Opini
Butuh Bukti, Bukan Janji Membangun Aceh
Ada asumsi yang sering muncul dalam diskusi warung kopi, dan forum elite, bahwa kita cenderung tak mau repot ketika melakukan proses produksi.
Dengan kata lain, jika korupsi di Aceh terindikasi menjadi yang terparah, apakah fakta itu karena disumbang oleh keberadaan korporasi, industri atau tindakan para pelaku ekonomi. Ataukah kita bisa menyebut secara logis dan realistis, bahwa sumber masalah—KKN – itu memang berasal dari ELY-Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang “bermain” dalam kebijakan pemerintahannya.
Jika merasa argumentasi ini adalah hoaks, maka buktikan saja. Lakukan evaluasi atas Otsus saja, apa capaian kita terbaik jika kita ukur dari keberadaan blue print, atau rencana besar ketika kita menggagas Aceh Baru paska tsunami.
Dulu kita berangan-angan tinggi ketika menjadikan momentum tsunami raya sebagai revolusi kita menjemput Aceh Baru.
Ternyata dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Aceh terendah di Sumatera.
Mengandalkan pertambangan, pertanian sebagai sumber dana pembangunan yang tidak dikelola secara benar justru bisa menjadi bumerang berbahaya.
Mestinya pertambangan adalah alternatif terakhir yang harus kita jadikan pilihan. Hingga saat ini gagasan kita soal pembangunan berkelanjutan juga belum menemukan titik positif.
Selalu saja ada “tikus pengerat” yang bermain dalam lumbung sumber uang pembangunan kita.
Fakta banjir ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adat yang dirampas tanah, hutan dan sungainya, tidak dapat ditutupi dengan kamuflase Aceh Hebat.
Fakta bahwa kita tak piawai menjadi pengundang investor, karena ditingkat internal saja gaduh dengan persoalan bagaimana menyiapkan infrastruktur.
Tahapan pembangunan lima tahun Aceh tak menganggambarkan sebuah rencana besar Aceh Masa Depan yang memiliki infrastruktur memadai di titik dimana investasi akan didorong. Termasuk blunder listrik yang amburadul.
Bahkan potensi-potensi yang sudah jelas di depan mata seperti komoditas kopi saja, tak bisa dioptimalkan hingga menjadi sebuah kekuatan bargaining sebagai penyumbang dana pembangunan.
Berhektare lahan kopi yang membesarkan nama Kopi Gayo, adalah lahan-lahan tua. Jika kita tak bergegas melakukan intensifikasi, diversifikasi secara masif, apa yang kelak tertinggal untuk membesarkan nama Aceh.
Apa kita harus menunggu kepastian dana Otsus berkurang atau hilang, barulah kita memulai lagi semuanya dari nol atau jika tak ada pilihan lain, kita gadaikan tambang-tambang kita untuk mengongkosi pembangunan sebelum tekor sama sekali.
Butuh lompatan besar, pertanian menuju konsep swasembada, peternakan menuju sinergisasi hulu-hilir komponen penguatnya, perikanan menuju peningkatan value melalui pengolahan produk yang berorientasi pada penguatan kapasitas produk dan SDM.
Termasuk clean governance sebagai kuncinya dan mengoptimalkan aliran dana Otsus dan APBA berputar kencang di nanggroe sendiri.
Langkah itu saja adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Siapa di antara putra-putri terbaik Aceh yang bisa membuktikannya?
• BPS Nagan Raya Akan Turunkan Petugas Susenas Pada Maret 2023
• Ganjar Cari 738 Siswa Miskin Untuk Disekolahkan Gratis di SMKN Jateng
• Sholat Jamak dan Qashar, Berikut Bacaan Niat, Syarat, Hukum, dan Perbedaannya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.