Jurnalisme Warga

Rekam Jejak Perempuan Pembela HAM di Aceh

Oleh karena itu, Flower Aceh hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai upaya untuk memperjuangkan kembali hak perempuan yang hilang atau direbut paksa

Editor: mufti
IST
NURUL MUDIYAH 

NURUL MUDIYAH, Mahasiswi Program Studi Ilmu Hukum UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Banda Aceh

Sebuah keberuntungan bagi saya dapat hadir sebagai peserta dalam workshop yang diselenggarakan oleh Flower Aceh. Dengan jumlah peserta kurang lebih 35 orang mewakili berbagai organisasi, di antaranya, dari KontraS Aceh, Solidaritas Perempuan, Yayasan Askarimah, Masyarakat Transparasi Aceh, Koalisi NGO HAM, Yayasan Pulih Aceh, dan Balee Inoeng.

Hadir juga perwakilan media arus utama dan seluruh staf lapangan Flower Aceh dari berbagai daerah. Saya sendiri saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa.

Workshop  tersebut  berlangsung selama tiga hari pada Kamis—Sabtu, 21—23 September 2023, di Sei Hotel, Gampong Mulia, Banda Aceh.

Adapun tema workshop tersebut yaitu “Penyusunan Panduan Mekanisme Lokal untuk Perlindungan Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia”.

Kegiatan tersebut dipandu oleh dua fasilitator, yaitu Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH USK), Khairani Arifin, dan staf Flower di Pidie, Ernawati. Keduanya dikenal sebagai aktivis perempuan di Aceh.

Sesuai dengan temanya, yaitu perempuan pembela HAM, maka 90 persen kegiatan ini pesertanya perempuan. Sebagai manusia, setiap individu memiliki hak-hak yang melekat pada diri mereka, baik itu hak atas hidup, pendidikan, kesehatan, keadilan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, Flower Aceh hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai upaya untuk memperjuangkan kembali hak perempuan yang hilang atau direbut paksa.

Salah satu narasumber yang dihadirkan yaitu Suraiya Kamaruzzaman. Ia dikenal sebagai aktivis perempuan di Aceh yang tak henti-hentinya melantangkan suara demi mencari keadilan bagi perempuan. Sebagai bentuk kepeduliannya ia hadir untuk memberikan pemahaman serta motivasi bagi seluruh peserta. Sudah tak terhitung berapa banyak prestasi yang ia dapatkan karena bekerja pada isu-isu perempuan dan hak asasi manusia (HAM).

Suraiya juga menjabat sebagai Dewan Presidium Balai Syura Ureung Inoeng Aceh dan pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat Flower Aceh tiga dekade silam. Kedua lembaga tersebut fokus pada penguatan perempuan akar rumput.

Dalam kesempatan itu, Suraiya menjelaskan, sebagai perempuan pembela HAM kadangkala ia sering mendapatkan ancaman, diskriminasi, kriminalisasi, bahkan mereka sering menjadi target ancaman.  Apalagi sejauh ini belum ada undang-undang khusus yang membahas tentang pembela HAM.

“Barangkali masyarakat ataupun pemerintah belum menganggap pembela HAM adalah suatu hal yang penting,” kata Suraiya.

Jika berbicara tentang HAM, maka yang terlintas di benak kita pasti hanyalah tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa konflik, seperti tragedi Rumoh Geudong (1989—1998) di Pidie dan Tragedi Simpang KKA (1999) di Aceh Utara. Tragedi yang menewaskan ribuan jiwa karena peperangan yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (Pemri).

Banyak anak yang kehilangan orang tuanya, pemerkosaan terhadap perempuan, penyiksaan berat, bahkan tak sedikit korban konflik yang belum ditemukan sampai sekarang. Meski GAM dan Pemri sudah berdamai yang ditandai dengan adanya MoU antara kedua belah pihak yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, tetapi kepiluan dan trauma akibat konflik masih melekat di jiwa korban.

“Gara-gara kejadian konflik tersebut, saya tidak mengenali ayah saya,” ucap Liza, seorang anak yang kehilangan ayahnya di masa konflik.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved