Jurnalisme Warga
Legenda Batee Cawan Pingan Batee Raya
Kisah tersebut terdengar lagi dalam perbincangan sahabat saya di Kampus Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen beberapa hari lalu.
Oleh Chairul Bariah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Bireuen
CERITA rakyat yang beredar dalam masyarakat dan dipercaya oleh banyak orang sering disebut dengan legenda. Ada kalanya legenda itu bersumber dari cerita yang diambil dari kisah nyata yang benar-benar terjadi di masa dahulu. Namun, ada kalanya bersumber dari cerita rekaan belaka.
Nah, kisah yang terjadi diceritakan kembali oleh masyarakat setempat sering membuat kita penasaran dan ingin melihat lokasinya secara langsung, walaupun tempat yang dituju terkadang penuh rintangan. Bahkan, ada rasa takut jika salah dalam menghimpun datanya karena akan menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Delapan tahun lalu, saat menghadiri pesta pernikahan di sebuah desa dalam Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, ada sekelompok anak muda berbincang dan bercerita tentang kisah sebuah batu besar yang menurut orang-orang tua zaman memiliki keunikan. Saat itu seakan tak percaya dengan cerita yang mereka bahas di bawah sebatang pohon yang rindang. Mereka nyaris tak menghiraukan orang-orang yang lewat di hadapannya.
• Masih Melajang di Umur 38 Tahun, Pria Ini Dipaksa Masuk RSJ oleh Ibunya: Otakmu Bermasalah
Kisah tersebut terdengar lagi dalam perbincangan sahabat saya di Kampus Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen beberapa hari lalu. Dia adalah Chairul Miswar asli dari Kecamatan Juli. Menurut orang tuanya, kisah batu besar yang terletak di Desa Batee Raya, Kecamatan Juli itu adalah kisah legenda yang dipercaya secara turun-temurun. “Datanglah ke sana, ada orang tua kampung yang dapat menceritakannya secara langsung,” katanya.
Rasa penasaran dan ingin tahu saya terpacu karena tawaran Pak Chairul Miswar. Akhirnya dalam rangka mengisi waktu libur setelah shalat Asar saya mengajak suami dan ananda menuju lokasi.
Waktu tempuh dari tempat tinggal kami, Matangglumpang Dua, ke Desa Batee Raya, ± 30 menit. Jalur lintas Bireuen Takengon sore itu padat karena lalu lalang kendaraan yang kembali dari kota wisata Takengon beriringan sehingga kami harus menyesuaikan dengan keadaan di jalan.
Kami akhirnya tiba di gapura Desa Juli, Keude Dua, yang di depannya ada sebuah mobil tank, sebagai simbol tanda perjuangan masyarakat Bireuen dalam pergolakan merebut Indonesia dari tangan penjajah masa itu.
• Update Gempa Jayapura: Berikut Daftar Kerusakan, 2.261 Orang Mengungsi
Sebenarnya untuk menuju Desa Batee Raya ada beberapa jalan alternatif, tetapi karena jalan ini pernah kami lalui setahun lalu maka keluar masuk simpang sedikitnya kami masih ingat dan ternyata desa tersebut adalah tempat kediaman sahabat kami semasa kerja di Universitas Almuslim. Dia biasa disapa Kak Nunun.
Saat kami hubungi, suara di seberang sana terdengar ramah dan mempersilakan kami datang ke rumahnya. Dia katakan akan membantu kami untuk dipertemukan dengan orang tua gampong atau aparat gampong yang asli penduduk Batee Raya.
Tanpa membiarkan waktu berlalu sia-sia, kendaraan kami bergerak lebih cepat ke rumah Nunun, tempat target dengan tujuan untuk mencari narasumber.
Tibalah kami di lokasi dan langsung disambut oleh tuan rumah. Kebetulan saat itu para tetuha gampong sedang duduk santai di belakang warung kopi yang bersebelahan dengan rumah sahabat kami.
Suasana desa Batee Raya nyaman dan tenang, banyak anak yang asyik bermain bola, bersenda gurau, berlari-lari, dan ada juga yang sedang bersiap-siap untuk mandi dan pergi mengaji.
Sahabat kami memperkenalkan salah seorang aparat gampong yang menjabat tuha peuet bernama Aliyan. Cerita dari nenek moyang, kata Aliyan, bahwa dahulu Batee Raya disebut dengan batee cawan pingan, karena ada barang pecah belah di dalam batu, bahkan ada bekas pintu untuk masuk ke dalam batu. “Tetapi kami tidak sempat melihatnya secara langsung,” kata Aliyan.
Ada juga berkembang isu dalam masyarakat bahwa barang pecah belah tersebut boleh dipinjam oleh masyarakat saat kenduri dan setelah selesai harus dikembalikan lagi.
Akibat ulah salah satu orang yang tidak mengembalikan piring yang dipinjam, akhirnya pintu batu ini tertutup rapat. “Tapi saya sendiri tidak pernah tahu ini benar terjadi atau tidak,” katanya.
“Nama Desa Batee Raya juga karena adanya kisah ini, selama saya ingat, desa ini sudah diberi nama yang sama dengan kisahnya,” ujar Aliyan.
Pernah suatu hari, kata Aliyan, dua orang penduduk asli Batee Raya, satu anak kepala desa, satu lagi anak warga biasa, berhura-hura di atas Batee Raya. Saat kembali turun ke desa mereka tidak dapat berbicara, mulutnya terkunci hampir 15 hari.
Ada lagi yang mengambil foto dokumen, tapi pada saat dicetak tiba-tiba fotonya tidak terlihat.
“Zaman dulu cerita dari nenek-nenek kami pada tengah malam Batee Raya tersebut mengeluarkan bunyi seperti gemuruh. Ini pertanda bahwa padi yang ditanam oleh masyarakat akan menghasilkan panen yang baik.”
Seluruh masyarakat saat itu bersuka cita, menyambut gembira adanya pertanda tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh Nasir, penduduk desa itu..
Ada lagi cerita, tahun 2018 sekelompok orang dari Kecamatan Peudada datang untuk menangkap tokek dengan membawa beberapa perlengkapan. Menurut yang mereka dengar, tokeknya berukuran besar, tetapi sampai dua hari mereka mencari tidak ditemukan bahkan mereka nyaris tidak tahu jalan pulang.
Pada masa zaman konflik Aceh ada satu regu marinir terdiri atas 12 personel yang bertugas di Batee Raya dan menetap di kantor desa di samping meunasah. Komandan regu panik karena salah satu personelnya hilang sehingga seluruh aparat desa diinterogasi apakah ada yang menculiknya. Kemudian Pak Aliyan mengatakan dia tidak hilang, melainkan ada di sekitar desa ini.
Saat dicari oleh seluruh personel TNI dan masyarakat gampong ternyata anak buahnya bersembunyi dalam gorong-gorong. Semua orang heran. Tapi aparat TNI tadi mengaku bahwa dia dikejar oleh orang berpostur tinggi besar dilengkapi dengan senjata, sehingga personel tersebut takut dan lari tak tentu arah.
Salah satu personel dari regu tersebut mengatakan kepada Pak Aliyan bahwa Desa Batee Raya ini istimewa terasa tenteram dalam jiwa.
Berdasarkan catatan sejarah di desa ini tidak ada warga yang menjadi korban pada saat konflik.
Kemudian ada lagi peristiwa wabah muntah menceret. Hampir semua masyarakat desa sakit perut, akhirnya orang tua gampong berinisiatif membuat kenduri di lokasi. Namun, percaya atau tidak, wabah itu dua hari kemudian hilang. Kebiasaan yang terjadi sampai saat ini kenduri turun ke sawah (khanduri blang) dilaksanakan di lokasi Batee Raya.
Setelah mendengar berbagai cerita tentang Batee Cawan Pingan/Batee Raya, kami bergegas menuju lokasi, tetapi sayangnya karena sedang musim hujan, jalan licin sehingga ksmi sulit untuk naik ke puncaknya.
Batee Raya ini dari jauh tampak berbentuk petak dan banyak tumbuh pohon-pohon liar di atasnya.
Jika ingin naik ke puncaknya, maka harus ada pendamping dari desa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.
• VIDEO - Ayah Habisi Nyawa Bayinya Usia 6 Bulan Gegara Terganggu saat Main Game Mobile Legend
• Masih Melajang di Umur 38 Tahun, Pria Ini Dipaksa Masuk RSJ oleh Ibunya: Otakmu Bermasalah
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.