Kupi Beungoh

SBY dan Aceh: Tentang Memori Kolektif kepada Para Presiden – Bagian II

Memori kolektif itu seringkali menjadi sangat krusial ketika komunitas, masyarakat, ataupun bangsa mengalami periode kritis dalam perjalanan kehidupan

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Jawaban “layman” -awamnya mungkin sangat mudah. Ada ungkapan atau pernyataan sederhana yang dialamatkan kepada sang pemimpin.

Apa yang dijanjikan oleh pemimpin, dan apa pula yang ditunaikan.

Yang dimaksud adalah sejauh mana “genuine”-keaslian dan keikhlasan janji politik yang pernah dibuat, dan apakah itu kemudian janji itu direalisasikan?
 

Baca juga: SBY dan Aceh: Tentang Kepribadian Tenang, Damai, dan Tegas I

Baca juga: Turun Gunung Konsolidasi Partai, SBY: Jangan Berjanji Terlalu Muluk

 
Tiga Tipe dari Enam Presiden RI

Ekpresi “layman”- orang Aceh kebanyakan tentang persepsi dan memori mereka, baik secara individu maupun kolektif memberikan tiga tipe ingatan yang berbeda kepada enam presiden RI.

Yang pertama adalah yang berjanji, lalu melanggar bahkan cenderung mengkhianati janji.

Yang kedua berjanji, kemudian menepati janjinya.

Dan yang ketiga adalah tidak pernah berjanji namun memberi, yang buruk, baik dan bahkan yang terbaik untuk rakyat Aceh.

Kedalam golongan pertama, para presiden yang berjanji khusus dengan rakyat Aceh, namun tak menepatinya adalah presiden Sukarno, Megawati, dan presiden Jokowi.

Sukarno misalnya berjanji kepada Daud Beureueh dan masyarakat Aceh sambil menangis terisak, bahwa ia akan memberikan Aceh kekhususan untuk menjalankan syariat Islam pada kunjungan 1948 ke Aceh.

Ia kemudian menolak menunaikan janji itu ketika Beureueh menagihnya.

Oleh Beureueh dan masyarakat Aceh, hal itu dianggap sebagai pengkhinatan terbesar pemerintah pusat, sebab yang didapat Sukarno dari kunjungan itu bukan hanya kesetian Aceh untuk bergabung dengan negara kebangsaan baru, Indonesia, tetapi juga bantuan uang dan emas rakyat Aceh yang cukup besar untuk perjuangan kemerdekaan.

Megawati dianggap tak menepati janji, karena ia pernah seakan bersumpah sambil menangis kalau ia tak akan membiarkan “darah  tumpah di Tanah Rencong yang sedang konflik pada waktu itu.

Ia mengucapkan statemen itu dalam pidato politik pertamanya setelah PDI perjuangan memenangkan pemilu legislatif pada 1999.

Air mata itu tidak hanya keluar dari Megawati, namun banyak yang hadir dan yang  menonton via media elektronik juga ikut larut dan sendu dari pemimpin perempuan itu.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved