Opini
Janganlah Tuan Melupakannya, In Memorial 13 Tahun Teungku Hasan Tiro
Menurutnya Teungku Hasan Tiro sebagai seorang yang mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi, berpendidikan yang baik, dan mempunyai kombinasi ilmu pol
Oleh Dr Munawar A Djalil MA
Pegiat Dakwah dan Pemerhati Aceh, Tinggal di Cot Masjid Banda Aceh
TANGGAL 3 Juni 2023, tepat 13 tahun Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggal dunia (2010-2023). Dalam rekaman sejarah Teungku Hasan Tiro termasuk salah seorang tokoh politik Aceh terakhir setelah Allahuyarham Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Aceh dalam dinamika historisnya memang telah banyak kehilangan tokoh dan dapat dikata Beliau adalah salah seorang tokoh “ideolog” terakhir di Aceh.
Syahdan, Teungku Hasan Tiro sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak tokoh bahwa Beliau adalah seorang yang mempunyai kemampuan intelektual yang cemerlang.
• 13 Tahun Meninggal Hasan Tiro, Sejarah Perjuangan Hingga ‘Dekrit Keramat’ di Camp Bateë Iliëk
Sebut saja seorang Professor sejarah asal Rotterdam Belanda yaitu Cornelis Van Dijk, dia juga merupakan peneliti di sebuah pustaka yang menyimpan seluruh dokumentasi kehidupan rakyat Indonesia masa penjajahan yaitu KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde) sekaligus peneliti pada Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies.
Menurutnya Teungku Hasan Tiro sebagai seorang yang mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi, berpendidikan yang baik, dan mempunyai kombinasi ilmu politik dan hukum yang jarang terdapat pada kebanyakan orang.
Di samping kecemerlangan otaknya, Beliau juga punya sifat kemandirian yang tinggi. Sifat khusus yang dimiliki oleh Teungku Hasan Tiro pernah juga disinggung oleh seorang kolumnis Richard C. Paddock dalam Harian Los Angeles Times (30 Juni 2003), dia menulis akan kekaguman terhadap Teungku Hasan Di Tiro dengan kekhususan sifat yang dimilikinya, berjuang di hutan belantara Aceh dengan meninggalkan kemewahan hidup yang sudah didapatkannya di New York, AS.
Mengutip buku yang ditulis Teungku Hasan Tiro 1981 “The Price of Freedom: The Unfinished Diary”. Buku ini mengenai kisah harian Beliau ketika berada di Aceh dari 4 September 1976 hingga 29 Maret 1979.
Buku ini penuh dengan semangat hidup yang tak pernah pudar dari Teungku Hasan Di Tiro. Secara umum buku tersebut menggambarkan bahwa demi “tanoh endatu” beliau rela mengorbankan segalanya.
Pejuang yang dilupakan
Kalau kita berbicara tentang perang Aceh melawan penjajahan maka yang akan teringat dalam pikiran kita ialah nama-nama seperti, Teungku Chik Muhammad Saman, Teungku Chik Mat Amin, Teungku di Buket, Teungku Ma’at, Teungku Chik di Reubee, Teuku umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Chik Paya Bakong, Teungku di Cot Cicem, Teungku Cot Plieng, Teungku Chik di Awe Geutah, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku di Lamkrak, Teungku di Lam Sie, dan lain-lain.
Mereka adalah para ulama dan sekaligus para pejuang yang menentang penjajah pada kurun waktu abad ke -18 hingga 19 M.
Teungku Chik Muhammad Saman berasal dari keluarga ulama Tiro dan juga keluarga pejuang, sehingga darah ulama dan darah pejuang menjadi turun temurun kepada anak-anak Beliau bahkan hingga ke anak cucu Beliau sekalipun.
Sebenarnya agamalah yang sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan keluarga Teungku Chik Di Tiro hingga dapat menyebarkan semangat jihad bukan hanya pada keluarganya saja, akan tetapi sanggup membangun sebuah prinsip umum tentang pentingnya jihad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sehingga C. Snouck Hurgronje dalam bukunya “The Acehnese” menyatakan bahwa Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman adalah sebagai seorang pemimpin perang suci (holy war) hingga akhir hayatnya, seorang pemimpin besar Aceh dan bahkan seorang pemimpin ulama pembaharuan.
Teungku Syik Muhammad Saman sampai anaknya yang terakhir Teungku Muaz (Syahid 3 Desember 1911) terus menerus berjuang sampai cucunya Teungku Hasan Muhammad. Atas dasar semangat dan nasab keturunan inilah sangat wajar kalau Teungku Hasan Tiro melanjutkan perjuangan “sienamboeng” dengan mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka 4 Desember 1976 sebagai kelanjutan “successor state” setelah vakum selama 65 tahun.
