Luar Negeri

Mengenal Hamas, Militan Palestina yang Perang dengan Israel, Punya Sayap Militer Brigade Al-Qassam

Nama Hamas sendiri merupakan akronim bahasa Arab yang jika diterjemahkan bermakna Gerakan Perlawanan Islam.

Editor: Faisal Zamzami
MIDDLE EAST MONITOR / ANADOLU AGENCY / MUSTAFA HASSONA
Anggota Brigade Izz Ad-Din Al-Qassam, sayap bersenjata Hamas, saat berada di Gaza, 2017 lalu. (MIDDLE EAST MONITOR / ANADOLU AGENCY / MUSTAFA HASSONA) 

Pada Februari dan Maret 1996, Hamas melancarkan beberapa pengeboman bunuh diri di dalam bus sehingga menewaskan hampir 60 warga Israel.

Rangkaian serangan itu ditempuh sebagai pembalasan atas pembunuhan pembuat bom Hamas, Yahya Ayyash, pada Desember 1995.

Deretan aksi pengeboman itu dituding sebagai hal yang membuat Israel menghentikan proses perdamaian dan mengerek Benjamin Netanyahu, penentang kesepakatan damai Oslo, ke pucuk kekuasaan tahun itu.

Setelah kesepakatan damai Oslo gagal, Presiden AS Bill Clinton berupaya menghidupkan perdamaian melalui pertemuan di Camp David pada 2000. Upaya itu juga gagal dan intifada kedua menyusul.

Hamas meraih kekuasaan dan pengaruh ketika Israel membungkam Otorita Palestina, yang dituduh mensponsori serangan-serangan mematikan.

Hamas lantas mengelola sejumlah klinik dan sekolah bagi warga Palestina yang merasa dikecewakan oleh korupnya Otoritas Palestina yang didominasi faksi Fatah.

Banyak warga Palestina menyambut gelombang serangan bunuh diri Hamas pada awal intifada kedua.

Mereka memandang operasi "martir" sebagai pembalasan atas pendudukan Israel di Tepi Barat, wilayah yang diinginkan rakyat Palestina sebagai bagian dari negara mereka.

Namun, Israel tidak tinggal diam. Pada Maret dan April 2004, pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmed Yassin dan penerusnya, Abdul Aziz al-Rantissi, dibunuh melalui serangan rudal di Gaza.

Di dalam wilayah Palestina, perseteruan antara Hamas dan Fatah merebak setelah pemimpin Fatah, Yasser Arafat, meninggal dunia pada November tahun tersebut.

Mahmoud Abbas, yang menjadi pemimpin Fatah menilai serangan roket Hamas kontraproduktif.

Ketika Hamas menang telak dalam pemilihan umum legislatif pada 2006, perseteruan itu semakin nyata.

Hamas menolak terlibat dalam kesepakatan damai Palestina-Israel sebelumnya, menolak mengakui legitimasi Israel, dan menepis permintaan untuk mengakhiri aksi kekerasan.

Pada 2017, Hamas merilis dokumen kebijakan terbaru yang menghaluskan sejumlah sikap terdahulu dan menggunakan bahasa yang terukur.

Dalam dokumen itu, Hamas tetap tidak mengakui Israel, namun menerima secara formal pembentukan negara Palestina secara interim di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur—yang dikenal sebagai garis sebelum 1967.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved