Breaking News

Opini

Zakat dan Kemiskinan

MENARIK untuk dikaji ulang tulisan Riza Rahmi (Serambi 1/4/2023) dengan judul “Mengapa Zakat belum Mengatasi Kemiskinan”.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Abdul Gani Isa, anggota MPU Aceh dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Unmuha Aceh 

Abdul Gani Isa, Anggota MPU Aceh dan Anggota DPS BMA

MENARIK untuk dikaji ulang tulisan Riza Rahmi (Serambi 1/4/2023) dengan judul “Mengapa Zakat belum Mengatasi Kemiskinan”. Hipotesis yang dikemukakan Riza di satu sisi ada benarnya, apalagi bila dikaitkan dengan fenomena Aceh masih pada posisi teratas tingkat kemiskinan se-Sumatra. Namun di sisi lain pernyataan tersebut membutuhkan kajian lebih lanjut dari berbagai aspek secara komprehensif bila kita ingin memperbaiki tata kelola manajemen zakat baik daerah maupun nasional.

Dari kajian syariat jelas bahwa zakat, merupakan rukun Islam ketiga. Hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat, baik “haul” maupun “nishab”, tujuannya untuk menyucikan diri  (zakat fitrah) dan  menyucikan harta kekayaan (zakat mal). Dari sejumlah ayat Alquran memberikan informasi bahwa Kewajiban menunaikan  zakat sama dengan kewajiban mendirikan shalat, Alquran menyebutnya sampai 32 kali lebih, antara lain seperti tersebut dalam QS 2:43, 110, 177, 277, 4:162, 9:103, 24:56, 73:20, 98:5.

Dirikan shalat dan tunaikan zakat  jelas di satu sisi zakat memiliki dimensi vertikal dengan Allah, di sisi lain zakat juga memiliki hubungan kuat dengan masyarakat secara horizontal. Di dalam harta muzakki pun  ada  bagian  untuk muslim lainnya yang membutuhkan, sehingga zakat bukan saja diberikan melainkan didistribusikan.

Barang siapa yang mampu dan  tidak mau membayar zakat, maka digolongkan sebagai perbuatan zalim dan tidak memiliki itikad baik membantu sesama manusia. Ingat kisah Qarun yang menolak secara tegas tidak mau mengeluarkan zakatnya, akhirnya Allah tenggelamkan diri dan hartanya ke dalam bumi.

Membangun trust

Zakat adalah satu-satunya ibadah yang memiliki petugas khusus disebut dengan “Amil” untuk mengelolanya, baik menerima maupun mendistribusikan, kepada yang  berhak (mustahik) sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam QS At-Taubah ayat 60. Pengelolaan zakat melalui institusi amil memiliki beberapa keuntungan yaitu: (i) lebih sesuai dengan tuntunan syariah, shirah nabawiyyah dan shirah para sahabat serta generasi sesudahnya, (ii) menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat, (iii) untuk menghindari perasaan rendah diri dari para mustahik apabila mereka berhubungan langsung dengan muzakki, (iv) untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pendayagunaan zakat, dan (v) sebagai syiar Islam dalam semangat pemerintahan yang Islami.

Tujuan mendasar ibadah zakat itu adalah untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Sistem distribusi zakat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, dan atribut-atribut keduniawian lainnya.

Sekalipun Alquran sudah menjelaskan “mustahik” zakat dalam at-Taubah 60, namun tidak menjelaskan  secara detail bagaimana cara terbaik mendistribusikannya sehingga tujuan maqashid  syariah tercapai yang  sebelumnya miskin bisa berubah menjadi aghniya (muzakki).

Di sini dibutuhkan Amil-amil zakat yang cerdas kompeten dan profesional serta amanah sehingga sasaran zakat tercapai baik dari sisi efesiensi dan efektivitas, sehingga hasilnya terukur dan dapat diukur pengaruh serta dampak positif dari zakat. Artinya bukan diukur dengan menghabiskan semua dana zakat seberapa pun yang diterima (konsumtif), tetapi juga harus dipertimbangkan seberapa besar jumlah orang miskin yang beralih menjadi munfiq atau muzakki (produktif).

Dengan demikian zakat dapat memainkan peran yang sangat signifikan dalam meredistribusikan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat muslim. Dalam sejumlah penelitian menyebutkan bahwa dalam konteks makro ekonomi, zakat dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat memberikan insentif untuk meningkatkan produksi, investasi, dan untuk bekerja. Zakat adalah mekanisme transfer terbaik dalam masyarakat.

Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penghimpunan dana zakat itu sendiri. Antara lain, pertama masyarakat belum sepenuhnya percaya (trust) terhadap lembaga amil zakat, di mana zakatnya disalurkan. Masyarakat meragukan lembaga amil zakat, karena  adanya anggapan lembaga amil zakat berafiliasi dengan partai politik atau lembaga lain yang selama ini dinilai kejujurannya diragukan, lembaga amil zakat belum mempunyai database mustahiq yang akurat, manfaatnya belum dirasakan secara konkret.

Akibat dari ketidakpercayaan tersebut, masyarakat kemudian mengeluarkan zakatnya langsung kepada mustahiq baik melalui keluarga maupun pengelola zakat informal. Kedua, pemahaman tentang zakat mal atau zakat profesi masih lemah. Ketiga, masih banyak di antara kaum muslimin yang belum mengerti cara menghitung zakat, dan kepada siapa zakatnya dipercayakan untuk disalurkan.
Ketiga, lemahnya kerangka aturan dan institusional zakat seperti tidak adanya sanksi apa pun bagi muzakki yang tidak menunaikan zakatnya, seperti halnya pajak. Keempat, pengelolaan zakat yang masih konvensional sehingga trust dari muzakki menurun.

Mengurangi kemiskinan

Dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan zakat bagi kesejahteraan umat, sekaligus berkontribusi mengurangi tingkat kemiskinan perlu melakukan tiga hal yang harus dibenahi Lembaga Amil untuk meningkatkan kepercayaan umat. Pertama, adalah keberadaan basis data yang akurat agar data penerima bantuan tidak tumpang-tindih. Baitul Mal agar berkolaborasi dengan dinas terkait untuk memperoleh baik data orang miskin, rumah tangga miskin maupun usaha mikro dan kecil.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved