Jurnalisme Warga
Memahami Kekerasan Berbasis Gender
Dalam workshop kali ini PKBI mengundang peserta dari berbagai lembaga, seperti dari Balee Inong, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Lembaga Bantuan
Oleh Nurul Muhdiyah
Mahasiswi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry juga Anggota Jurnalis Warga Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
PERKUMPULAN Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh mengadakan workshop tentang Pelayanan Kekerasan Berbasis Gender atau Gender Based Violence (GBV). Acara tersebut berlangsung di Aula Klinik PKBI Aceh, Jalan Panglima Nyak Makam Nomor 2 Banda Aceh, pada 2-3 Februari 2023.
Saat ‘opening ceremony’, Direktur Eksekutif Daerah PKBI Aceh, Eva Khovivah, menjelaskan bahwa tujuan dari workshop tersebut sebagai respons terhadap maraknya kasus kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak di Aceh. Ia menambahkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak setiap harinya kian bertambah. Atas dasar itu PKBI melakukan terobosan dalam bentuk layanan kesehatan bagi para korban, khususnya tentang kesehatan reproduksi.
Dalam workshop kali ini PKBI mengundang peserta dari berbagai lembaga, seperti dari Balee Inong, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Puan Addisa, Pulih Aceh, Balai Syura Urueng Inong Aceh, Flower Aceh, Koalisi Perempuan Indonesia, KAPHA Aceh, Komite Pekerja Perempuan, Serikat Inong Aceh (SeIA), Satgas PPKS USK, Pusat Studi Gender USK, P2TP2A, LBH Anak, RJWG, dan beberapa anggota lainnya dari PKBI.
• Bakal Dikaruniai Anak Perempuan, Intip 5 Potret Gender Reveal Party Anak Ria Ricis dan Teuku Ryan
Tak heran jika peserta yang hadir mewakili lembaga lebih dominan perempuan. Karena, perempuan dianggap lebih peka terhadap kondisi korban, apalagi tentang perempuan dan anak. Saya sendiri hadir sebagai perwakilan jurnalis warga di Banda Aceh.
Sebagai narasumber pertama, Norma Susanti, memaparkan tentang indikasi terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan, yaitu adanya aspek kekerasan, adanya pemaksaan, dan adanya tipu daya.
Ketiga aspek tersebut, menurutnya, saling berkaitan, tetapi memiliki perbedaan perlakuan. Dalam kasus tersebut biasanya dibarengi dengan adanya ancaman-ancaman seperti akan disebarkannya foto atau video vulgar korban, hilangnya pekerjaan, bahkan sampai dibunuh. Karena ketakutan itulah yang membuat seseorang terpaksa melakukannya.
Norma juga menyampaikan tentang perbedaan antara gender dan kodrat. Gender adalah perbedaan peran dan pembagian wilayah kerja berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang diberikan oleh lingkungan sosial maupun kebiasaan masyarakat. Misalnya, karena berjenis kelamin laki-laki maka seseorang tidak dibolehkan melakukan pekerjaan domestik. Atau ada perempuan yang dilarang bersekolah tinggi karena dianggap tugas perempuan hanya seputaran kasur, dapur, dan sumur. Ini merupakan anggapan yang keliru.
Sedangkan kodrat adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia sebagai ciptaan Allah dan fungsinya tidak bisa diubah-ubah berdasarkan jenis kelamin. Contohnya, kodrat perempuan adalah melahirkan, menyusui, dan mengalami menstruasi. Sedangkan kodrat laki-laki punya jakun dan mempunyai sperma.
Hal inilah yang perlu dipahami dan diluruskan sehingga tidak muncul salah persepsi yang memicu terjadinya kekerasan berbasis gender.
“Dalam rumah tangga banyak suami yang melakukan kekerasan terhadap istri karena menganggap bahwa dirinya adalah pemimpin di rumah tangga sehingga ia merasa memiliki wewenang penuh atas tindakannya itu,” tambah Norma.
Sikap-sikap seperti inilah yang berdasarkan penjelasan Norma dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Ketika laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan maka akan dianggap wajar. Akibatnya, korban mengalami KDRT terus-menerus dan akhirnya mengenai wilayah psikologinya yang sulit dipulihkan. Efeknya juga menular kepada anak-anak di lingkungan rumah tangga.
Koordinator Yayasan Pulih, Dian Marina, dalam kesempatan yang sama menyampaikan tentang hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Yaitu, hak keadilan, hak pemulihan, hak perlindungan, dan hak pendidikan. Perlu diketahui bahwa batas usia yang dianggap usia anak adalah 12—18 tahun sehingga apabila di usia itu mereka melakukan tindak pidana, maka mereka wajib mendapatkan hak-hak mereka meskipun melalui rehabilitasi.
Seperti hak pulih, baik itu luka fisik maupun psikis, maka mereka berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ataupun secara psikologis. Karena pada usia itu anak sebagai pelaku masih dianggap belum cakap hukum.
Dian memaparkan, berdasarkan catatan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh, pada periode Januari—November 2022, mereka telah mengantongi data tentang kekerasan yang terjadi terhadap anak: 111 kasus kekerasan fisik, 134 kasus pelecehan seksual, 124 kasus pemerkosaan, 109 kasus KDRT, 113 kasus kekerasan psikis, 111 kasus kekerasan fisik, 8 kasus inses, dan 16 kasus sodomi.
Dengan adanya data di atas maka seharusnya kita bisa lebih melek bahwa di sekeliling kita banyak yang telah menjadi korban.
Bicara tentang perempuan tidak hanya dari segi kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan fisik saja. Namun, banyaknya terjadi diskriminasi bagi perempuan salah satunya adalah melalui pernikahan dini. Banyak di sekeliling kita anak di bawah umur yang dinikahkan secara paksa dengan berbagai alasan, salah satunya adalah ekonomi. Hal seperti ini dianggap wajar, apalagi di beberapa daerah yang memiliki budaya untuk menikahkan anak perempuannya pada usia dini. Namun, secara tidak sadar ada hak-haknya sebagai anak yang tidak terpenuhi. Akibatnya, banyak ibu dan anak yang meninggal karena hal ini.
Selain itu, eksploitasi anak di wilayah kita juga tidak berkurang, yang ada semakin hari semakin bertambah. Orang tua yang seharusnya bertanggung jawab bagi kelayakan anaknya justru mencari keuntungan.
PKBI dalam forumnya menegaskan bahwa di Klinik PKBI bukan hanya ada poli umum, melainkan mereka juga menyediakan layanan kesehatan reproduksi. Yaitu, suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh perempuan.
Kesehatan reproduksi memiliki aspek yang sangat luas, ada beberapa contoh seperti korban kekerasan fisik dalam rumah tangga hingga ia mengalami depresi dan berimbas kepada tidak teraturnya menstruasi. Contoh lain, tahanan perempuan yang mendapatkan pembalut yang kurang layak dan korban bencana dengan keterbatasan air bersih. Namun, para pemberi layanan merasa miskomunikasi di bagian ini karena mereka hanya fokus kepada yang terlihat saja.
Selain itu, ada yang lebih penting yaitu didukung dengan adanya alat kesehatan yang memenuhi standar dan SDM yang terampil. Dalam artian bahwa para SDM yang bekerja pada klinik PKBI maupun para pemberi layanan diharuskan untuk bisa memosisikan diri sebagai korban seningga akan menimbulkan kecocokan di antara keduanya. Terlebih jika klien yang datang adalah dari disabilitas.
Tak sedikit dari peserta yang ikut berbagi pengalaman dalam diskusi kali ini karena sebagian mereka adalah bekerja di lembaga layanan masyarakat. Sebagian lagi sebagai paralegal. Saya sendiri turut berbagi pengalaman saat duduk di bangku tsanawiah dan aliah di pesantren. Saya melihat bibit-bibit KBG juga berpotensi muncul di sana karena adanya relasi personal antara santri dengan guru pamong. Workshop ini memperkaya wawasan saya tentang kekerasan berbasis gender (KBG) dan sangat relevan dengan kuliah saya. Apalagi saat ini saya sedang menyusun tugas akhir yang juga berhubungan dengan KBG. Semoga kita tidak menjadi korban, alih-alih pelaku kekerasan dalam bentuk apa pun.
< nurulmuhdiah23832>
• Berikut Langkah-langkah Cegah Kanker Payudara, Lakukan Deteksi Lebih Awal
• Ferry Irawan Ingin Jadi Manusia Lebih Baik, Usia 46 Tahun Ini, Harap Kasus KDRT Cepat Selesai
• Momen Ulang Tahun Ferry Irawan Ada Perbedaan, Dulu Melamar, Sekarang akan Ceraikan Venna Melinda
gender
Kekerasan Berbasis Gender (KBG)
Kekerasan Berbasis Gender
Serambinews
Serambi Indonesia
Jurnalisme Warga
Menghidupkan Budaya Literasi Keluarga di Tengah Gempuran Digital |
![]() |
---|
Dari Tiram ke Teknokrasi: Layakkah Jamaica Menjadi Wakil Menteri BUMN? |
![]() |
---|
Matematika Itu Seru, Asal Tahu Caranya |
![]() |
---|
Pengakuan UNESCO, Bagaikan Anugerah 'Boh Manok Mirah' untuk Aceh |
![]() |
---|
Mengulik Secercah Harapan pada Sekolah-Sekolah Idaman di Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.