Jurnalisme Warga

Rekam Jejak Perempuan Pembela HAM di Aceh

Oleh karena itu, Flower Aceh hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai upaya untuk memperjuangkan kembali hak perempuan yang hilang atau direbut paksa

Editor: mufti
IST
NURUL MUDIYAH 

Liza berasal dari Aceh Utara. Ia baru menyelesaikan kuliahnya di Unimal Lhokseumawe. Setelah kuliah, Liza mulai aktif sebagai staf lapangan Flower Aceh di kawasan Aceh Utara. Pengalaman orang tuanya sebagai korban konflik mendorong Liza untuk terjun dalam kerja-kerja sosial yang berbasis penguatan masyarakat.

Namun, jika ditarik ke konteks yang lebih luas, pelanggaran HAM bukan hanya kekerasan yang dilakukan negara atau penegak hukum kepada masyarakat sebagaimana contoh di atas. Namun, kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi antara suami dan istri, pernikahan anak usia dini, penganiayaan, pengucilan, maupun perundungan juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Begitu juga dengan pembatasan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik. Alhasil, perempuan tidak bisa terlibat dalam musyawarah-musyawarah yang dilakukan perangkat organisasi baik di tingkat gampong dan lain-lain. Namun, ini masuk dalam ranah pelanggaran HAM ringan.

Peserta workshop yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti advokat, paralegal, maupun aktivis LSM merasakan banyak tantangan dalam bekerja di masyarakat. Mulai dari kendala teknis seperti akses jalan yang buruk dan jarak tempuh yang jauh. Mereka yang bekerja di isu-isu ini umumnya memang berangkat dari keresahan pribadi dan panggilan jiwa. Kendala-kendala seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Belum lagi minimnya tokoh masyarakat yang memahami apa itu pembela HAM. Bahkan, ada pihak-pihak yang belum percaya pada pembela HAM.

Di lapangan, tak jarang mereka menemui individu-individu yang memiliki kerentanan ekonomi. Utamanya adalah perempuan.

“Pernah saya kedatangan seorang janda yang memiliki seorang anak. Dia mengeluh karena kemiskinan yang menimpa dirinya. Saya berikan dia uang sebanyak lima ratus ribu, lalu uang itu digunakan sebagai modalnya berjualan kue basah untuk ditaruh di warung-warung setiap pagi. Kini perekonomiannya perlahan membaik,” ucap Kasmawati.

Kasmawati adalah Ketua Balee Inong, sebuah lembaga yang fokus memberdayakan perempuan di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, sosial, politik, budaya, hingga agama. Kasmawati yang berstatus sebagai pendatang di Banda Aceh dan bukan orang Aceh juga merasakan adanya tantangan lain. Terkadang ada yang mempermasalahkan status kesukuan. Padahal, menurutnya, kerja-kerja sosial harusnya tidak melihat latar belakang etnis seseorang.

Bagi perempuan pembela HAM yang kerap merasakan intimidasi tentunya ada upaya yang harus dilakukan. Misalnya, terus meningkatkan kemampuan dan kapasitas diri mereka melalui pelatihan-pelatihan baik secara berkelompok maupun individu.

Mereka juga perlu memperluas relasi dan kerja sama dengan pihak-pihak yang terkait. Yang paling penting, membangun silaturahmi dan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dampingan.

Beberapa peserta workshop terlihat sudah berusia senja, tetapi mereka sangat bersemangat ketika menceritakan pengalamannya selama bekerja di isu-isu HAM. Tak dimungkiri kalau mereka merasa lelah, tetapi tekad dan semangat mereka tidak pernah pudar. Pengalaman berharga mereka menjadi catatan penting dan menjadi acuan dalam penyusunan SOP perlindungan perempuan pembela HAM.

Peserta lain, Dewi Kartika, paralegal yang berasal dari Aceh Tamiang mengungkapkan bahwa ia merasa terpanggil untuk menjadi paralegal. Ia ingin kehadirannya bisa mendatangkan kebahagiaan dan bisa menolong para korban, khususnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Sebagai paralegal, saya sangat senang dapat mendampingi ibu-ibu untuk memberikan edukasi. Apalagi setiap harinya pasti ada saja yang berkonsultasi melalui WhatsApp di luar waktu bertatap muka,” ucap Dewi Kartika.

Senada dengan yang disampaikan Dewi, eks karyawati ExxonMobil, Khuzaimah, yang kini berusia di atas 60 tahun pada akhirnya juga memilih untuk bergabung dengan Flower. Sebagai orang yang pernah bekerja di perusahaan migas, ia mengaku bekerja di isu-isu sosial lebih mendatangkan kepuasan batin.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved