Jurnalisme Warga
Lima Julukan Provinsi Aceh sebagai Tonggak Sejarah
Alhamdulillah, Provinsi Aceh punya lima sebutan yang terwariskan, walaupun sebagian warga Aceh tidak mengenalnya lagi.
Senjata rencong ini bentuknya melengkung. Bentuk tersebut mengikuti bentuk tulisan Arab kalimat suci dalam agama Islam, yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Seni kebudayaan Islam terpatri pada bentuknya. Itulah suatu tanda bahwa Islam telah masuk sampai ke dalam tulang sumsum masyarakat Aceh. Segala hasil karya tangan, seni kebudayaan, dan lainnya, semuanya menurut seni kebudayaan Islam. Bentuk dari hulu/gagang (uleei rencong) tidak sama. Ada yang panjang mencuat (rencong meucugek) dan ada pula yang tipis bulat gagangnya yang biasanya terbuat dari tanduk kerbau dan gading gajah.
Dewasa ini, banyak pejabat negara yang datang dari Jakarta atau luar negeri yang mendapat rencong Aceh sebagai hadiah dari Pemerintah Aceh sebagai kenang-kenangan atau bungong jaroe dari Tanoh Rencong.
4. Aceh Bumi Srikandi
Aceh disebut sebagai Bumi Srikandi. Hal ini menunjukkan peran kaum perempuan di Aceh cukup tinggi dan besar.
Perempuan sepanjang sejarah Aceh bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang tangguh, melainkan juga mampu bertindak sebagai tokoh pemerintahan, panglima perang, dan pahlawan di bidang lainnya.
Beberapa perempuan Aceh yang menjadi sultan atau raja Aceh adalah Shafiatuddin Syah, Inayat Syah, Zakiatuddin Syah, dan Kamalat Syah. Sementara wanita Aceh yang jadi panglima perang, yaitu Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Keumala Hayati (ketiganya sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional RI dari Aceh), Pocut Meurah Intan, dan Pocut Baren dari Woyla.
5. Daerah modal
Gelaran Daerah Modal melekat pada daerah Aceh baru timbul sejak kemerdekaan Indonesia, yaitu semasa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945–1949).
Dalam suatu agresi, pihak Belanda hampir saja mencapai keinginannya. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, dan sejumlah menteri kabinetnya telah ditawan Belanda. Pemerintahan Indonesia pada masa itu dikendalikan dari Sumatra di bawah pimpinan Mr Syarifuddin Prawiranegara sebagai PM Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Hampir semua daerah telah dikuasai, baik daratan maupun lautan. Hanya tinggal daerah Aceh yang tak sanggup ditembusi Belanda.
Rakyat Aceh bahu-membahu berjuang di Medan Area, Langkat dan Tanah Karo (Sumatra Utara). Sampai dengan peristiwa Konferensi Meja Bunda (KMB), pihak Belanda masih tak sanggup mematahkan pertahanan di perbatasan Aceh. Hal ini berarti, setelah Belanda meninggalkan Aceh pada tahun 1942, mereka tidak pernah menginjakkan lagi kakinya di Aceh.
Karena perjuangan yang gigih itu, Presiden Soekarno dalam satu pidato di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) memberi gelar daerah Aceh dengan julukan Aceh Daerah Modal. Sejak dijuluki presiden pertama Indonesia itulah sampai sekarang Aceh masih tetap disebut-sebut sebagai Daerah Modal. Monumen Daerah Modal ini pun hingga kini masih ada, yakni bangunan tinggi menjulang di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.