Sejak itulah perjuangan Teungku Hasan dimulai tanpa henti hingga perdamaian wujud melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
Setelah 13 tahun pahit getir perjuangannya seakan telah dilupakan. Malah ironi, ketika ditanya pada Generasi Aceh saat ini, mereka tidak begitu mengenal Hasan Tiro di tambah lagi kajian sejarah Aceh kontemporer tidak menempatkan Hasan Tiro dalam daftar panjang pejuang Aceh.
Apa mungkin dikarenakan ide separatisme yang didengungkan Beliau untuk membebaskan Aceh sehingga membuat orang apatis dan berpikir sinis?
Kalau itu menjadi alasan, penulis ingin menegaskan bahwa Beliaulah sesungguhnya yang telah membuka mata orang Aceh bahkan mata dunia sekalipun bahwa kezaliman wajib dilawan dan keadilan mesti ditegakkan dan secara normatif sekaligus Beliau ingin mengajarkan kepada anak cucunya tentang teori dalam buku filsafat bahwa tujuan kehadiran sebuah “state” dimanapun dan kapan pun hakikatnya adalah untuk memberikan rasa adil bagi rakyatnya, dan itulah yang tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh.
Yang perlu diingat pula bahwa untuk “membebaskan Aceh” dia rela meninggalkan keluarganya dan segala kemapanan hidup.
Kalau kita dalami benar beberapa catatan dalam bukunya dapat digambarkan bahwa itulah hakikat dari misi hidup beliau yaitu mewujudkan keadilan.
“Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh mendapatkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan mampu mengatur dirinya sendiri.”
Nah, pada titik ini atas nama perjuangan Penulis mengajak semua komponen Nanggroe terutama PA/KPA untuk tidak melupakan sosok Teungku Hasan Tiro dengan seluruh cita-cita perjuangan Beliau.
Pertama, perjuangan Aceh idealnya kembali kepada misi awal perjuangan Hasan Tiro yaitu “hudep saree mate sajan”. Maknanya semua kita harus bersatu padu untuk bersama-sama memakmurkan tanah endatu.
Kedua, bercermin dari perjuangan Teungku Hasan Tiro maka perjuangan kita nampaknya tidak boleh berhenti hanya sebatas proyek aspirasi (Pokir) atau Pajero dan Kijang Inova sehingga cita-cita perjuangan Hasan Tiro untuk memakmurkan rakyat tanpa nilai dan hampa makna.
Kalau Penulis boleh menuduh kemakmuran itu baru dirasakan oleh “segelintir” orang saja yang notabenenya punya andil dalam perjuangan dan kaum oportunis---kelompok ini kata endatu punya prilaku “yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”.
Namun yang perlu diingat seperti kata Hasan Tiro ideologi (meunumat) pembebasan rakyat (dari kemiskinan, keterpurukan, kebodohan dll), hanya boleh terkubur ketika ajal menjemput. Ketiga, untuk perjuangan yang berkelanjutan perlu adanya rekonsiliasi antara semua komponen Nanggroe agar cita cita Teungku Hasan Tiro untuk “membebaskan” rakyat Aceh dapat segera terwujud.
Keempat, Lembaga Wali Nanggroe yang notabenenya sebagai pemersatu dan simbol kekhususan Aceh yang kelahirannya tidak terlepas dari spirit Hasan Tiro idealnya harus berperan meniti jalan mewujudkan cita-cita tersebut.
Kalaulah tidak mampu, maka hari ini Penulis memelas janganlah Tuan-tuan melupakannya. Kepada Allahuyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro; Alfatihah…Allahu ‘Alam.
• Aura Kasih Ungkap Idap Anxiety Disorder, Akui Kehidupannya Terganggu: Rasanya Mau Mati
• VIDEO 20 Mahasiswa URI Amerika Serikat Kunjungi Unigha Sigli
Haul ke 13 hasan tiro
Teungku Muhammad Hasan Tiro
Hasan Tiro Mangkat
In memorial hasan tiro
opini serambi
Damai bukan Sekadar Indah, tapi juga Mahal |
![]() |
---|
Kawasan Strategis Regional dan Keterbukaan Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Harapan Kepada 17 Guru Besar UIN Ar-Raniry, Penuntun Cahaya Bagi Umat |
![]() |
---|
Humas dan Media di Era Digital, Ibarat Jembatan dan Jalan Membangun Komunikasi dan Citra Institusi |
![]() |
---|
Ayah, Pulanglah dari Warung Kopi, Semai Cinta di Rumah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.