Opini

19 Tahun Tsunami: Parade Kesedihan dan Sigap Bencana

Salah satu perubahan besar yang terjadi setelah gempa tsunami menghantam Aceh 19 tahun silam adalah berakhirnya perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GA

|
Editor: mufti
IST
Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Dalam konteks ini aksi perusakan bumi seperti penambangan liar, penebangan dan pembakaran hutan, limbah industri, membuang sampah sembarangan dan pencemaran laut adalah ulah manusia yang dapat dikategorikan sebagai maksiat yang kemudian menghadirkan bencana alam. Dalam hal ini jelas bahwa bencana memiliki korelasi dengan ketidakbecusan manusia dalam merawat bumi sehingga ia menjadi salah satu medium hukuman yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Karena itu, kesadaran masyarakat dalam merawat bumi juga menjadi salah satu poin penting guna menghindari terjadinya bencana. Dengan kata lain, terjadinya bencana bukan saja disebabkan oleh konser musik sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan, tapi juga dipicu oleh perilaku kita sendiri yang tanpa sadar setiap saat merusak bumi demi keuntungan pribadi.

Sigap bencana

Selain edukasi soal tafsir bencana yang kerap dipahami secara parsial dan bahkan keliru, peringatan tsunami juga hendaknya bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat agar sigap dan tanggap terhadap bencana yang terus terjadi.

Hal ini penting agar peringatan tsunami memiliki nilai edukasi, khususnya terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana. Edukasi ini menjadi poin dalam membangun kesadaran masyarakat, khususnya di daerah rawan bencana agar korban jiwa dapat diminimalisir.

Pemahaman tentang kesadaran masyarakat terhadap bencana ini bukan dilakukan ketika bencana sudah terlanjur terjadi, tetapi mesti ditanamkan jauh-jauh hari sebelum bencana itu datang. Artinya, sedari awal masyarakat sudah harus dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang kebencanaan, mulai dari menjauhi daerah-daerah rawan bencana sampai dengan pengetahuan tentang strategi menghadapi bencana ketika mereka terjebak di daerah-daerah tersebut.

Jelasnya pendidikan tanggap bencana meliputi tiga fase, yaitu: fase pra bencana, saat bencana terjadi dan pascabencana sebagai upaya pemulihan. Kesadaran dan kesigapan terhadap bencana ini memiliki korelasi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum tanpa ada usaha dan upaya dari kaum itu sendiri (QS. Ar-Ra’d: 11).

Dalam konteks ini, kesigapan terhadap bencana menjadi hal penting yang mesti terus ditanamkan kepada masyarakat, di mana kesigapan ini menjadi salah satu strategi agar tercapainya keselamatan sehingga jumlah korban jiwa dapat berkurang.

Selain kesadaran dan kesigapan masyarakat secara personal terhadap bencana, pemerintah setempat juga dituntut aktif dalam mitigasi bencana seperti pemetaan wilayah rawan, penanaman pohon bakau, penghijauan dan hal-hal lain yang dianggap perlu sebelum bencana terjadi.

Program ini mesti terus dilakukan dan dikampanyekan secara berulang agar ketahanan kita terhadap ancaman bencana semakin kuat. Dalam hal ini juga dibutuhkan sejumlah regulasi yang mendukung upaya tersebut sehingga mitigasi bencana tidak hanya berada pada tataran konseptual belaka, tapi juga terwujud dalam aksi nyata.

Kita berharap agar peringatan bencana seperti peristiwa tsunami di masa depan tidak lagi terjebak dalam “parade kesedihan” seperti yang berlangsung selama ini, tapi harus mampu menjadi medium dalam menciptakan masyarakat yang sigap bencana melalui edukasi yang intens.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved