Opini

19 Tahun Tsunami: Parade Kesedihan dan Sigap Bencana

Salah satu perubahan besar yang terjadi setelah gempa tsunami menghantam Aceh 19 tahun silam adalah berakhirnya perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GA

|
Editor: mufti
IST
Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

TANGGAL 26 Desember 2004 adalah titik awal lahirnya era baru bagi masyarakat Aceh. Hal ini ditandai dengan munculnya frasa pascatsunami dalam penulisan sejarah sosial masyarakat Aceh di kemudian hari. Frasa ini merupakan bagian dari periodisasi sejarah Aceh kontemporer yang dilandaskan pada satu peristiwa besar bernama tsunami, di mana peristiwa dimaksud diyakini telah mengubah wajah Aceh di masa-masa kemudian.

Salah satu perubahan besar yang terjadi setelah gempa tsunami menghantam Aceh 19 tahun silam adalah berakhirnya perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat Republik Indonesia setahun setelahnya, tepatnya pada 15 Agustus 2005.

Sejarah mencatat bahwa peristiwa tsunami memiliki kontribusi besar dalam mendorong para pihak yang bertikai untuk berunding dan mengakhiri perang dengan alasan kemanusiaan. Dengan adanya kesepakatan damai ini kedua pihak memiliki kesempatan untuk membangun kembali Aceh yang kala itu telah menjadi puing.

Parade kesedihan

Sebagai masyarakat Aceh, saya menyaksikan sendiri kerusakan yang terjadi setelah gelombang tsunami menyapu bersih daratan. Mayat bergelimpangan dan tersangkut di sejumlah bangunan; sebagiannya terimpit reruntuhan bangunan dan potongan kayu.

Sebagian yang lain mengambang terapung di gerangan air dengan tubuh yang telah membengkak. Sejumlah mobil hancur berserakan sepanjang jalan sementara pengemudi dan penumpang telah menjadi mayat. Perahu-perahu nelayan tampak mendarat di atap-atap gedung bersama sampah yang menumpuk. Ratusan dan bahkan ribuan mayat tak dikenali dikubur satu liang dalam iringan tangisan dan doa.

Pemandangan demikian tentu melahirkan kesedihan mendalam, khususnya bagi mereka yang kehilangan keluarga dan teman akibat bencana dahsyat yang tak pernah diduga sebelumnya. Pedihnya lagi, kesedihan ini harus diratapi di tenda-tenda pengungsian yang kala itu menyemak di seantero Aceh. Untung saja pemerintah sigap dan bantuan internasional pun berdatangan sehingga Aceh bisa kembali bangkit seperti sedia kala.

Namun sayangnya, secara faktual kesedihan ini kembali muncul ketika peristiwa itu diperingati saban tahun. Air mata yang dulunya telah kering kembali menitik saat peristiwa kelam itu diingat dan diceritakan kembali dalam momen peringatan tsunami pada setiap 26 Desember. Tanpa sadar luka yang sedianya telah pulih seiring perjalanan waktu kembali menganga.

Dalam konteks sosio-kultural, memperingati peristiwa-peristiwa besar memang telah menjadi tradisi bangsa-bangsa di dunia. Secara prinsip hal ini dimaksudkan sebagai medium untuk mengambil ibrah dari peristiwa yang telah terjadi agar kita lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan di masa depan.

Namun, dalam konteks peringatan peristiwa tsunami di Aceh, yang terjadi justru “parade kesedihan” yang sama sekali tidak produktif bagi kebangkitan Aceh di masa depan. Hal ini dibuktikan dengan kembali munculnya kisah-kisah sedih di panggung peringatan yang membuat keluarga korban kembali meratap.

Idealnya peringatan peristiwa tsunami di masa depan harus mampu dikemas dalam bentuk yang lebih produktif sehingga bisa melahirkan optimisme untuk terus bangkit, bukan justru menjadi medium merawat luka. Peristiwa kelam di masa lalu tersebut mestilah menjadi alat pecut bagi masyarakat Aceh untuk semakin tanggap terhadap bencana yang terus mengintai saban hari.

Selain persoalan takdir dan kemunculannya yang tiba-tiba, harus diakui bahwa besarnya jumlah korban dalam peristiwa tsunami Aceh 189 tahun lalu juga disebabkan oleh belum adanya sikap sadar bencana di kalangan masyarakat.

Tafsir bencana

Sejauh ini sebagian masyarakat Aceh masih menafsirkan bencana hanya sebagai “hukuman Tuhan” atas ketidakpatuhan dan maksiat yang disebut-sebut kian merajalela. Memang dalam konteks teologis, salah satu sebab terjadinya bencana karena adanya dosa dan maksiat. Hal ini sesuai dengan Quran surat Asy-Syuraa ayat 30. Dalam hal ini juga terdapat perkataan Ali bin Abi Thalib yang dengan tegas menyebut musibah turun karena adanya dosa. Namun demikian, kita tidak bisa menafikan pesan lainnya dalam Alquran tentang kontribusi manusia dalam mengundang bencana. Hal ini di antaranya disebut dalam Quran surat Ar-Rum (41-42) bahwa manusia memiliki andil dalam merusak bumi sehingga bencana pun bermunculan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved