Opini

Pentingnya Konseling Islam Untuk Ketahanan Pendidikan di Aceh

Di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa Aceh masih bergulat dengan berbagai tantangan, mulai dari

Editor: Ansari Hasyim
IST
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh

 ACEH, dengan identitasnya yang khas sebagai Serambi Mekah, memiliki peluang sekaligus tantangan yang unik dalam membangun sistem pendidikan yang tangguh. 

Di satu sisi, kekayaan nilai-nilai Islam mengalir deras dalam kehidupan masyarakat, menjadi fondasi spiritual yang kokoh. 

Di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa Aceh masih bergulat dengan berbagai tantangan, mulai dari tingginya angka masalah kesehatan mental remaja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih di bawah rata-rata nasional, hingga tingginya tingkat putus sekolah di beberapa daerah. 

Dalam konteks inilah, sebuah pendekatan konseling yang integratif dan kontekstual menjadi kebutuhan mendesak. Integrasi antara Model Konseling Islam dan Psikologi Positif menawarkan sebuah jalan yang menjanjikan untuk membangun ketahanan pendidikan yang holistik di bumi rencong.

Ketahanan pendidikan tidak lagi sekadar tentang pencapaian akademik yang gemilang, melainkan tentang kapasitas untuk bertahan, beradaptasi, dan tumbuh menghadapi berbagai tekanan dan tantangan. 

Tekanan akademik, masalah keluarga, trauma masa lalu seperti konflik dan tsunami, serta jerat kemiskinan adalah realitas yang dihadapi oleh banyak pelajar Aceh. 

Baca juga: Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh  

Data Riskesdas 2018 dan BPS Aceh mengonfirmasi tingginya prevalensi depresi, kecemasan, dan perilaku berisiko di kalangan remaja. 

Pendekatan konseling konvensional yang hanya berfokus pada patologi dan kelemahan (what’s wrong with you) seringkali tidak cukup menyentuh akar persoalan dan kurang selaras dengan nilai-nilai kultural masyarakat.

Di sinilah Konseling Islam dan Psikologi Positif menemukan titik temunya. Konseling Islam, dengan fondasinya pada tauhid, berfokus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) melalui pembinaan iman, ibadah, dan akhlak. 

Pendekatannya bersifat ilahiah, menggunakan Al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk utama. Sementara itu, Psikologi Positif yang digagas Martin Seligman, berfokus pada kekuatan karakter, kebahagiaan autentik, dan pencarian makna hidup (what’s right with you). 

Ia berdiri di atas tiga pilar: positive emotion (emosi positif), engagement (keterlibatan penuh), dan meaning (makna).

Integrasi keduanya bukanlah peleburan, tetapi sebuah sinergi yang saling menguatkan. 

Nilai-nilai Islami yang abstrak dan spiritual mendapatkan kerangka kerja ilmiah dan metodologis dari psikologi positif, sehingga lebih terukur dan aplikatif dalam setting konseling. 

Sebaliknya, psikologi positif mendapatkan kedalaman makna dan tujuan transendental dari nilai-nilai Islam.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved