Jurnalisme Warga

Hikayat Kisason Hiyawan, Akar Ilmu Politik Orang Aceh yang Terlupakan

Hikayat Kisason Hiyawan, walaupun isinya berupa fabel, kisah dunia binatang, tetapi sasaran bidikannya kepada umat manusia.

Editor: mufti
Serambi Indonesia
T.A. SAKTI, alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2007, melaporkan dari Bale Tambeh, Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar 

T.A. SAKTI, alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2007, melaporkan dari Bale Tambeh, Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar

=========================

SAMPAI hari ini, akar ilmu politik yang merupakan bagian  ilmu pengetahuan sosial selalu  diambil dasarnya  ke Yunani kuno. Lantaran itu, nama dan karya filsuf-filsuf  Yunani kuno abad ke-5 SM (Sebelum Masehi) seperti Herodotus, Plato, Aristoteles  selalu menjadi rujukan utama.

Ahli filsafat dari Asia yang juga dinggap pencetus ilmu politik adalah Confusius dan Mensius sebagai filsuf Cina abad ke-4 SM, sementara dari Indonesia adalah  Prapanca dengan karyanya Negarakertagama (lihat: Prof. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 5).

Judul asli manuskrip Negarakertagama adalah Desawarnana, artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali di sebuah pura oleh Belanda saat menyerang salah satu Kerajaan Bali tahun 1918, naskah lama Desawarnana diganti namanya menjadi Negarakertagama, yang berarti Kisah Pembangunan Negara.

Tahun 1980-an manuskrip Negarakertagama yang berisi 98 pupuh (nyanyian) telah saya baca berkali-kali selama kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Menanggapi penjelasan Prof Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik itu, saya dapat menambah lagi beberapa manuskrip asal Indonesia yang mengandung isi yang tak jauh berbeda; seperi ‘La Galigo’ dari Sulawesi Selatan, ‘Bhagawatgita’ dari Bali, serta ‘Tajussalatin’ dan ‘Hikayat Kisason Hiyawan’ dari Aceh.

Hikayat Kisason Hiyawan, walaupun isinya berupa fabel, kisah dunia binatang, tetapi sasaran bidikannya kepada umat manusia. Ceritanya dalam bentuk berbingkai yang sambung-menyambung.

Perlu penafsir cerdas

Setiap kali saya bertemu Sayed Ali Abdullah, seorang seniman lukisan dan sastrawan Aceh–semasa hayat dikandung badan–saya selalu diyakinkan beliau bahwa Hikayat Kisason Hiyawan sebagai “sebuah buku ilmu politik serbalengkap”. Memang benar, bila kita baca sepintas hikayat itu terasa sebagai hiburan belaka, tapi jika kita baca sekaligus dicicipi dan renungkan, barulah kita akui kisah dalam Hikayat Kisason Hiyawan merupakan refrerensi aktual ilmu politik.

Pernyataan  Sayed Ali Abdullah itu tidaklah berlebihan, sebab dalam hikayat itu dapat kita jumpai segala jenis intrik politik baik yang berkonotasi positif maupun negatif. Segala bentuk kasak-kasuk ragam politik terkandung di dalamnya.

Betapa tidak! Tujuan suatu pemerintahan adalah untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat.

Untuk menggapai tujuan suci itu, seseorang yang berminat dan berbakat pemimpin perlu memiliki wewenang yang disebut berkuasa. Namun, kekuasaan itu tidaklah berjalan dengan mulus. Ia selalu terganggu oleh bermacam onak dan duri yang menghalangi tercapainya tujuan semula. Hal itulah yang dihadapi semua pemimpin di sepanjang zaman, dari dulu sampai sekarang.

Iri, dengki, adu domba, tamak, serakah, ingkar janji, saling fitnah, menggunting dalam lipatan, sikut-menyikut, kacang melupakan kulitnya atau lupa daratan, penjilat, munafik, musuh dalam selimut, dan beragam intrik politik lainnya tetap siap menyergap kekuasaan. Kesemua hal itu tergambar dengan jelas dalam  “Hikayat Kisason Hiyawan” (Kisah Dunia Binatang).

Sayangnya, kita amat jarang menjumpai penafsir yang ulung terhadap manuskrip ini. Makanya, kita perlu “Sayed Ali Abdullah” yang baru.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved