Berita Pidie
KLHK belum Kabulkan Penetapan Hutan Adat di Pidie, Padahal Mukim Sudah Usulkan Tahun 2015
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI belum mengabulkan penetapan hutan adat di Pidie.
Penulis: Muhammad Nazar | Editor: Muhammad Hadi
Laporan Muhammad Nazar I Pidie
SERAMBINEWS.COM, SIGLI - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI belum mengabulkan penetapan hutan adat di Pidie.
Tiga mukim telah mengusulkan penetapan hukum adat adalah Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Mukim Paloh dan Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji.
Pengusulan tersebut dilakukan pada tahun 2015, yang telah disepakati bersama semua kepala desa dan perangkat adat yang berada di bawah pemerintahan mukim melalui surat pernyataan yang ditandatangan bersama ditujukan kepada KLHK.
Untuk diketahui, luas hutan adat yang diusulkan untuk wilayah Mukim Beungga 10.988 hektare, Mukim Paloh 2.921 hektare dan Mukim Kunyet 4.106 hektare.
Mukim adalah lembaga adat terdiri dari sejumlah gampong (desa).
Baca juga: Selamatkan Jembatan Rangka Baja Rp 16 Miliar di Pidie, Aktivitas Galian C Harus Dilarang
Mukim dipimpin imum mukim dibantu perangkat adat seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain, dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.
"Kami meminta supaya penetapan hutan adat di wilayah hukum adat Paloh perlu segera ditetapkan, agar hutan tersebut dapat dikelola bersama-sama oleh masyarakat," kata Imum Mukim Paloh, Muhammad Nasir, dalam rilis kepada Serambinews.com, Selasa (21/2/2023).
Menurutnya, negara telah mengakomodir hak masyarakat adat untuk mengelola hutan, tetapi saat ini usulan warga belum kunjung disetujui.
"Kami khawatir nantinya ada pihak lain yang masuk ke hutan, dan kami tidak memiliki kewenangan apa pun untuk mengawasi. Padahal secara historis adalah wilayah hutan adat yang diwariskan nenek moyang," ujarnya
Dikatakan, negara memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat melalui lima skema perhutanan sosial.
Adalah hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.
Melalui hutan adat, kata Nasir, negara memberikan hak kelola hutan sepenuhnya kepada masyarakat adat tanpa batas waktu.
Baca juga: Fenomena Langka, Gurun Arab Saudi Berubah Jadi Taman Bunga Lavender, Sekarang Jadi Destinasi Favorit
Selain itu, hutan adat akan menjadi milik masyarakat adat, yang fungsi hutan sesuai peruntukannya masing-masing hutan.
"Perlu diketahui, melalui empat skema lain hak kelola dibatasi waktu maksimal 30 tahun dengan opsi izin dapat diperpanjang sekali," jelasnya.
Imum Mukim Beungga, Ilyas, kepada Serambinews.com, Selasa (21/2/2023) menjelaskan, warga memilih diusulkan hutan adat supaya selamanya warga dapat mengelola dan menjaga hutan.
"Kepentingan kami menjaga hutan untuk menjaga sumber mata air. Kalau hutan rusak, krisis air, bagaimana kami bertani," kata Ilyas.
Dikatakan, perjuangan masyarakat hukum adat Mukim Beungga telah dimulai sejak tahun 2007. Saat itu, masyarakat bersepakat agar hutan di wilayah tersebut harus dijaga dan dilestarikan.
"Kami telah berjanji kepada negara, apabila hutan adat ditetapkan, kami tidak akan mengubah fungsi hutan, kami akan menjaga hutan ini," tegasnya.
Ilyas mengatakan, seluruh kelembagaan adat mukim dan masyarakat telah berkomitmen menjaga, mengelola, dan melindungi hutan yang diusulkan sebagai hutan adat.
Komitmen tersebut terbukti saat ini kawasan yang diusulkan itu tetap terjaga.
"Akan ada juga denda bagi yang melanggar, tetapi mengapa sampai sekarang penetapan belum dilakukan," sebutnya.
Baca juga: Kisah Pelarian Wanita Aceh dan 5 Teman di Kamboja, Tulis Surat Dibungkus Nasi Minta Bantuan Haji Uma
Ketua tim Peneliti, Dr Teuku Muttaqin Mansur, menyebutkan, pengajuan usulan hutan adat oleh mukim telah tepat, karena wilayah hutan adat itu dikelola mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang struktur pemerintahannya mengkoordinir desa-desa.
"Secara historis mukim memiliki wilayah hutan yang dikelola secara turun temurun," jelasnya.
Selain itu, di Aceh terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengkataan persoalan adat.
LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.
Melalui hutan adat mukim semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan mukim. (*)
Baca juga: Petaka Kondom Bekas Pakai di Kantong Celana Suami, Hati Wanita Ini Hancur dan Ungkap Penderitaaan
Kecelakaan Maut, Polisi Tetapkan Operator Buldoser Proyek Jalan di Glumpang Baro Pidie Tersangka |
![]() |
---|
Tenaga Honor Diusulkan Bupati Pidie Menjadi PPPK Paruh Waktu, Kini Diminta Pantau Akun |
![]() |
---|
Makam Permaisuri Iskandar Muda di Pidie Terlantar, Budayawan dan Arkeolog USK Kecewa |
![]() |
---|
Stok Obat di RSUD TAS Beureuenun Berkurang, Pasien BPJS Kecewa, Direktur: Bukan Krisis |
![]() |
---|
RSU Sigli Siapkan Kelas Rawat Inap Standar, Ini yang Harus Dipenuhi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.