Opini
Menyelesaikan Sengketa dengan Kearifan Lokal
Hukum adat di Aceh telah menjadi perekat dan pemersatu dalam kehidupan bermasyarakat karena telah diresapi kaidah-kaidah hukum Islam sehingga menjadi
M Zubair SH MH, Kadis Kominfo dan Persandian Pemkab Bireuen
DALAM menyelesaikan suatu sengketa kita selalu terpikir jalur yang ditempuh bila tidak ada jalan damai pasti melalui peradilan. Hal tersebut karena Negara Indonesia masih menganut sistem hukum peninggalan kolonial yang berdasarkan sistem hukum Eropa kontinental, walaupun kita tidak pernah mengabaikan keberadaan sistem hukum agama (Islam) dan sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam menyelesaikan perkara/sengketa melalui peradilan yang diutamakan adalah kepastian hukum dengan melihat peraturan-peraturan yang berlaku namun kurang menjaga keseimbangan untuk terciptanya kemaslahatan dalam hidup bermasyarakat.
Kita ketahui bahwa dalam membangun hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 merupakan transformasi dari hukum agama dan hukum adat sehingga keberadaan dan kekuatan hukum agama dan hukum adat masih sangat diakui. Mengingat hukum agama dan hukum adat diakui keberadaannya dalam masyarakat maka pemerintah Aceh mengupayakan pembinaan dan pelestariannya dengan menetapkan dalam qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat.
Qanun tersebut juga didukung dengan keputusan bersama antara Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh Nomor 189/667/2014, 1054/MAA/XII/2011 dan Nomor B/121/I/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong Dan Mukim atau Nama lain di Aceh.
Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 menegaskan bahwa Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang diridhai oleh Allah SWT, antar hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinya.
Sementara, khusus untuk penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui peradilan adat gampong dan mukim.
Terhadap sengketa sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (1) tersebut aparat kepolisian wajib memberi kesempatan untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan adat gampong dan mukim atau nama lain.
Pelestarian hukum adat tersebut karena pemberlakuan hukum adat diakui oleh Negara yang tercermin pada pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui peradilan adat sebagaimana amanah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 diakui oleh masyarakat karena dirasakan ada keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat sesuai prinsip penyelesaian perselisihan dengan ungkapan dalam bahasa Aceh “ulee beumate ranteng bek patah”.
Penyelesaian perselisihan dengan menggunakan cara adat atau sekarang ini diistilahkan dengan kearifan lokal jelas tersirat bahwa tujuan damai adalah hakikat penting dalam penyelesaian permasalahan. Selain itu penyelesaian sengketa melalui kearifan lokal ini dengan menggunakan cara adat karena masyarakat Aceh khususnya sangat menjunjung adat disebabkan hukum adat baru dapat berlaku bila tidak bertententangan dengan hukum Islam.
Dalam ilmu hukum dinyatakan bahwa hukum adat mengikuti hukum agama khususnya agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Teori ini dikenal dengan teori “reception a contario” yang berati hukum adat baru dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan agama. Bahkan ke dalam hukum adat itu telah diresapi kaidah-kaidah keislaman hingga membuat masyarakat lebih nyaman dalam menjalankannya.
Azas kekeluargaan
Untuk Aceh, hukum agama Islam telah menyatu dengan adat yang dibuktikan dengan ungkapan dalam bahasa Aceh “hukom ngon adat hantom cre, lage zat ngon sifeut”. Ini berati hukum Islam dan hukum adat tidak dapat dipisahkan, bagaikan zat dengan sifat suatu benda yang selalu menyatu.
Dengan kentalnya pengakuan dan junjungan terhadap hukum adat dalam masyarakat Aceh maka penyelesaian perselisihan dengan menggunakan hukum adat juga sangat dihargai. Apalagi penyelesaian sengketa yang kerap dilakukan aparat desa di Aceh dahulu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena menganut asas kekeluargaan dan menjaga perdamaian serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat secara keseluruhan.
Hidup rukun bagi masyarakat Aceh merupakan hidup seperti satu keluarga dan rasa persaudaraan yang kuat inilah yang selalu tercermin dalam diri masyarakat dahulu. Dengan demikian penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat selalu diselesaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam lingkungan mereka.
Kekuatan hukum adat tersebut juga karena dijalankan oleh aparatur-aparatur desa yang punya kharisma serta memiliki ilmu agama dan dapat dipercaya. Pemilihan aparatur desa dahulu khususnya kepala desa ditunjuk secara aklamasi dalam suatu rapat yang dibuat di meunasah.
Penunjukan kepala desa (keuchik) secara aklamasi pasti yang ditunjuk adalah person yang punya kharisma dan kemampuan serta dapat dipercaya sehingga kedamaian dapat tercipta dalam masyarakat.
Kiranya hal-hal seperti itu tidak tumbuh lagi dalam masyarakat Aceh sekarang ini karena telah terpengaruhi dengan tuntutan globalisasi yang tidak terbendung. Pencalonan kepala desa bisa siapa saja asal memenuhi syarat yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan kebutuhan kearifan lokal yang telah tumbuh alami dan damai di masyarakat.
Oleh sebab itu pelestarian adat istiadat yang telah diqanunkan oleh pemerintah Aceh seharusnya dijalankan dengan masif sehingga ikatan persaudaraan bisa kuat kembali seperti dahulu. Budaya-budaya yang berjalan di masyarakat Aceh sebelumnya selalu berjalan beriring-iringan dengan agama Islam sehingga bisa berjalan dengan baik dan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Hukum adat di Aceh telah menjadi perekat dan pemersatu dalam kehidupan bermasyarakat karena telah diresapi kaidah-kaidah hukum Islam sehingga menjadi modal dalam pembangunan. Penyelesaian perselisihan secara hukum adat/kearifan lokal bukan bertujuan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan untuk mengusahakan jalan damai agar ketenteraman dan kedamaian dalam masyarakat dapat terus berjalan.
Peradilan adat dalam konteks Aceh merupakan sesuatu yang sangat diinginkan karena secara psikologis dapat memuaskan batin sehingga tidak timbul dendam. Penyelesaian sengketa secara kearifan lokal ini dengan menggunakan hukum adat tercermin dari hadih maja yang dikenal dengan ungkapan, “Hukom Lillah Sumpah Bek, Hukom Adat Ikat Bek, Hukom Adee Pakee Bek, Hukom meujroh Pakee Bek”.
Artinya berhukum dengan hukum Allah jangan ada sumpah, berhukum dengan adat jangan diikat, hukum itu harus adil, dengan hukum perdamaian bisa ditegakkan. Oleh sebab itu kiranya kita harus kembali menyelesaikan sengketa-sengketa tindak pidana ringan seperti yang telah digariskan dalam Qanun Nomor 9 tahun 2008 dengan menggunakan cara kearifan lokal secara adat.
Penyelesaian sengketa dengan cara adat bertujuan menciptakan kedamaian dan persaudaraan yang solid serta indah sesuai tuntutan agama Islam. Pilihlah pemimpin yang berkharisma dan berakhlak mulia untuk kemajuan bangsa di masa mendatang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.