Breaking News

Rohingya

Sebelum Rohingya, Indonesia Pernah Tampung Pengungsi Vietnam 17 Tahun di Pulau Galang,Ini Sejarahnya

Kedatangan pengungsi Rohingya ini mengingatkan pada sejarah para pengungsi Vietnam yang juga pernah berdatangan ke Indonesia puluhan tahun lalu.

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM/HENDRI
Foto Ilustrasi - Imigran Rohingya kembali mendarat di Aceh. Kali ini 135 orang di Pantai Blang Ulam, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Minggu (10/12/2023) sekitar pukul 08.30 WIB.  

SERAMBINEWS.COM - Sejak pertengahan November 2023, imigran asal Rohingya terus mendarat di sejumlah pantai di Provinsi Aceh.

Mereka tiba secara bergelombang dengan menggunakan kapal.

Sebelumnya, dilaporkan lebih dari 1.000 warga Rohingya telah tiba di Aceh.

Jumlah ini merupakan terbesar sejak kedatangan mereka pada 2015.

Terbaru, dilaporkan ada dua kapal pengangkut warga Rohingya yang kembali berlabuh di pantai Aceh pada Minggu (10/12/2023) pagi, sebagaimana dikutip dari pemberitaan Serambinews.com

Dari informasi yang diperoleh, dua kapal yang berisi ratusan pengungsi rohingya tersebut mendarat di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.

Kedatangan para pengungsi Rohingya ini mengingatkan akan sejarah para pengungsi Vietnam yang juga berdatangan di Indonesia puluhan tahun lalu.

Seperti warga Rohingya, warga Vietnam ini secara bergelombang tiba di Indonesia menyebrangi lautan dengan menggunakan perahu.

Baca juga: Imigran Rohingya Kembali Mendarat di Aceh, Kali Ini di Aceh Besar, Sudah 9 Gelombang Sejak November

Jumlah warga Vietnam yang mengungsi di Indonesia juga ribuan hingga membuat pemerintah ketika itu kewalahan.

Namun pada akhirnya, pemerintah menyiapkan sebuah pulau untuk menempatkan mereka dan mendirikan kamp yang kemudian dinamakan sebagai Kamp Vietnam.

Lalu bagaimanakah sejarah tibanya para pengungsi Vietnam di Indonesia?

Latar belakang pengungsian warga Vietnam

Pengungsian warga Vietnam ke Indonesia terjadi dilatarbelakangi oleh perang saudara antara Vietnam Selatan dengan Vietnam Utara.

Dilansir dari Kompas.com, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro (2019) dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (1942-1998) yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, disebutkan bahwa perang Saudara Vietnam atau yang disebut Perang Indocina kedua terjadi antara tahun 1957 hingga 1975.

Dalam perang ini, terdapat dua kubu yang saling bertempur, yaitu Vietnam Selatan dan Vietnam Utara.

Perselisihan disebabkan karena perbedaan pandangan di antara dua kubu, yang kemudian mengantarkan keduanya perang satu sama lain.

Baca juga: Hari Ini, Dua Kapal Pengangkut Ratusan Pengungsi Rohingya Mendarat di Pidie dan Aceh Besar

Jumlah korban yang meninggal dalam perang Vietnam diperkirakan lebih dari 280.000 jiwa di pihak Vietnam Selatan dan lebih dari 1.000.000 jiwa di pihak Vietnam Utara.

Perang saudara Vietnam kemudian berakhir dengan jatuhnya Kota Saigon, ibukota Vietnam Selatan ke tangan pasukan Vietnam Utara.

Akibatnya, terjadi perpindahan secara besar-besaran terhadap rakyat Vietnam Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Indonesia.

Pengungsian di Indonesia

Warga Vietnam yang meninggalkan negaranya pada saat itu menaiki kapal-kapal kecil untuk mengungsi ke negara lain yang dianggap aman.

Selama beberapa waktu, mereka terombang-ambing di Laut China Selatan tanpa tujuan jelas hingga dijuluki sebagai boat people atau manusia perahu.

Sebagian dari warga Vietnam Selatan itu pun berhasil mencapai Indonesia.

Manusia perahu pertama kali masuk ke Indonesia pada 25 Mei 1975, berlabuh di Pulau Laut, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Natuna.

Warga Vietnam kemudian ditampung di kecamatan setempat.

Usai kapal pertama berlabuh, disusul dengan kapal lain dengan jumlah rakyat yang sangat besar, yaitu sekitar 4.000 orang, melebihi jumlah penduduk setempat, 3.000 rakyat Natuna.

Selanjutnya, kapal demi kapal lain mulai berdatangan.

Pemerintah Riau juga cukup merasa kewalahan dengan kedatangan mereka.

Baca juga: Pertahanan Laut Indonesia Lemah, Ratusan Pengungsi Rohingya Masuk Lagi dari Laut di Aceh Besar

Pemerintah daerah Riau harus menyiapkan berpuluh-puluh karung beras dan drum air yang dikerahkan dari Tanjung Pinang.

Kedatangan pengungsi Vietnam ini tentu cukup merepotkan dan menjadi problema di negara ASEAN, khususnya Indonesia sendiri.

Untuk itu, guna mengatasi masalah tersebut, pada Februari 1979 para Menteri Luar Negeri ASEAN mengadakan pertemuan di Bangkok.

Perundingan tersebut menghasilkan Bangkok Statement 21 Februari 1979, di mana negara-negara ASEAN setuju bekerja sama untuk meringangkan beban pengungsi.

Mereka menyiapkan tempat transit dengan batas waktu dan jumlah tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing negara.

Tindak Lanjut Penanganan Pengungsi Vietnam

Penanganan pengungsi Vietnam dilanjutkan dengan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Tahiland, Kriangsak Chomanand.

Kala itu, jumlah pengungsi sudah menginjak angka 200.000 orang yang tersebar di negara-negara ASEAN.

Setelah pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja berangkat ke Jenewa pada April 1979.

Ia mengusulkan agar Pulau Rempang atau Galang dijadikan sebagai pusat pemrosesan para pengungsi.

Begitu usulan disetujui, segera dilakukan pertemuan 24 negara pada 15-16 Mei 1979.

Dari hasil pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia membentuk tim pembangunan tempat pemrosesan yang terdiri dari Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Hankam, dan Departemen Dalam Negeri.

Para pengungsi pun akhirnya dipindahkan ke Pulau Galang, Batam Kepulauan Riau.

Baca juga: 14 Rohingya Sempat Kabur Hendak ke Medan Gunakan Hiace, Sukses Digagalkan Polisi, Begini Ceritanya

Beberapa negara turut memberikan bantuan dengan melakukan pembangunan fasilitas umum.

Karena jumlah pengungsi yang terus meningkat, akhirnya dilakukan perundingan dengan pemerintah Vietnam agar mencegah perpindahan warganya ke negara lain.

Akhirnya, pemerintah Vietnam mengirimkan delegasi khusus ke Pulau Galang untuk melakukan penelitian pada warganya, siapa saja yang akan diterima kembali di Vietnam.

Untuk memroses pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Markas Besar ABRI membentuk Komando Tugas (Kogas) pada 1976.

Kogas melibatkan 1.635 orang. Tugas mereka adalah melakukan screening dan memulangkan pengungsi kembali ke Vietnam.

Kamp Vietnam di Pulau Galang

Dalam artikel Kompas.com lainnya (31/1/2023), disebutkan bahwa sekitar 250.000 pengungsi Vietnam hidup di Pulau Galang yang dikhususkan sebagai penampungan sementara, sejak tahun 1979.

Pulau Galang merupakan salah satu pulau di Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepri.

Pulau ini memiliki wilayah seluas 80 km2 yang terletak 350 meter di sebelah tenggara Pulau Rempang dan sekitar 7 km dari Pulau Batam.

Pada 1992, Pulau Batam, Rempang, Galang dan pulau-pulau sekitarnya bergabung menjadi kesatuan wilayah pengembangan yang populer dengan sebutan “Barelang”.

PULAU GALANG BATAM - Tangkap layar Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menggunakan Google Maps. Warga di sana bereaksi terkait opsi pemerintah menempatkan pengungsi Rohingya di sana.
PULAU GALANG BATAM - Tangkap layar Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menggunakan Google Maps. Warga di sana bereaksi terkait opsi pemerintah menempatkan pengungsi Rohingya di sana. (TRIBUN BATAM)

Di Pulau Galang inilah Kamp Vietnam didirikan oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia.

Sejumlah fasilitas pun dibangun di kamp yang memakan lahan seluas 80 hektar tersebut.

Baca juga: Mengenal Pulau Galang, Lokasi yang Dipilih Untuk Tampung Rohingya,Pernah Jadi Kamp Pengungsi Vietnam

Sarana yang dibangun, di antaranya barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah.

Fasilitas tersebut digunakan oleh para pengungsi dari Vietnam.

Barak pengungsian dibagi menjadi enam zona. Masing-masing zona dapat dihuni sebanyak 2.000-3.000 orang.

Tempat ibadah di pulau ini adalah Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan mushala.

Di dalam Vihara Quan Am Tu terdapat tiga patung, salah satunya Dewi Guang Shi Pu Sha.

Konon, dewi ini mampu memberikan jodoh, keberuntungan, keharmonisan dalam rumah tangga, dan banyak lainnya.

Tidak hanya itu, dibangun pula penjara bagi pengungsi yang melakukan tindak kriminal.

Di Pulau Galang juga dibangun pemakaman bernama Ngha Trang Grave.

Setidaknya 503 pengungsi Vietnam dimakamkan di tempat ini.

Program kamp pengungsian Vietnam ini pun berakhir pada 3 September 1996.

Peluang Buka Pulau Galang Untuk Pengungsi Rohingya

Pulau Galang yang dikenal karena pernah menjadi lokasi kamp para pengungsi Vietnam puluhan tahun lalu kini, kini kembali disebut-sebut.

Hal itu muncul usai Wakil Presiden Ma'ruf Amin memberikan tanggapan soal kedatangan kasus para imigran Rohingya di Indonesia.

Ma'ruf Amin membuka peluang menjadikan Pulau Galang, Kota Batam, Riau sebagai lokasi penempatan pengungsi rohingya dengan alasan kemanusiaan.

Ma'ruf Amin mengatakan, Pulau Galang sempat digunakan untuk menampung pengungsi Rohingya beberapa puluh tahun silam.

Baca juga: Maruf Amin Buka Peluang Pulau Galang Jadi Penampungan Pengungsi Rohingya, Mahfud MD Cari Tempat Lain

Ia mengatakan, masalah Rohingya perlu diatasi bersama dengan alasan kemanusiaan.

Dengan catatan, pemerintah perlu tetap menyiapkan antisipasi menghindari kemungkinan beban di masa depan.

Ma'ruf menyebut Pulau Galang di Batam sempat digunakan untuk menampung pengungsi asal Vietnam beberapa puluh tahun silam.

"Penempatannya di mana? Dulu pernah kita menjadikan Pulau Galang untuk pengungsi Vietnam. Nanti kita akan bicarakan lagi apa akan seperti itu. Saya kira pemerintah harus mengambil langkah-langkah (solutif)," kata Ma'ruf di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat yang disiarkan di kanal YouTube Wakil Presiden RI.

Ma'ruf mengingatkan masalah pengungsi Rohingya sebagai masalah kemanusiaan yang mesti diatasi bersama.

"Mereka (pengungsi Rohingya), bagaimanapun ini kemanusiaan. Karena kemanusiaan, harus kita tanggulangi," kata dia.

Ia mengungkapkan pengungsi Rohingya tidak mungkin ditolak.

Namun sebelum ditampung, tambahnya, pemerintah Indonesia tentu perlu menyiapkan berbagai antisipasi.

Baginya, ini penting agar tidak menimbulkan beban di kemudian hari bagi Indonesia, baik dari sisi negara ataupun masyarakat.

"Selama ini, kan tidak mungkin kita menolak, tetapi juga tentu kita mengantisipasi jangan sampai kemudian ada penolakan oleh masyarakat, dan kemudian bagaimana supaya juga mengantisipasi jangan sampai nanti terus lari, semua larinya ke Indonesia, ke sini. Itu menjadi beban," jelasnya.

Ma'ruf mengungkapkan masalah pengungsi serupa turut dihadapi oleh negara-negara di Eropa seperti Yunani.

Mahfud MD Sebut Pemerintah Sedang Cari Tempat Lain

Opsi membuka kembali Pulau Galang untuk menampung para pengungsi Rohingya tidak disetujui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md.

"Enggak (pengungsi Rohingya di pulau Galang), justru jangan sampai seperti pulau Galang," kata Mahfud usai menggelar rapat membahas pengungsi Rohingya di Kantor Kemenpolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2023), seperti dikutip dari Kompas.com.

Mahfud MD menjelaskan pemerintah sedang mencari tempat penampungan baru lantaran lokasi saat ini sudah tidak mencukupi.

Dalam waktu dekat Pemprov Aceh, Sumatera Utara dan Riau akan rapat bersama dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk membicarakan tempat penampungan bagi pengungsi Rohingya.

Di sisi lain Kementerian Luar Negeri (Kemlu) akan berkoordinasi dengan badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, untuk ikut membantu menangani pengungsi Rohingya di Indonesia.

"Prinsipnya kami menganut diplomasi kemanusiaan karena sifatnya kemanusiaan maka kami sedang mencari jalan untuk nanti dicarikan tempat penampungan karena yang ada sudah tidak muat tapi kita akan segera mencari jalan untuk mencari secepatnya," ujar Mahfud.

Baca juga: Info Ini Sampaikan ke Presiden, Ini Perintah Jokowi Untuk Masalah Rohingya di Aceh

Mahfud menambahkan ada beberapa tempat yang diusulkan untuk menjadi lokasi penampungan pengungsi Rohingya. Namun belum diputuskan pemerintah.

Menurut dia, pemerintah tidak ingin nantinya peristiwa pengungsi Vietnam di Pulau Galang terulang kembali.

Mahfud menjelaskan Indonesia sebenarnya tidak terikat dengan konvensi internasional soal pengungsi di bawah UNHCR.

Keterbukaan Indonesia terhadap para pengungsi Rohingya saat ini atas dasar kemanusiaan.

"Ini masalahnya yang sudah terlanjur masuk ini, kan sudah terlanjur masuk ini mau diapaikan. Harus kemanusiaan pendekatannya," ujar Mahfud.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved