupakan kewajibannya terhadap perempuan.
Terlebih melepaskan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, pengayom juga pencari nafkah.
Keduanya juga berhak dan berkewajiban memberi dan menerima rasa saling menyayangi, menghormati, mencintai, memaafkan, mendengarkan, memercayai, setia dan jujur satu sama lain.
Suami istri adalah mitra dalam berumah tangga, bukan sebagai atasan atau bawahan, bersama-sama dalam suka duka, berlomba untuk saling membahagiakan, menjadi teman curhat dan diskusi, saling support dan terlibat dalam setiap rasa sepanjang hidup, rela berkorban dan menahan derita demi anak dan pasangan tercinta.
Tidak abai, ataupun sengaja lalai, enggan mendengarkan curahan hati pasangan dan memberikan haknya baik lahir maupun batin.
Baca juga: Viral Pernikahan Anak di Bawah Umur dan Gelar Pesta Mewah, Sempat Ditolak KUA, Tapi Nekat Nikah Siri
Jika diri merasa kesulitan melakukannya maka ada kondisi batin yang tidak baik-baik saja sehingga hati menolak untuk mencintai, mengasihi, menghormati dan memberi rasa aman dan melindungi.
Ikhtiar memperbaiki diri, menemukan sebab dari sikap tersebut dan menyelesaikannya hingga tuntas agar hati kembali tentram menjadi kewajiban pada akhirnya, sehingga mampu mencintai dan menghormati kembali pasangan hidup yang ada di sisi.
Segala permasalahan yang terkait dengan kepentingan bersama dapat ditemukan solusinya dengan bermusyawarah tanpa harus memaksakan ego masing-masing, mengedepankan kesabaran dan kedewasaan bersikap yang merupakan cerminan hati yang tentram, bahkan jika pun harus bercerai maka harus mengambil keputusan dengan kesadaran penuh, hati yang tenang, pikiran yang waras dan jernih, bebas dari tekanan emosi negatif, disampaikan dengan santun, dan mencari solusi terbaik untuk anak-anak sebelum bercerai.
Perceraian sejatinya tidak boleh menyakitkan bagi anak, sebab kondisi itu akan membentuk trauma yang berdampak negatif hingga dewasa, seperti takut akan pernikahan, sulit membangun hubungan dengan lawan jenis karena terlanjur benci dan tidak percaya, penyimpangan orientasi seksual, memilih menjadi LGBT, kecemasan ditinggal pasangan hidup, posesif, rentan melakukan KDRT, dan lain sebagainya.
Setiap kita memiliki kenangan masa kecil, namun ternyata bahagia atau menyakitkannya kenangan itu sangat mempengaruhi relasi kita dengan pasangan saat ini.
Kenangan masa kecil yang jika dikenang memunculkan rasa sakit di hati, amarah, kesedihan juga rasa putus asa dan tak berdaya sebab cinta bertepuk sebelah tangan terhadap orang tua, adalah luka batin yang tak disadari yang mempengaruhi ekspresi marah, cara berpikir dan berbuat kita kepada pasangan dan anak.
Di dalam diri kita ada anak kecil yang marah, takut, cemas, benci bahkan rindu dan membutuhkan kasih sayang namun tak terungkap dan atau tak sempat dirasakan.
Kebanyakan orang dewasa tidak menyadari bahwa dirinya terluka selama pengasuhan orang tua, dan beragam emosi yang diperlihatkan di hadapan pasangannya merupakan luapan ragam emosi terluka yang dimilikinya saat kecil.
Disadari dan diakui luka tersebut kemudian lepaskan, sebab mungkin saja kekangan, pukulan, kecemasan, pengabaian, kelalaian, ketidakmampuan mencari nafkah dan melindungi pasangan dan anak, berasal dari luka batin yang tak disadari dan dilepaskan.
Allah ingin kita bergerak mengubah nasib kita sendiri.
Bergeraklah, lakukan perbaikan dan lanjutkan hidup yang lebih baik demi pasangan dan anak tercinta.
Maafkan diri dan sang pembuat luka, kemudian hanya kepada Allah kita berserah. (hayailelumroh@gmail.com)
Baca juga: Terhalang Adat, Wanita Ini Terpaksa Batalkan Pernikahan H-3 Acara,Calon Suami Keberatan dengan Mahar
Baca juga: Rencana Pernikahan Fuji dan Thariq, Haji Faisal Singgung Tak Masalah Bila Tak Ada Besan Hadir
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.