Jurnalisme Warga

Samarinda, Kota Elay dan Kepiting Asap

Terima kasih Samarinda, kesan senang yang kami bawa setelah mengunjungi kotamu

Editor: mufti
Hand-over dokumen pribadi
Sekretaris Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh, dr Aslinar SpAM Biomed. 

ASLINAR, Sp.A., M. Biomed., dokter spesialis anak di Banda Aceh, melaporkan dari Samarinda, Kalimantan Timur

SAMARINDA merupakan kota pertama di Pulau Kalimantan yang pertama sekali saya dan suami kunjungi. Sudah lama rasanya ingin bertandang ke Pulau Borneo ini, tapi selalu saja tertunda dengan berbagai hal.

Alhamdulillah, kami berkesempatan datang bertepatan waktunya untuk mengikuti kegiatan Simposium Nasional (Sinas) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Kalimantan Timur, tepat sebelum pandemi Covid-19 menyerang negara kita, empat tahun lalu.

Perjalanan ke Kota Samarinda ini ditempuh dalam waktu dua jam dari Jakarta menggunakan pesawat terbang. Berangkat pukul 15.00 WIB, kami sampai di lokasi pukul 18.00 WITA. Lo, mengapa jadi tiga jam? Bukan tiga jam sebenarnya, tetap dua jam durasinya, tetapi karena Samarinda berada di wilayah Waktu Indonesia Tengah (WIT) sehingga waktunya lebih cepat satu jam.

Samarinda merupakan ibu kotaProvinsi Kalimantan Timur. Ada dua bandara di provinsi ini, yaitu bandara baru yang bernama Aji Pangeran Tumenggung Pranoto (sering disingkat Bandara APT) dan di Balikpapan dengan nama Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.

Di provinsi ini jugalah nantinya akan jadi calon ibu kota Negara Republik Indonesia, tepatnya di daerah Penajam Paser Utara, Kabupaten Kutai Kertanegara.

Kota Samarinda ternyata dulunya bernama Samarendah, Namanya diabadikan sebagai nama sebuah taman di pusat kota tersebut, yaitu Taman Samarendah. Ini merupakan taman yang indah dengan suasana yang sejuk karena banyak pepohonan yang tumbuh rindang. Bila malam harinya semakin indah terlihat karena dihiasi lampu yang kelap-kelip dengan beragam warna.

Ada beberapa versi mengenai asal muasal nama Samarinda. Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga berarti tatanan kemasyarakatan yang egaliter.

Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya.

Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sanskerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera.

Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.

Di Samarinda ini terdapat sungai terluas di Indonesia, yaitu Sungai Mahakam yang membelah Provinsi Kalimantan Timur. Di bagian hulu sungai melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Kertanegara serta di bagian hilirnya melintasi Kota Samarinda.

Panjang Sungai Mahakam adalah 920 km dan luasnya sekitar 149.277 km persegi. Kebetulan penginapan kami tepat berada di samping Sungai Mahakam tersebut dan dihubungkan dengan wilayah sebelahnya, yaitu dengan Jembatan Mahakam yang sangat indah layaknya Jembatan Sidney Harbour Australia.

Lokasi berlatar jembatan tersebut sering dijadikan sebagai lokasi untuk berfoto ria, termasuk kami juga ikut mengabadikan momen di situ.

Karena Samarinda ini merupakan kota pertama di Pulau Kalimantan yang kami kunjungi, maka sebelum acara ilmiah dimulai, kami sengaja mempercepat kedatangan satu hari sebelumnya sehingga bisa menjelajahi kota ini.

Dari infomasi yang kami dapatkan, bila berwisata di Kota Samarinda, tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi. Lebih banyak berupa tempat kuliner dan pasar. Kami disarankan untuk ke Kota Tenggarong yang berjarak satu jam dari Kota Samarinda.

Di Kota Tenggarong ini kami mengunjungi Museum Mulawarman. Di museum ini disimpan dan dipamerkan berbagai benda bersejarah yang unik dan antik, peninggalan Kerajaan Kutai Kertanegara.

Terdapat juga pajangan singgasana raja/permaisuri, baju adat kerajaan, dan keramik antic.

Berbagai benda berupa piring, gelas, dan peralatan rumah tangga antik ikut dipajang, termasuk alat musik gamelan dan banyak benda bersejarah lainnya.

Di dalam museum ini juga terdapat patung para kepala pemerintahan Provinsi Kalimantan, yaitu patung para gubernur dan wakil gubernur yang pernah menjabat. Di antaranya kami juga menemukan patung Bapak Dr Ir Tarmizi Abdul Karim MSc, putra Aceh Utara yang pernah menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 2008.

Di bagian halaman samping museum terdapat makam para raja Kerajaan Kutai Kertanegara.

Setelah puas berkeliling Museum Mulawarman, kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Museum Kayu. Namun sayang, museum tersebut sedang tidak dibuka pada hari itu.

Selanjutnya, kami pun berpindah menuju lokasi wisata lainnya, yaitu Pulau Kumala. Untuk mencapai pulau tersebut, kami harus berjalan kaki menyeberangi sungai melintasi jembatan yang panjangnya lebih kurang 200 meter. Jembatannya indah dan bewarna kuning. Di sepanjang jembatan yang sudah dilengkapi dengan jeruji pengaman, tampak banyak gembok-gembok kunci yang bertuliskan nama pasangan. Entah apa maksud mereka meletakkan gembok kunci di situ, mungkin simbol cinta sejati.

Untuk masuk menjelajah Pulau Kumala ini, harus membeli tiket seharga Rp7.000 saja dan kita bisa sepuasnya berkeliling. Karena pulaunya lumayan luas kalau berjalan kaki, di sini disediakan sepeda motor listrik yang bisa disewa seharga Rp50.000 per jamnya. Karena bertepatan dengan waktu shalat Jumat, maka kami hanya berada sebentar saja di pulau tersebut, kemudian kembali ke Samarinda untuk shalat Jumat dan bersambung dengan menikmati kulinernya,

Penduduk di Samarinda ini beragam sukunya sehingga makanan pun tidak ada yang spesifik. Namun, ada dua jenis makanan yang belum pernah kami temukan di tempat lain. Yaitu, kepiting asap dan buah elay. Kepiting asap ini dimasak dengan bumbu yang luar biasa enak walaupun pedas dan kemudian dibungkus dengan daun pisang dan kertas aluminium foil dan selanjutnya dibakar. Barulah kemudian dinikmati dengan nasi putih. Waw, luar biasa nikmat rasanya.

Sedangkan buah elay adalah buah-buahan semacam durian yang dagingnya berwarna oranye dan rasanya enak sekali. Mirip durian, tapi bukan durian. Ya, semacam perpaduan antara nangka dan durian mungkin (itu menurut kami sih). Warna dagingnya seperti Nangka, tapi rasanya seperti durian. Bagian kulit duriannya berduri tapi, tidak setajam durian.

Saking tertariknya kami pada buah elay ini, kemudian kami pun bertanya kepada kerabat yang ada di Kota Samarinda apakah mungkin untuk membawa bibit pohon elay tersebut. Dan alhamdulillah kami pun dihadiahi lima batang elay. Nah, karena ini berupa tumbuhan, saat ‘check in; di bandara kami diharuskan melapor ke bagian karantina tumbuhan. Membawa lima bibit pohon elay ini hanya dikenakan biaya Rp5.200 saja, kemudian kepada kami diberikan surat izin dari bagian karantina. Mudah saja prosesnya dan cepat. Terima kasih Samarinda, kesan senang yang kami bawa setelah mengunjungi kotamu. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved