Dihadapan Wakil Rakyat, Presiden Jokowi: Demokrasi Digunakan untuk Lampiaskan Kedengkian dan Fitnah

“Sebagai pribadi, saya menerima saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang,”tegas Jokowi

|
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
Serambinews.com/Presiden Jokowi
Presiden Jokowi dalam pidato Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). 

Dihadapan Wakil Rakyat, Presiden Jokowi: Demokrasi Digunakan untuk Lampiaskan Kedengkian dan Fitnah

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, budaya santun dan budi pekerti luhur Bangsa Indonesia sudah mulai hilang.

Pasalnya, banyak serangan fitnah dan caci makian yang terus terjadi di bangsa ini.

Bahkan presiden pun juga ikut menjadi serangan fitnah dan ujaran kebencian.

Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi dalam pidato Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

“Posisi Presiden itu tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan,” ujarnya.

Baca juga: Presiden Jokowi Gunakan Baju Adat Tanimbar Maluku dalam Sidang Tahunan MPR RI 2023, Ini Filosofinya

Presiden Jokowi Gunakan Baju Adat Tanimbar Maluku dalam Sidang Tahunan MPR RI 2023
Presiden Jokowi Gunakan Baju Adat Tanimbar Maluku dalam Sidang Tahunan MPR RI 2023 (SERAMBINEWS.COM/Youtube Setpres)

Kehadiran media sosial seperti sekarang ini, kata Jokowi, apapun bisa disampaikan kepada Presiden.

Mulai dari masalah rakyat di pinggiran, sampai kemarahan, sampai ejekan, bahkan makian dan fitnahan bisa dengan mudah disampaikan dengan media sosial.

“Saya tahu, ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya, ndak apa-apa,” kata Kepala Negara.

“Sebagai pribadi, saya menerima saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang,” tegas Jokowi.

Presiden mengaku tak masalah dirinya dicaci maki oleh banyak orang.

Baca juga: Jokowi: Saya Bukan Lurah, tapi Presiden Republik Indonesia

Namun, dia kecewa lantaran belakangan ini banyak fitnah dan kebencian diutarakan mengatasnamakan demokrasi.

“Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia,” ujarnya.

Kendati demikian, tidak semua orang seperti itu, tapi banyak masyarakat yang sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut.

“Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik, bersatu menjaga mentalitas masyarakat,”

“Sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas 2045,” tegasnya.

Jokowi: Saya Bukan Pak Lurah Tapi Presiden Indonesia

Presiden Jokowi bercerita kalau dirinya kerap dijadikan bantalan oleh setiap elite partai politik (parpol) ketika menentukan bakal capres cawapres menuju gelaran Pilpres 2024 mendatang. 

Ia menyatakan, elite politik di Indonesia kerap menyebut menunggu arahan dari seorang lurah ketika akan memutuskan pasangan calon di pesta demokrasi nanti.

“Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasana sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan partai politik, setiap ditanya capres dan cawapresnya, jawabannya, “Belum ada arahan dari Pak Lurah.”,” katanya.

Akhirnya, ia mengetahui kalau lurah itu merupakan sebuah perumpamaan.   

“Saya sempat berpikir, siapa ini “Pak Lurah”. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah,”

“Belakangan saya tahu, yang dimaksud Pak Lurah ternyata saya. Ya, saya jawab saja, saya bukan lurah, saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu kode,” sebut Jokowi.

Kepala Negara menegaskan dirinya tak memiliki andil apapun dalam menentukan koalisi di Pilpres 2024.

Sebab, ia bukan ketua umum parpol yang bisa merundingkan sosok yang akan diusung di Pilpres 2024.

“Tapi, perlu saya tegaskan. Saya ini bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi parpol.

“Sesuai ketentuan undang-undang, yang menentukan capres dan cawapres adalah partai politik dan koalisi partai politik,”

“Jadi saya ingin mengatakan, itu bukan wewenang saya. Bukan wewenang Pak Lurah,” tegasnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved