Jurnalisme Warga
Rumoh Tuha Roastery, Warung Kopi ‘Homey’
Rumoh Tuha Roastery terletak di salah satu sudut jalan utama Bireuen-Takengon yang belum lama ini telah dilebarkan dan diperindah oleh Pemkab Bireuen,
FACHRURRAZI, Pegiat FAMe dan penikmat kopi Aceh, juga Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Minum kopi adalah sebuah kebutuhan unik di Aceh. Tradisi berdiskusi dan menyelesaikan berbagai macam urusan di warung kopi (warkop) ditemani aneka kopi dan penganannya telah menciptakan peta bisnis khas di Aceh.
Kultur ini ditengarai telah dilirik oleh para pemilik modal dan telah membuat mereka tertantang untuk menjawab kebutuhan tersebut. Pemilihan model yang bisa menjadi solusi tepat akan kebutuhan mengopi, diskusi, dan bersosialisasi akan menentukan warkop mana yang ramai dan warkoi mana yang sunyi. Faktor inilah barangkali yang menjadi penyebab meriahnya salah satu warkop di bilangan kota Bireuen, Rumoh Tuha Roastery (RTR).
Salah satu kunci yang membuat para pengunjung rela dan setia kembali bertandang ke sebuah tempat adalah memori dan ‘chemistry’. Jika sudah merasakan hal itu, bukan tak mungkin para pengunjung akan jadi konsumen tetap, salah satu aset utama sebuah usaha. Jika hal ini bisa ditularkan kepada semua pelanggannya maka tempat tersebut sudah berhasil mewujudkan sebuah fungsi dari bisnis sukses, menyediakan, dan melayani kebutuhan orang lain.
Rumoh Tuha Roastery terletak di salah satu sudut jalan utama Bireuen-Takengon yang belum lama ini telah dilebarkan dan diperindah oleh Pemkab Bireuen, sekitar 350 meter ke arah selatan dari Tugu Simpang 4 Kota Bireuen. Kondisi jalan yang lebar, tetapi tidak padat membuat Anda leluasa memilih posisi parkir. Lokasinya juga hanya berjarak 100 meter dari Masjid Agung Sulthan Jeumpa Bireuen sehingga bisa menyahut kebutuhan batin dan perut. Penamaan Rumoh Tuha (rumah tua) bukanlah tanpa sebab, warkop ini nyatanya adalah sebuah bangunan rumah tua yang disulap sehingga menjadi tempat yang tampil beda.
Interior tata ruang yang ergonomis dan warna terang dari lampu ‘led filament’ yang digantung dengan ornamen klasik membuat suasanya demikian unik. Sang dekorator membongkar dinding papan bekas sekat ruangan sehingga terbentanglah sebuah kolong besar ‘vintage’ dengan sisa beberapa bagian rumah yang diinginkan.
Sejajar dengan meja barista dan tepat di depan kasir, dengan sangat ciamik diletakkan sebuah mesin roasting kopi yang secara berkala difungsikan untuk meroasting biji kopi pilihan. Dan jika hal tersebut terjadi, Anda adalah pengunjung yang beruntung karena aroma roastingan biji kopi Gayo tersebut akan menambah nikmat menghirup kopi di gelas Anda sekaligus menggoda untuk mengisi kembali gelas kopinya.
Semua sentuhan tersebut pas dan cukup untuk menghadirkan aura khas warkop Aceh, tidak terkesan sangat modern ala kafe atau Starbucks, tetapi juga tidak terlalu biasa ala warkop kampung nan semrawut. Rumoh Tuha Roastery pas disebut warkop ‘homey’ yang nyaman dan kopinya premium dengan harga ekonomis.
Dekorasi yang unik, tetapi tidak eksentrik telah menggoda dan menawan hati saya untuk rutin mengunjungi warkop ini. Para pengunjung pun sangat heterogen dari segala usia dan kalangan, tua, muda, pria, wanita, pengusaha, politisi, pekerja maupun rakyat jelata. Semua berbaur jadi satu dalam balutan suasana rumahan (homey) yang membuat kebutuhan bersosialisasi demikian terjawab.
Biasanya saya langsung memilih meja panjang tepat di depan meja bar barista untuk menikmati kopi. Pilihan menu favorit saya adalah sanger espresso dan wine coffee V60, kadang sanger saring juga cukup memenuhi dosis harian kafein saya. Kadang ketika hati kalut sehingga ingin sesuatu yang beda, sentuhan sanger durian dan sanger cokelat sangat layak untuk dicicipi.
Hal yang paling menarik perhatian saya ketika pertama kali berkunjung (dan masih dilakukan sampai kini) adalah kesiagaan para pelayannya menyambut para pengunjung sesaat setelah mereka duduk di meja pilihan mereka. Dengan timing yang tepat, setelah pengunjung merasa nyaman dan beristirahat sejenak, mereka langsung menghampiri. Hal ini penting karena tamu punya jeda untuk menghela napas dan membuat mereka tidak kaget dan merasa diburu-buru dengan kehadiran pramusaji.
Lalu dengan ramah pelayan langsung mencatat pesanan para pengunjung dan menyiapkannya. Dengan waktu yang tidak terlalu lama pesanan kita tiba dan bisa langsung dikmati tepat saat kita sudah merasa perlu menyesap kopinya.
Seramai apa pun pengunjungnya, standar ini tetap mereka terapkan sehingga para konsumen merasa diperhatikan kebutuhannya dan dihormati waktu berharganya.
Rasa adalah perkara selanjutnya yang membuat sekian banyak pelanggan warkop lain di Bireuen mulai beralih ke Rumoh Tuha Roastery. Walaupun mereka pemain baru di bisnis ini, cita rasa yang ditawarkan dari kopinya tidaklah biasa-biasa saja. Malah terkesan istimewa dengan variasi racikan dan biji kopi pilihan.
Beberapa kali saya mengajak rekan-rekan dari Jawa menikmati tradisi sambil menyeruput kopi, rata-rata berkomentar rasa kopi Acehnya sangat enak dan suasananya sangat nyaman. Mereka selalu minta kembali ke warkop ini ketika berkunjung ke Bireuen.
Mereka yang sering mengopi di kafe-kafe mewah ibu kota dibuat terpesona oleh aura warkop dan penikmat kopi khas Aceh ini.
Semua pelayanan prima tersebut mengingatkan saya akan sebuah budaya dari Jepang yang disebut ‘omotenashi’, sering diterjemahkan sebagai ‘hospitality’. Yaitu, kemampuan untuk memberikan pelayanan dan keramahan yang tidak disangka-sangka kepada pengunjung. Sejak pertama sekali dipopulerkan oleh Christel Takigawa pada 2013 dalam pidato kampanye Olimpiade di Buenos Aires, budaya yang sudah mengakar lama dalam tradisi Jepang ini telah dipraktikkan oleh berbagai macam bisnis di Jepang. Karena itu, ketika Jepang dinobatkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2020, masyarakat dunia langsung berbondong-bondong mengunjungi Jepang untuk melihat langsung praktik baik ‘omotenashi’ tersebut.
Di tengah menjamurnya warkopi di Negeri Seribu Satu Warung Kopi ini, para penikmat kopi merindui pelayanan prima dengan kualitas kopi berkelas. Kombinasi ini menjadi demikian langka karena rata-rata manajer warkop gagal memahami dan peduli akan kebutuhan ini. Sebagai salah satu ‘coffee-enthusiasm’, saya berkesempatan melanglang buana mencari warkop yang holistik di Aceh, Sumatra, Jawa, bahkan Eropa. Jarang sekali ada yang mampu mengombinasikan ketiga hal di atas menjadi satu sehingga bisa memuaskan dahaga para pecandu kopi seperti saya.
Rasa dan suasana menjadi hal yang penting bagi tukang minum kopi di Aceh, apalagi jika bisa dikoalisikan dengan harga yang juga ramah di kantong.
Akhirnya, pembenahan dan perbaikan yang konsisten perlu dilakukan dan diperhatikan oleh para pengusaha warkop di Aceh. Kualitas kebersihan, keramahan, pelayanan, fasilitas, dan tentunya kualitas kopi, baik yang kekinian maupun yang tradisional perlu terus ditingkatkan.
Rumoh Tuha Roastery tentu belum sekelas Filosofi Kopi Jogja, lokasi syuting film Filosofi Kopi 2, yang beken dan mentereng itu. Namun, saya dan beberapa kolega dari Jawa dan Jogja sudah membandingkan dan membuktikan bahwa ia tidak kalah pamor. Malah lebih jago memanjakan Anda dengan suasana, tradisi, dan selebrasi minum kopi khas Aceh yang membumi itu dengan gerai dan kursi ‘homey’ nan cozy-nya. Mari mampir untuk menyeruput kopi sambil menikmati diskusi dan tradisi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.