KPK Pantau Program Nasional Penurunan Stunting, Ditemukan Pengadaan Mencurigakan

Ada laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal.

kompas.com
Gedung KPK. 

 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pentingnya pengelolaan anggaran yang diperuntukkan untuk program peningkatan gizi masyarakat secara transparan, akuntabel, dan tepat sasaran.

Salah satunya pada program penurunan prevalensi stunting.

Diketahui, tahun lalu pemerintah pusat mengalokasikan belanja cukup tinggi yaitu sebesar Rp34,1 triliun. Dimana rincian terbesar berada di Kementerian Sosial sebesar Rp23,3 triliun, Kementerian Kesehatan Rp8,2 triliun, Kementerian PUPR Rp1,3 triliun, BKKBN Rp810 miliar (sebagai koordinator pelaksana), serta tersebar di 17 kementerian/lembaga lainnya.

"Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik. Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi," kata Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Niken Ariati, lewat keterangan tertulis, Rabu (25/1/2023).

KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi juga mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal.

Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah. Meskipun program ini menjadi prioritas nasional.

Baca juga: Turkiye Tegaskan Pembicaraan Dengan Swedia dan Finlandia Masuk NATO Ditunda Tanpa Batas Waktu

Baca juga: Kuwait dan UNCHR Sepakat Memberi Bantuan Kemanusiaan Untuk Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Baca juga: Ini Jadwal Kapal RoRo Lintas Sabang-Banda Aceh Pulang Pergi Edisi Kamis 26 Januari 2023

"Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan," ujar Niken.

Pada aspek penganggaran, Niken menuturkan temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah.

Selanjutnya pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK non-fisik masih belum berjalan optimal.

Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan sebagai contoh untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.

Pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebutkan bahwa terdapat keterbatasan peran vendor. Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN.

Pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.

"Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan," kata Niken.

Dari berbagai temuan tersebut, KPK kemudian menyampaikan beberapa rekomendasinya. Pada aspek penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi anggaran.
Juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri(Kemendagri) dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBD-nya.

"Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi stunting." jelas Niken.

Selanjutnya pada aspek pengadaan, perlu adanya kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek sehingga dapat bermanfaat. Kementerian dan Lembaga(K/L) juga perlu mempersiapkan dengan baik juknis dan koordinasi dengan LKPP terkait kesesuaian barang yang tampil di e-katalog.

"Selain itu, diperlukan pedoman teknis yang akan digunakan Inspektorat untuk melakukan pengawasan program percepatan penurunan prevalensi stunting ini. Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah adanya penyimpangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting," pesan Niken.

Masalah gizi pada bayi usia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah kesehatan yang tergolong tinggi di Indonesia. Salah satunya masalah stunting. Menurut data survei Kemenkes, kasus stunting di Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 21,6 persen.

Baca juga: Pj Bupati Nagan Raya Akan Beri Sanksi ASN Nongkrong di Warkop Saat Jam Kerja

Pada Oktober 2022, KPK bersama Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menggelar audiensi dan koordinasi terkait upaya pencegahan korupsi pada penurunan stunting balita. Upaya penurunan stunting ini menjadi program prioritas nasional untuk mencapai target yang diharapkan pada tahun 2024.

Program ini termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Target nasional pada 2024, prevalensi stunting ditargetkan turun hingga 14 persen, dengan penurunan stunting di atas 3,3 persen per tahun.

Prevalensi Turun
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melaporkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022, terutama soal prevalensi stunting. "Ingin saya laporkan hasil SGGI 2022 itu turun dari tahun lalu 24,4 persen turun 2,8 persen jadi 21,6 persen," kata Menkes Budi dalam Rakernas BKKBN.

Penurunan persentase tersebut, diakui Budi, masih belum memenuhi target Presiden Jokowi sebesar 3 persen per tahunnya.

"Tapi terima kasih ke gubernur, bupati, walikota karena ini terjadi masa pandemi, bukan masa biasa," kata Budi

Karena itulah, Budi berharap seiring dicabutnya status PPKM dan meredanya kasus Covid-19 di Indonesia, target tersebut bisa tercapai. Dibalik angka penurunan tersebut, Budi memaparkan ada tiga provinsi yang prevalensinya turun sampai menyentuh angka 5 persen, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Utara, dan Riau.

"Saya laporkan juga ada dua provinsi besar yang turunnya kepala 3, yaitu Jawa Barat Dan Jawa Timur," ujarnya.

Eks Dirut Bank Mandiri itu juga mengatakan bahwa pengertian sederhana stunting adalah bodoh. Awalnya, Budi yang merupakan Menkes dengan latar belakang nonmedis, kerap ditanya soal stunting.

"Saya tanya ke ahli-ahlinya. Stunting itu ukuran tinggi badan per usia. Kalau di bawah minus standar defiasi itu namanya stunting. Susah sekali. Bahasa gampangnya apa? Anak stunting itu bodoh, pak. Jadi saya pakai itu saja," kata Budi.

Budi yakin tidak ada satu wanita pun di Indonesia yang ingin anaknya bodoh . "Kalau suaminya bodoh enggak apa-apa, tapi jangan anaknya," kata Budi.(Tribun Network/den/ham/wly)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved