Sejarah Aceh

Sejarah Hari Ini - Aceh di Masa Darurat Militer 20 Tahun yang Lalu: Hidup Dibawah Konflik Bersenjata

Dimulainya darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003, ditandai dengan pengerahan besar-besaran pasukan dan alutsista militer Indonesia.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Amirullah
SOPHIA ANANDA / AFP
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berpatroli di Teupin Raya, Bireuen, Aceh pada 25 Mei 2003. Serangkaian ledakan mengguncang Lhokseumawe di Aceh Utara, saat jumlah korban meninggal terus meningkat pada minggu pertama operasi besar-besaran pemerintah untuk menumpas GAM. 

Sejarah Hari Ini - Aceh di Masa Darurat Militer 20 Tahun yang Lalu: Hidup Dibawah Konflik Bersenjata

SERAMBINEWS.COM – Salah satu peristiwa yang paling dicatat dan diingat oleh masyarakat Aceh, adalah pemberlakuan Operasi Militer di Aceh 20 tahun silam tepatnya pada 19 Mei 2003.

Pada tanggal tersebut, Presiden ke-5 Indonesia, Megawati Soekarnoputri menyatakan Aceh sebagai daerah dengan status Darurat Militer.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 28/2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB. 

Provinsi Aceh merupakan satu Daerah Istimewa (DI) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aceh dikenal sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia, dan menjadi bagian penting penyebaran Islam di Asia Tenggara.

Hingga kini Aceh memiliki proporsi penduduk muslim yang paling tinggi, yang hampir seluruhnya hidup mengikuti kebiasaan dan melaksanakan hukum syariat Islam.

Baca juga: Sejarah Hari Ini - 20 Tahun yang Lalu Presiden Megawati Berlakukan Darurat Militer di Aceh

Cover Harian Serambi Indonesia edisi 19 Mei 2003.
Cover Harian Serambi Indonesia edisi 19 Mei 2003. (SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN M NUR)

Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara yang paling kaya, perkasa, dan berkembang di wilayah Selat Malaka.

Kesultanan Aceh memiliki sejarah panjang dari kemerdekaan politik dan penolakan terhadap pengendalian orang luar, serta kaya akan sumber daya alam yang penting, termasuk minyak dan gas alam.

Sejumlah pakar menyatakan bahwa cadangan gas di Aceh itu sebagai yang paling besar di dunia.

Meskipun memiliki peran penting yang dianggap sangat besar dalam sejarah terbentuknya Negara Republik Indonesia, Aceh sampai dengan dasawarsa pertama abad ke-21 ini nyaris tak berhenti bergolak.

Pergolakan itu mewarnai konflik yang memuncak menjadi perang yang memiliki sejarah panjang sejak abad ke-13.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam muncul, diteruskan hingga masa kolonial Hindia Belanda yang menghasilkan ‘Perang Sabil’, sampai ke masa kemerdekaan.

Ketika Teungku Daud Beureueh menyatakan mendukung pendirian Negara Islam Indonesia seraya menentang pemerintah Jakarta.

Konflik ini mengalami de-eskalasi pada sekitar tahun 1960-an, akan tetapi kemudian muncul konflik baru ketika Hasan Tiro ‘memproklamasikan’ Aceh Merdeka pada tahun 1976.

Konflik itu terus mengalami eskalasi dengan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Puncaknya pada 19 Mei 2023, ketika dikeluarkannya keputusan Presiden RI tahun 2003 yang menyatakan Aceh dalam keadaan darurat militer.

Dimulainya darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003, ditandai dengan pengerahan besar-besaran pasukan dan alutsista militer Indonesia.

Ada sekitar 28.000 tentara dan 12.000 polisi yang ditugaskan untuk "menumpas" Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Bentuk KTP Merah Putih yang hanya berlaku pada saat Darurat Militer di Aceh
Bentuk KTP Merah Putih yang hanya berlaku pada saat Darurat Militer di Aceh (Serambi Indonesia)

Penumpasan ini terlihat jelas sebelum deklarasi resmi darurat militer.

Seorang mantan aktivis mahasiswa – yang namanya dirahasikan, telah meninggalkan Aceh dua minggu sebelum darurat militer dimulai.

Kepada Human Rights Watch, dia mengatakan,:

“Sudah jelas apa yang akan terjadi. Saya pergi dari Aceh ke Medan dengan minibus. Sudah banyak TNI. Bus saya harus menunggu 20 menit agar konvoi tentara yang terdiri dari tiga puluh lima truk lewat, menuju ke barat,”

“Di pos pemeriksaan mereka memeriksa tas, kartu identitas dan menanyakan tujuan. 20 ditahan dari dalam bus, satu di Alue Ie Puteh di Aceh Utara, yang lain laki-laki berusia 25 tahun, di Langsa,”

“Saya menelepon ke rumah pada tanggal 5 Oktober dan TNI di dekat rumah saya telah berpindah dari satu pos ke tiga pos kami di dekat gunung,” ujarnya.

Seorang laki-laki berusia 25 tahun – namanya dirahasikan - kembali ke Aceh dari Malaysia pada Maret 2003 ketika Perjanjian Penghentian Permusuhan diberlakukan.

Ia menggambarkan upayanya untuk meninggalkan provinsi tersebut:

“Saya datang ke sini (Malaysia) ketika pertama kali meledak, pada tahun 1998,” kata dia.

“Pada bulan Maret 2003, saya pulang dengan sukarela. Itu sedikit aman selama periode itu. Saya berharap untuk tinggal enam bulan, tetapi setelah tiga bulan, darurat militer datang,”

“Saat itu saya berada di kecamatan Samalanga kabupaten Bireun,”

“Hari [Presiden] Megawati mengumumkan darurat militer resmi, TNI masuk ke Aceh. Yang dari samudra dari samudra, yang dari langit, dari langit,”

“Enam jet tempur terbang di atas kepala. Saya sedang memanen padi. Keesokan paginya terdengar suara peluru dan ledakan,”

“Kata orang di Samalanga ada tank, kendaraan amfibi, peluru di sawah. TNI datang mencari GAM. Tapi kami memberi tahu mereka bahwa tidak ada GAM di sana, yang mati hanyalah sapi dan ayam,” ceritanya.

Seorang laki-laki dari Aceh Tengah yang tiba di Malaysia pada awal Agustus 2003mengatakan kepada Human Rights Watch:

“Saya meninggalkan Aceh karena setiap hari ada pertempuran dan baku tembak antara TNI dan GAM di seluruh Aceh,”

“Saya bisa mendengarnya dari desa. Begitu banyak hal telah terjadi. Teman-teman saya telah dipukuli oleh militer,”

“Banyak yang diancam. Saya tidak bisa tinggal di Aceh lagi. Traumanya terlalu banyak, bertanya-tanya apakah saya akan hidup atau mati,” ceritanya.

Beberapa hari setelah deklarasi darurat militer, militer mengerahkan artileri berat untuk menyerang pangkalan pemberontak, karena lebih dari 21.000 warga sipil meninggalkan rumah mereka. 

Operasi meliputi patroli ekstensif dan taktik "sweeping", yang dirancang untuk mengidentifikasi separatis atau pendukung mereka melalui penggeledahan kendaraan, pemeriksaan dokumen, dan penggeledahan sistematis dari satu desa ke desa lainnya. 

Pada akhir Juli 2003, para pejabat militer mengumumkan beberapa perubahan pada strategi tersebut, termasuk unit-unit yang lebih kecil yang dikerahkan dalam pencarian kepemimpinan GAM yang sebagian besar tidak berhasil.

Lebih banyak patroli bersama TNI dan Polri untuk membatasi pergerakan pejuang GAM, intensifikasi operasi intelijen, dan meningkatkan operasi malam hari, yang diharapkan dapat mengurangi korban sipil. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved