Opini
Rakyat Terjerat Pinjol, Pemerintah Aceh Bisa Apa?
TRAGEDI pembunuhan mahasiswa UI akibat terjerat penyedia jasa pinjaman permodalan secara digital atau pinjaman online (pinjol) viral di media sosial.
Wahyu Ichsan, Koordinator Islamic Civilization In Malay Archipelago Forum (ICOMAF)
TRAGEDI pembunuhan mahasiswa UI akibat terjerat penyedia jasa pinjaman permodalan secara digital atau pinjaman online (pinjol) viral di media sosial. Motif pelaku melakukan pembunuhan adalah agar dapat menguasai barang milik korban untuk melunasi utang pinjol karena rugi Rp 80 juta dari investasi kripto. Kasus pembunuhan akibat pinjol, bukanlah kali pertama terjadi.
Di Sleman-Yogjakarta, seorang warga tega membunuh teman baiknya, lalu memutilasinya 65 bagian, hanya untuk menguasai harta korban demi melunasi utang pinjol senilai Rp 8 juta.
Di Semarang, seorang ibu tega membunuh balitanya yang berusia 3,7 tahun karena lilitan tagihan pinjol senilai Rp 39 juta. Di Ngawi-Jawa Timur, seorang istri tega membunuh suaminya karena sang suami enggan memberikannya uang untuk membayar pinjol, dan sederet kasus lainnya.
Tanpa jaminan
Kasus pembunuhan akibat pinjol seperti fenomena gunung es, yang terungkap di permukaan tidak lebih banyak dari realitas sesungguhnya, termasuk di Aceh. Menurut informasi yang disampaikan oleh kepala OJK Aceh, Yusri, akumulasi pembiayaan masyarakat Aceh dengan aplikasi pinjol per Juni 2023 sudah mencapai Rp 1,9 triliun.
Secara hitungan nasional, memang besarannya belum seberapa, berbanding dengan Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan lainnya. Namun angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh yang sudah terjebak pinjol cukup banyak, dan bukan tidak mungkin kasus-kasus serupa yang terjadi di provinsi lain dapat terjadi di Aceh.
Pertanyaannya, mengapa kejadian penghilangan nyawa akibat pinjol terus berulang? Jawabnya, karena ini adalah konsekuensi langsung dari model transaksi yang dipakai, yaitu peer to peer lending tanpa jaminan dengan batas pinjaman maksimal Rp 2 miliar.
Hanya dengan bermodal KTP dan swafoto, dalam waktu 1-4 hari, dana yang dipinjamkan langsung cair. Hal ini bagai surga bagi masyarakat kalangan bawah yang sulit mengakses pinjaman bank. Terlebih lagi bagi rakyat Indonesia yang menurut data Global Finance Magazine World's Most Unbanked Countries 2021, terkategori sebagai negara 10 besar paling tidak bankable di dunia, dimana 51 persen penduduknya tidak bisa mengakses bank.
Alasannya karena tidak punya jaminan. Ingin mengakses perbankan tapi tidak punya jaminan itu adalah mimpi. Jaminan merupakan harga mati untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Karena itu, solusi dari pemerintah adalah Peer to Peer Lending alias Pinjol. Hal ini diatur dalam peraturan No.77/POJK.01/2016.
Jika kita melihat data nasional Bank Indonesia, akumulasi rekening peminjam pinjol dari 2018 hingga 2023 mencapai 113 juta rekening dengan 805 juta transaksi, artinya per bulan mencapai 12 juta transaksi, dengan nilai uang tembus Rp 621 triliun (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Sistem Keuangan Indonesia).
Melibatkan usia muda
Sementara di Aceh sebagai provinsi termiskin keenam di Indonesia, jumlahnya hampir Rp 2 triliun. Hal ini tentu menjadi peluang besar bagi platform pinjol untuk terus menjerat rakyat miskin di Aceh menjadi semakin miskin. Anehnya, Bank Aceh sebagai bank pembangunan daerah melakukan penetrasi pasar melalui KUR dan melakukan pengembangan produk untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat yang ingin mendapatkan fasilitas pembiayaan secara syariah untuk menghadapi pinjol di Aceh.
Padahal, masalahnya adalah rakyat kecil tidak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan. Apalagi mayoritas peminjam berasal dari kalangan usia muda yang penghasilannya kecil.
Data menyebutkan 57 % masyarakat terjerat pinjol adalah usia 19-34 tahun, 17
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.