Kupi Beungoh
Rumoh Geudong: Janji Jokowi yang Belum Tunai untuk Aceh – Bagian Terakhir
Pemilihan lokasi “kick off” di Rumoh Geudong juga secara simbolik memberi makna penting dalam memaknai tahun-tahun terakhir pemerintahan Jokowi.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
PENGAKUAN kesalahan negara atas pelangaran HAM masa lalu yang dimulai dengan “kick off” di Rumoh Geudong hari ini oleh Jokowi adalah janji umum Presiden Jokwi dalam dua kali kampanye.
Dari penelusuran digital yang ada, ia sama sekali tak menyebutkan kasus Aceh secara spesifik.
Karenanya, dari segi janji kampanye pemilihan presiden, walaupun Jokowi kalah dua kali di Aceh, peristiwa “kick off” penyelesaian nonyudisial 12 kasus pelanggaran berat HAM nasional, patut disyukuri oleh rakyat Aceh secara khusus, dan publik nasional secara keseluruhan.
Pemilihan lokasi “kick off” di Rumoh Geudong juga secara simbolik memberi makna penting dalam memaknai tahun-tahun terakhir pemerintahan Jokowi.
Barangkali ada semacam check list “what to do” yang belum selesai ditelusuri dan diperiksa kemajuan atau ketidakmajuan pelaksanaan janji-janji presiden kepada rakyat Indonesia.
Sekalipun tingkat penerimaan kinerja presiden per awal Juni mencapai angka 80,3 persen, itu bukan berarti ia telah menunaikan semua janji kampanyenya kepada rakyat Indonesia.
Ketika “check list” janji kampanye Jokowi tentang Aceh ditelusuri melalui jejak digital, ditemukan ada beberapa kali ia menyebutkan jika ia menang, dana otonomi khusus Aceh akan diperpanjang.
Ucapan Jokowi yang paling banyak direkam adalah ketika ia berjanji di hadapan para ulama dan tokoh masyarakat Aceh dan rubuan rakyat yang hadir pada 26 Juni 2019 di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe.
Seperti dikutip media CNN "Jangan ditanyakan lagi itu soal Otsus, semua harus yakin karena saya akan memperjuangkannya kembali,” kata Jokowi pada saat itu.
Ia berharap Aceh akan menjadi simbol kemajuan untuk Indonesia bagian barat.
Ketika Jokowi berjanji pada 2019, masa berlaku dana Otsus 2 persen setara DAU nasional akan berakhir pada 2022.
Dan selanjutnya sampai dengan tahun 2027 Aceh hanya menerima 1 persen setara dana DAU nasional pada tahun yang sedang berjalan.
Pengurangan peneriman dana Otsus menjadi 1 persen secara signifikan telah merobah postur anggaran pembangunan Aceh.
Penerimaan dana tahunan Otsus yang sisanya berkisar sekitar 8 triliun rupiah per tahun, semenjak tahun 2022 telah menurun menjadi sekitar 4 triliun rupiah, Aceh mengalami shock anggaran pembangunan yang diketahui dari awal oleh elite pemerintahan dan legislatif, namun tak dipersiapkan dengan antisipasi yang baik dan terukur.
Upaya melobi pemerintah pusat dan DPR RI, terutama dengan mengajukan revisi UUPA Nomor 11 menyangkut dengan mempertahankan angka dua persen setara dana DAU pusat tidak dilakukan.
Pada saat yang sama, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh yang memperlihatkan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalani masa “phasing out”-pengakhiran pengurangan dana 1 persen setara dana DAU nasional.
Setelah menang Pilpres, Jokowi dalam kunjungannya ke Bireuen pada 22 Febuari 2020 menegur gubernur Nova Iriansyah, etika sang gubernur meminta perpanjangan dana Otsus.
Jokowi tidak hanya mengatakan jumlah uang yang cukup besar untuk ukuran wilayah dan penduduk dengan nilai 17 triliun per tahun.
Jokowi merespons dengan menekankan pada tata kelola, sasaran, dan manfaat untuk rakyat.
Intinya Jokowi menggunakan kata kunci pengelolaan anggaran yang baik, bersih, dan akuntabel.
Teguran Jokowi untuk Aceh via gubernur Nova pada masa itu sangat beralasan.
Sampai dengan tahun 2022, tepatnya selama 15 tahun, Aceh telah menerima dana Otsus tidak kurang dari 95,740 triliun rupiah.
Perhitungan indikatif yang dibuat baru baru ini menunjukkan penerimaan Aceh sampai dengan tahun 2027 akan berjumlah 31,575 trilliun rupiah.
Jika penerimaan dana sebesar itu, ditambah dengan berbagai dana pembangunan yang lain yang telah dilaksanakan, sulit bagi orang kelas awam, apalagi yang terdidik untuk percaya jumlah itu benar adanya.
Kenapa tidak, tingkat kemiskinan pada pertengahan tahun 2022 masih bertengger pada angka 14,74 persen, dengan status lebih tinggi di kawasan pedesaan Aceh yang mencapai 17,06 persen.
Tidak ada istilah lain yang dapat digunakan dalam menyambut tahun-tahun mendatang selain dari kata prihatin, sekaligus mengkawatirkan.
Sebenarnya saat ini pun kondisi keuangan Aceh telah sangat parah, semenjak penerimaan dua persen setra DAU nasional pada 2022 berkurang menjadi 1 persen mulai tahun ini.
Mengharapkan revisi UUPA /11/ 2007, baik tentang pembatalan pengurangan dana 1 persen kembali menjadi 2 persen, ataupun perpanjangan dana Otsus untuk jangka waktu yang relatif panjang ke depan sepertinya sangat tidak realistis.
Elite Aceh, meliputi DPRA, eksekutif, terutama para anggota DPR RI dan DPD yang bergabung dalam Forbes Aceh, seolah lalai, bahkan layak disebut abai dalam menjaga dan memperjuangkan dana Otsus 2 persen.
Realitas itu terlihat baik setelah turun menjadi satu persen pada 2023, maupun kemungkinan perpanjangan setelah berakhir pada tahun 2027.
Alasan menyebut realistis sangat sederhana.
Para wakil rakyat Aceh itu tahun ini akan bekerja keras untuk terpilih kembali pada pemilu 2024, yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024, sekitar delapan bulan dari sekarang.
Draft revisi apapun yang telah siap dibuat tidak akan akan memungkinkan pembahasannya di DPR RI sampai dengan tahun 2025.
Hiruk pikuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada akhir tahun 2024, sama sekali tidak memberi ruang untuk revisi UUPA/11/2007 yang telah direncanakan.
Sebagai perbandingan, layak untuk dilihat revisi UU No 21 /2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang telah mencantumkan penambahan dana dari 2 persen menjadi 2,25 persen setara DAU pusat yang akan berlangsung sampai dengan 2041.
Tidak hanya tambahan jumlah dan tahun dana Otsus, pemerintahan Jokowi mengelontorkan triliunan rupiah setiap tahunnya, semenjak 2017 dalam bentuk Inpres percepatan pembangunan Papua.
Kini dalam usia kekuasaan Jokowi kurang dari satu setengah tahun, akankah ia menunaikan janjinya untuk perpanjangan dana Otsus Aceh seperti yang ia sebutkan dalam pidato kampanyenya di Lhokseumawe pada 2019.
Ketika menyampaikan keprihatunannya tentang pengelolaan dana Otsus Aceh pada 2020 di Bireuen tentang efektivitas dana yang telah berjalan tiga belas tahun pada masa itu, Aceh harus sadar dan mengakui ada kesalahan fundamental yang terjadi.
Ketika Jokowi menyebutkan hal itu, masyarakat Aceh, terutama para elitenya seharusnya melihat ke tanah, tak berani melihat ke depan, karena impian emas pembangunan Aceh telah banyak membawa cerita buruk dibandingkan dengan cerita baik.
Salah urus dan korupsi telah memakan uang yang dihasilkan oleh pengorbanan darah dan airmata masyarakat Aceh selama puluhan tahun.
Akankah Jokowi kemudian menjadikan salah urus dan korupsi Aceh sebagai alasan untuk tak akan menunaikan janjinya?
Jika itu yang dilakukan, kenapa rakyat Aceh harus menaggung derita dua kali akibat ulah eliteny?
Pertama dana otsus disalahgunakan dan dikorupsi, dan kemudian tingkah mereka juga telah menghilangkan potensi rakyat mendapatkan manfaat pembangunan yang sepatutnya.
Ketika dua kata optimis dan pesimis dikaitkan dengan realisasi janji Jokowi untuk perpanjangan dana Otsus Aceh untuk tahun-tahun mendatang, peluang optimis sepertinya lebih besar.
Kenapa? karena semua presiden telah meninggalkan jejaknya di Aceh, mulai dari Sukarno sampai dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan Suharto, Habibie, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah berjanji, namun tetap meninggalkan warisan yang sangat berarti untuk masyarakat Aceh.
Saya tidak yakin mimpi buruk tragedi janji Sukarno dan janji Megawati akan diulang oleh Jokowi.
Apalagi ia pernah menjadi warga dan bekerja di Aceh.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.