Opini

Colek Caleg Pragmatis

Mari kita jajaki beberapa karakteristik para caleg selama proses taaruf (sosialisasi) ini, secara eksplisit ada yang langsung menggambarkan keaslian j

Editor: mufti
IST
Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh periode 2008-2013 dan 2018-2023 

Kedua, caleg tidak percaya diri. Kelompok ini nyaris masif terjadi sejak pemilu tahun 2019 dan terus mengkristal pada pemilu 2024 ini. Karakter caleg ini, tidak percaya dengan kemampuan dan kelebihan  diri, belum berani tampil sendiri di depan publik bahkan di baliho dan spanduk sekalipun karena mindsetnya belum move on dari kelaziman mengandalkan sosok publik figur tertentu untuk menjadi daya dorong elektabilitasnya.

Cara kuno ini sudah lama ditinggalkan oleh politisi-politisi senior dan profesional sehingga cara caleg bersosialisasi diri dengan memajangkan foto orang lain dalam baliho, spanduk dan posternya menjadi bukti bahwa caleg tersebut lemah, tidak percaya diri dan bukan politisi yang mandiri.

Aneh memang, ketika kita menyaksikan alat peraga sosialisasi para caleg yang beredar sekarang justru memuat foto dirinya dengan calon presiden (Capres) tertentu dan bahkan yang lebih lucu ada caleg yang memasang fotonya dengan capres tertentu sementara DPP partainya di Jakarta justru mengusung capres yang beda dengan yang di posternya.

Aneh bin nyata ini terjadi di negeri yang sudah berkali-kali melaksanakan pemilu secara langsung. Kepercayaan diri dan konsep para caleg tidak lagi menjadi blue print penting untuk dipaparkan kepada masyarakat namun merasa cukup dengan mendompleng pada kebesaran nama orang lain.

Hal ini tidak mengedukasi masyarakat menjadi pemilih yang sehat. Pada saat bersamaan para caleg menjadi pasif dan minim ide dan gagasan sehingga nasib keterpilihannya sangat bergantung dari efek domino capres bukan hasil karya dan usahanya sendiri.

Ingat, Pemilu tahun 2024 nanti berisi lima kontestasi yang dipilih langsung oleh masyarakat yaitu Pemilihan Capres/Wapres, DPD, DPR-RI, DPRA dan DPRK. Ironisnya para caleg malah lebih dominan berkampanye isu capres ketimbang mensosialisasikan visi-misi dan program kerjanya. Mengapa? Jawabannya ada pada caleg itu sendiri.

Ketiga, caleg eksklusif. Caleg katagori ketiga ini nyaris sama dengan karakter one man show atau tampil personal. Dalam berbagai alat peraga sosialisasi, caleg tipikal ini hanya menampilkan namanya sendiri dan membiarkan kosong kolom-kolom nama lainnya, padahal jumlah caleg per dapilnya lebih dari lima orang bahkan ada yang sampai 13 orang.

Berdasarkan PKPU No 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 1 angka 15 berbunyi: Daftar Calon Sementara Anggota DPR, Daftar Calon Sementara Anggota DPRD provinsi, dan Daftar Calon Sementara Anggota DPRD kabupaten/kota yang selanjutnya disebut DCS adalah daftar calon sementara yang memuat nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu, nama Partai Politik Peserta Pemilu, tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu, nomor urut calon, foto diri terbaru calon, nama lengkap calon, jenis kelamin, dan kabupaten/kota tempat tinggal calon.

Bila merujuk pada ketentuan normatif, idealnya partai sebagai peserta pemilu ikut andil dan bersinergi dalam edukasi dan sosialisasi format DCS yang di umumkan oleh KIP atau KPU, termasuk mendorong para calegnya untuk mengedarkan atribut sosialisasi yang sesuai dengan format kertas suara resmi KPU agar masyarakat mudah memahami pilihannya nanti di bilik suara.

Kendati ketentuan KIP/ KPU tidak mengatur format alat peraga sosialisasi para caleg namun beragamnya format yang beredar ini akan mempengaruhi pemahaman pemilih terhadap konsep asli kertas suara dan ini tidak sehat bagi sebuah edukasi.

Bukankah sosialisasi caleg secara kolektif per dapil akan menghemat biaya dan juga berdampak positif pada pandangan masyarakat karena kekompakan caleg dalam berjuang menjadi energi positif bagi elektabilitas diri. Jika bisa bersama dalam satu format sosialisasi kenapa mesti memuat nama sendiri.
Jangan sampai masyarakat melihat hal itu sebagai pertanda tak akurnya sesama caleg atau kondisi itu adalah isyarat yang membedakan caleg bermodal dengan caleg tanpa modal. Jika modal menjadi ukuran terpilih maka pemilih mesti hentikan laju mereka karena kita tidak selalu membutuhkan pemodal namun wakil-wakil rakyat yang kita rindukan adalah mereka-mereka yang memiliki personalitas yang handal, berintegritas, loyal pada rakyat dan memiliki visi misi yang positif.

Semoga colekan ringan ini menjadi masukan positif bagi para caleg agar setiap langkah perjuangan menuju parlemen diawali dengan cara yang baik dan sportif, kelak pantas dipanggil dengan gelar dewan terhormat.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved