Jurnalisme Warga

Rumoh Iqra Pang Halim di Pedalaman Aceh Utara

Saya memiliki kedekatan emosional yang kuat dengannya. Kami pernah sama-sama studi di Kairo, Mesir, kemudian ketika saya dipercayakan menjadi Ketua

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/MUHAMMAD NASIR
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2019-2024 asal Aceh, melaporkan dari Paya Bakong, Aceh Utara 

Oleh Muhammad Fadhil Rahmi Lc MA

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2019-2024 asal Aceh, melaporkan dari Paya Bakong, Aceh Utara

ADA sebuah tempat di sudut Aceh Utara yang beberapa kali saya kunjungi karena memang menarik dan mengesankan. Tempat tersebut merupakan sebuah balai pengajian yang diberi nama Rumoh Iqra. Balai pengajian ini dipimpin oleh adik kelas saya, namanya Abdul Halim atau biasa kami panggil Halim. Ada juga yang memanggilnya “Pang Halim”.

Saya memiliki kedekatan emosional yang kuat dengannya. Kami pernah sama-sama studi di Kairo, Mesir, kemudian ketika saya dipercayakan menjadi Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) periode pertama, Abdul Halim merupakan pengurus sentral ketika itu. 

Setelah menyelesaikan S2-nya di UIN Ar-Raniry pada tahun 2015, Halim memilih pulang kampung untuk melanjutkan pengabdiannya.

Suatu ketika saya bertanya kepadanya, apa yang mendasari keputusannya memilih tinggal di kampung, padahal ia bisa ‘survive’ di Banda Aceh, kota kami berdomisili ketika tahun 2015. Ia memberi jawaban yang membuat saya terhenyak. Halim berkata, “Lon wo u gampong lon puebut wajeb.” Kalau diterjemahkan artinya kira-kira seperti ini, “Saya kembali ke kampung untuk menunaikan kewajiban.”

Sebagai orang desa, Abdul Halim benar-benar sadar bahwa pembangunan pengetahuan dan kemanusian itu harus dimulai dari desa. Hal ini yang menyamakan sudut pandang kami dan itulah mengapa saya juga berusaha memberikan bantuan dan fasilitas pendidikan untuk anak-anak miskin yang berada di beberapa pelosok Aceh.

Iqra: Risalah Revolusi Peradaban Islam

Setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana, Halim memilih untuk keluar dari zona nyaman. Ia pulang ke kampung halamannya di Desa Tanjong Drien, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara. Setelah konsultasi kanan-kiri, bertemu beberapa petua dan tokoh masyarakat, dan entah ada kaitannya atau tidak, pada medio 2015 tersebut salah seorang rektor kampus di pusat ibu kota baru saja mengeluarkan pernyataan bahwa 82 persen mahasiswa di kampus tersebut tidak bisa membaca Al-Qur’an. Ini tentu fenomena yang miris. Maka Halim membulatkan tekadnya untuk mulai mengajari anak-anak desa mengaji.

Pengajian anak-anak dimulai di rumah (rumoh) orang tuanya dengan menggunakan metode iqra’. Beberapa tahun kemudian tempat pengajian ini diresmikan menjadi sebuah yayasan dengan nama “Rumoh Iqra”. 

Mula-mula muridnya hanya belasan orang. Tempat mengajinya pun di ruang tamu keluarga. Lambat laun, ruang tersebut terasa semakin sesak, lalu atas bantuan keluarga dekat akhirnya muncul ide untuk membangun balai (bale). Mulanya dibangun dua balai sederhana hasil bantuan keluarga dengan terlebih dahulu merobohkan ‘rumoh tuha’ (sebutan untuk rumah peninggalan orang tua dulu). 

Tak cukup sampai di situ, karena jumlah santri dari hari ke hari semakin ramai akhirnya dengan swadaya masyarakat dan bantuan aparatur desa lahir lagi empat balai tambahan. 

Hal itu ternyata belum juga memadai, lalu pada tahun 2022 Rumoh Iqra sudah memiliki sebelas balai pengajian dan lahan yang cukup luas. Lahannya merupakan milik keluarga yang akan diwakafkan pula untuk keberlanjutan Rumoh Iqra.

Duduk dan berbincang dengan Halim, kita mendapatkan banyak kisah. Menurutnya, guru mengaji itu harus mandiri. Sejak mulai membangun Rumoh Iqra sampai sekarang dapat dikatakan Halim banyak menggunakan uangnya sendiri. Namun, itu pun, menurutnya, sangat terbatas karena sumber penghasilannya tidak besar. “Untuk mengajak anak mengaji kita harus kreatif, bahkan pakai strategi jemput bola. Saya awal-awalnya menjemput santri yang tidak hadir ke pengajian. Ketika ditanya apa alasan tidak hadir, mereka menjawab karena tidak punya uang. Lalu saya memberikan uang jajan kepada mereka supaya mereka mau mengaji,” cerita Halim suatu ketika.

Pernah pula ia harus mengubah jadwal dimulainya pengajian. Penyebabnya adalah saat itu sedang musim layangan. Anak-anak banyak yang tidak mau mengaji karena asyik bermain layang-layang. Akhirnya, Halim mendatangi santri tersebut satu per satu dan berucap, “Kalau tidak mengaji karena alasan main layang-layang, mari mulai besok kita main layang-layangan di seputaran balai pengajian.” 

Walhasil, balai pengajian yang diapit kebun dan area persawahan tersebut menjadi tempat main layangan, baru setelahnya dimulai pengajian. Sungguh sebuah pendekatan humanis dan tahu selera anak-anak.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved