Feature

Disiksa Sesama Aceh di Atas Kapal, Lima Pemuda 9 Jam Berenang di Laut Kepulauan Aru Maluku

TANGIS keluarga pecah, ketika lima pemuda Aceh yang sempat terdampar di Kepulauan Aru, Maluku, akhirnya pulang ke kampung halaman.

Editor: mufti
SERAMBI/MAULIDI ALFATA
BERI KETERANGAN - Bupati Aceh Timur Iskandar Usman Al-Farlaky bersama kelima pemuda yang disiksa di atas kapal, memberikan keterangan kepada awak media, Sabtu (23/8/2025). Kepulangan kelima pemuda itu disambut Bupati di Pendopo Idi Rayeuk, Sabtu (23/8/2025). 

Awalnya ditawari kerja di kapal, tak tahunya justru penyiksaan yang didapat. Hal itulah yang dialami lima pemuda Aceh. Ironisnya, itu justru dilakukan sesama warga Aceh. Tak tahan, kelima pemuda memilih kabur dengan melompat ke laut. Setelah 9 jam berenang, mereka akhirnya berhasil selamat dan sudah berada di Aceh. Berikut kisah mereka:

TANGIS keluarga pecah di Pendopo Bupati Aceh Timur, Idi, Sabtu (23/8/2025), ketika lima pemuda Aceh yang sempat terdampar di Kepulauan Aru, Maluku, akhirnya pulang ke kampung halaman. 

Mereka bukan sekadar nelayan yang pulang dari rantau, melainkan penyintas dari pengalaman pahit berbulan-bulan bekerja tanpa kontrak, diperlakukan tidak manusiawi di kapal penangkap cumi, hingga nekat melompat ke laut demi menyelamatkan diri.

Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, menyambut langsung kepulangan kelima pemuda Aceh tersebut. Mereka adalah Osama (23) dan Ahyatul Kamal (22) warga Kecamatan Birem Bayem, Mohamad Azhar (22) warga Kecamatan Rantau Selamat, serta Abdul Azis (20) dan Ahmad Idrus (20) warga Kabupaten Aceh Tamiang.

Tiga dari mereka yang dari Aceh Timur telah ditunggu oleh sanak saudara sejak Sabtu pagi. Sementara dua dari Aceh Tamiang kabarnya juga bakal disambut oleh Bupati Aceh Tamiang dan keluarga mereka di sana.

Abdul Azis dari Aceh Tamiang menjelaskan, mereka awalnya ditawari pekerjaan oleh kapten kapal yang bernama Ali untuk bekerja di kapal pemancing cumi dengan kontrak 10 bulan dan upah per hari 100 ribu. "Kami yang tidak punya pekerjaan dan ingin bekerja dengan harapan bisa membantu orang tua, jadi kami mau bekerja di sana," ujarnya.

Mereka berangkat pada 20 Juni 2025, dibawa oleh sang kapten bernama Ali yang juga warga Aceh. Saat itu ia bersama kawannya dibawa ke Jakarta. Di sana ia bertemu dengan ketiga rekan lainnya yang berasal dari Aceh Timur. 

Dari Jakarta Azis dan kawan-kawan dibawa ke Tanjung Periuk, Muara Baru, dan setelah itu menuju Merauke untuk memancing cumi di laut. Namun dalam perjalanannya mereka tidak pernah diberi surat kontrak yang dijanjikan untuk ditanda tangani.

"Dari janji pertama kami dijanjikan gaji tinggi dan disediakan fasilitas untuk tempat tidur. Namun pada kenyataannya kami hanya digaji Rp 35.000 hingga Rp 100.000 per hari," ungkapnya.

Mereka juga hanya mendapat porsi makan dua kali sehari, pagi dan sore hari. Dengan durasi kerja seharian penuh, membuat tubuh lelah dan membutuhkan konsumsi makanan yang lebih banyak. Sayangnya, meskipun stok makanan di dalam kapal masih banyak, mereka berlima tidak diberi kesempatan untuk menikmati itu.

Penyiksaan semakin terasa saat mereka tidak boleh menggunakan air tawar untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi dan sikat gigi. Padahal stok air tawar di dalam kapal masih penuh.

"Kami hanya diberi mi satu kardus per orang untuk dua puluh hari. Kemudian kami juga tidak beri air tawar. Tempat penampungan air tawar di kapal selalu digembok, jadi kami tidak bisa mengambilnya. Jika ketahuan mengambil, kami dimarahi atau dipukul. Padahal di kapal itu ada mesin pengolahan air asin menjadi air tawar, tetapi kami tetap tidak boleh memakai air tawar," ungkap Azis.

Perlakuan tidak manusiawi itu hanya dialami oleh orang-orang baru. Total jumlah orang yang bekerja di kapal itu sebanyak 27 orang, namun hanya mereka berlima yang mengalami penyiksaan karena baru bekerja. Dalam kapal yang berisi 27 ABK dan 1 nahkoda itu, 25 di antaranya merupakan warga Aceh dan dua lainnya dari Jawa.

Melarikan Diri

Karena perlakuan yang semakin kurang baik, kelimanya berembuk dan berencana melarikan diri. "Kami melihat perlakuan seperti itu, istirahat kurang, makanan terbatas, konsumsi air tawar dibatasi, kami bersepakat untuk melarikan diri," ungkap Abdul Azis.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved