Kupi Beungoh
Jejak Doa di Jalan Ilmu: Dari Perjuangan Pendidikan hingga Kursi Rektor UIN Ar-Raniry
Prof. Dr. Mujiburrahman adalah anak ketiga. Ia tumbuh dengan teladan yang kuat dari kedua orang tuanya
Oleh: Mallikatul Hanin dan Sarah Dafina Nazma
Di sebuah kampung bernama Lambirah, Sibreh, Aceh Besar, lahir seorang anak yang kelak akan memimpin salah satu universitas Islam terkemuka di Indonesia.
Anak itu bernama Mujiburrahman, putra dari pasangan Tgk. H. Adnan Hasyim dan Hj. Nasriah Musa. Ayahnya seorang tamatan pesantren di Lambhuk, Aceh Besar, sementara ibunya seorang guru di MIN Sungai Limpah yang pernah menempuh pendidikan di PGA.
Keluarga mereka sederhana, namun penuh semangat belajar. Dari rumah kecil itu lahir sembilan orang anak yang semuanya menempuh pendidikan tinggi sebuah pencapaian luar biasa di masa ketika sekolah masih dianggap kemewahan.
Prof. Dr. Mujiburrahman adalah anak ketiga. Ia tumbuh dengan teladan yang kuat dari kedua orang tuanya yang tak pernah lelah menanamkan nilai bahwa pendidikan adalah segalanya.
“Kalian terus belajar, terus sekolah, jangan pikirkan harta. Kalau demi sekolah, sawah boleh kita jual, lembu boleh kita jual,” begitu kata ayahnya suatu hari, kalimat yang terus membekas di hati hingga kini.
Dari prinsip sederhana itu, keluarga ini menjadi cermin dari kekuatan iman dan pendidikan. Semua anak mereka kini menjadi sarjana, guru, dosen, dan abdi negara.
Pengorbanan sang ayah dan ibu menjelma menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka satu per satu, termasuk bagi Prof. Dr. Mujiburrahman yang kelak akan menapaki tangga akademik tertinggi di UIN Ar-Raniry.
Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan Dikabarkan akan Naik, Alasannya? Berikut Rincian Iuran BPJS Kesehatan saat ini
Langkah Awal dari Tarbiyah
Ketika diterima di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, ia masuk lewat jalur undangan tanpa tes karena prestasi akademiknya yang gemilang. Namun di masa itu, cita-citanya belum sebesar sekarang. Ia hanya ingin kuliah dengan baik dan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Menjadi dosen apalagi rektor, belum pernah terlintas dalam benaknya.
“Yang terpikir waktu itu cuma bagaimana cara kuliah ini selesai,” kenangnya sambil tersenyum.
Setelah lulus pada tahun 1995, langkahnya tak berhenti. Ia mengikuti Program Studi Purna Ulama di UIN Ar-Raniry selama 6 bulan, sebuah program istimewa bagi lulusan terbaik yang bertujuan memperkuat bahasa dan metodologi penelitian.
Dari sana, ia kemudian mengabdi di pascasarjana selama tiga tahun. Tahun 1998, ia melanjutkan studi S2 di UIN Bandung dengan jurusan Pendidikan Islam dan menamatkannya tahun 2000.
Sepulang dari Bandung, pada tahun 2001, ia resmi menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah. Namun, jiwa belajarnya yang tak pernah padam mendorongnya melangkah lebih jauh lagi.
Tahun 2003 ia terbang ke Mesir untuk mengikuti pelatihan bahasa di Universitas Al-Azhar, Kairo. Lalu, tahun 2005 ia melanjutkan studi doktoralnya di Universiti Utara Malaysia (UUM) dengan jurusan Cognitive Science and Education, hingga menyelesaikannya tahun 2010. Lima tahun ia bolak-balik Malaysia–Aceh, membagi waktu antara studi, keluarga, dan pengabdian.
Menapaki Jalan Kepemimpinan
Setelah kembali ke tanah air, langkah kariernya semakin matang. Ia dipercaya menjadi Kepala Lembaga Penelitian UIN Ar-Raniry pada tahun 2011. Setahun kemudian, ia menjabat Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah, dan pada 2014 hingga 2018, ia dipercaya menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.
Kepemimpinannya yang tenang namun visioner membuatnya dihormati di kalangan akademisi. Tahun 2020, ia resmi menyandang gelar Guru Besar (Profesor). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri sebagai Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan pada 2022, ia resmi terpilih.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.