Mihrab

Istitha’ah Bil Mal, Syarat Wajib Haji

Syarat ini merupakan bagian dari syarat-syarat wajib haji yang lain, seperti Islam, baliqh, berakal, dan merdeka

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr Tgk Safriadi 

SALAH satu syarat wajib haji adalah adanya kemampuan (isthita’ah).

Syarat ini merupakan bagian dari syarat-syarat wajib haji yang lain, seperti Islam, baliqh, berakal, dan merdeka.

Menurut Dosen IAIN Lhokseumawe, Dr Tgk Safriadi MA, konsep istitha’ah pada era sekarang ini seolah-olah masih belum disepakati pengertian dan batasannya serta kriterianya.

“Dampaknya, istitha’ah ini dipahami secara berbeda oleh umat Islam, bahkan kebanyakan masyarakat tidak lagi peduli dengan ketentuan syarat istitha’ah ini sebagai syarat wajib haji,” paparnya.

Sehingga, masyarakat melakukan segala cara untuk dapat melaksanakan Rukun Islam ini, seperti menabung, menjual atau menggadaikan harta berharga, arisan haji dan dana talangan haji.

“Ada juga yang berhutang atau kredit di bank untuk melunasi pengambilan nomor porsi haji,” tutur Tgk Safriadi.

Di sisi lain, adanya persyaratan istitha’ah merupakan suatu kewajiban haji yang tidak terlalu mendesak, sekalipun melaksanakan ibadah haji merupakan rukun Islam.

Kriteria istitha’ah harus terus menjadi bahan pemikiran.

Karena pelaksanaan ibadah haji menuntut ijtihad ulama untuk menetapkan fatwa hukum atas berbagai persoalan yang baru muncul seiring dengan perkembangan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.

Mengenai kemampuan berhaji dalam kategori harta, sudah waktunya untuk menjalankan kriteria istitha’ah bil mal.

Karena pada era modern ini berbagai macam lembaga keuangan telah memberikan penawaran dana talangan haji kepada nasabah atau berangkat haji dengan berhutang.

Baca juga: Kemenag Usul Biaya Haji Rp 69 Juta, Naik Hampir Dua Kali Lipat Dibanding Tahun Lalu

Baca juga: Kloter Pertama Jamaah Haji Indonesia Berangkat 24 Mei 2023

Namun, kata Tgk Safriadi, dalam kenyataannya banyak proses dana talangan di tengah jalan kemudian tidak bisa melunasi sehingga menjadi beban bagi yang menalangi (bank).

Contohnya kasus orang yang ditalangi dana meninggal dunia atau ingkar terhadap perjanjian pelunasan.

“Hal ini menimbulkan permasalahan baru yang sangat rumit untuk diselesaikan.

Selain itu, dengan adanya dana talangan bisa menjadi penyebab terjadinya antrean panjang keberangkatan jamaah haji Indonesia karena masyarakat berbondong-bondong menggunakan dana talangan tersebut,” sebutnya.

Apabila merujuk kepada konsep isthita’ah yang disusun oleh para ulama, maka standar mampu dalam berhaji (isthita’ah) ialah bagi mereka yang memiliki bekal yang mencukupi dan kendaraan yang bisa mengantarkan seorang untuk pergi berhaji ke Mekkah.

Lalu meninggalkan uang sebagai nafkah keluarganya selama melaksanakan ibadah haji, ada orang yang mampu menjaga barang dan keluarganya.

Lalu menjamin keamanan selama berhaji, baik keamanan yang terkait dengan jiwa maupun harta, dan sehat secara fisik.

Adapun dasar dari pemahaman demikian, didasari melalui firman Allah Ta’ala dalam QS Ali Imran ayat 97: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah,” Juga dijelaskan dalam hadis riwayat al-Hakim: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA beliau berkata : “Ditanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, wahai Rasulullah apa makna Al-Sabil dalam ayat ini ?Beliau menjawab; bekal dan kendaraan.

Berkaitan memahami kata-kata ‘mampu’ dalam ayat di atas, Tgk Safriadi mengungkpakan bahwa ulama membaginya menjadi dua kategori.

Pertama, mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri.

Kedua, mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain. (ar)

Baca juga: Pemerintah Usul Biaya Haji 2023 Naik Jadi Rp 98,8 Juta, per Jemaah Dibebankan Rp 69 Juta

Baca juga: Kemenag Aceh Perpanjang Daftar Seleksi Petugas Haji 2023

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved