Sejarah Aceh

Kala Warga Aceh Pernah Jadi Pengungsi di Malaysia, Diburu Polisi dan 'Diusir': Hidup Dalam Ketakutan

Mereka datang ke Malaysia untuk mencari suaka, namun keberadaan warga Aceh itu justru mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari pemerintah setempat.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
FOTO AFP/HOTLI SIMANJUNTAK
Ribuan pengungsi Aceh meninggalkan rumah mereka menyusul bentrokan antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Kala Warga Aceh Pernah Jadi Pengungsi di Malaysia, Diburu Polisi dan 'Diusir': Hidup Dalam Ketakutan

SERAMBINEWS.COM – Kedatangan dan penolakan pengungsi Rohingya di Aceh mengingatkan kembali pada masa kelam warga Aceh yang pernah menjadi pengungsi di Malaysia.

Masa kelam itu dialami oleh ribuan warga Aceh yang menjadi pengungsi di Malaysia selama meletusnya perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.

Mereka datang ke Malaysia untuk mencari suaka, namun keberadaan warga Aceh itu justru mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari pemerintah setempat.

Pengungsi Aceh hidup dalam bayang-bayangan penangkapan dan berujung 'diusir' alias di deportasi untuk dikembalikan ke Indonesia.

Malaysia menganggap warga Aceh ini sebagai pendatang ilegal tanpa memiliki dokumen yang sah.

Seperti apa kelamnya pengungsi Aceh di Malaysia? berikut kisahnya. 

Meletusnya perang Aceh dengan Indonesia dan diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, membuat ribuan masyarakat Aceh melarikan diri ke Malaysia.

Menurut data Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) pada September 2003, bahwa ada 8.000-9.000 orang dari Aceh di Malaysia.

Namun UNHCR mencatat, terdapat 3.757 pencari suaka asal Aceh yang terdaftar pada akhir bulan Oktober 2003.

Dalam sebuah dokumen laporan yang diterbitkan Human Right Watch (HRW) tahun 2004, ribuan warga Aceh itu melarikan diri dari konfik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.

Banyak warga Aceh yang dieksekusi di luar hukum, penghilangan paksa, penculikan, pemukulan, penahanan sewenang-wenang, dan pembatasan ketat terhadap kebebasan bergerak. 

Pertempuran yang terus berlanjut, membuat warga Aceh mengungsi dalam jumlah besar dengan menantang maut menyebrang ke Malaysia untuk mencari perlindungan.

Baca juga: Terkait Pengungsi Rohingya, Mantan Direktur Koalisi NGO HAM Kirim Surat Terbuka ke UNHCR Indonesia

lihat fotoSetidaknya 5.000 warga desa Aceh Utara berkumpul di kota Pedada, 60 km dari Lhokseumawe, 27 Mei 1999, meninggalkan rumah mereka di tengah kekhawatiran militer yang memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setidaknya 5.000 warga desa Aceh Utara berkumpul di kota Pedada, 60 km dari Lhokseumawe, 27 Mei 1999, meninggalkan rumah mereka di tengah kekhawatiran militer yang memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Setibanya di Malaysia, pengungsi Aceh menghadapi serangkaian tantangan baru. 

Malaysia tidak memiliki sistem untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi dan pencari suaka. 

Perjanjian ini tidak mengakui warga Aceh yang melarikan diri dari konflik bersenjata di negaranya sebagai pengungsi

Akibatnya, pemerintah Malaysia telah menangkap, menahan, dan mendeportasi pengungsi Aceh kembali ke konflik tempat mereka melarikan diri. 

Mereka yang berhasil menghindari deportasi sering kali hidup dalam situasi kemiskinan ekstrem dan kesusahan, juga sering kali menjadi sasaran pemerasan dari polisi setempat.

Dalam dokumen laporannya, Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 85 warga Aceh di Malaysia pada Oktober dan November 2003.

Dalam laporan itu, Human Rights Watch mendokumentasikan kegagalan Pemerintah Malaysia dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi Aceh yang melarikan diri dari penganiayaan dan konflik bersenjata di Aceh

Perlakuan Malaysia terhadap warga Aceh di Malaysia masih jauh dari standar perlakuan terhadap pengungsi dan pencari suaka yang diterima secara internasional. 

Pernyataan para pejabat Malaysia menunjukkan bahwa, pemerintah khawatir bahwa dengan memberikan perlindungan kepada pengungsi, hal itu akan membuka pintu masuk pencari suaka ke negara tersebut. 

Malaysia belum menjadi pihak dalam perjanjian internasional utama untuk perlindungan pengungsi, yaitu: Konvensi Terkait Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol Terkait Status Pengungsi tahun 1967 (“Konvensi Pengungsi”). 

Seorang pejabat senior dari kantor UNHCR di Kuala Lumpur mengatakan bahwa pemerintah Malaysia tidak pernah membedakan orang Aceh dari warga negara Indonesia lainnya untuk tujuan deportasi.

Baca juga: Mahasiswa Serang Pengungsi Rohingya, Panglima Laot: Menyayat Hati, Coreng Wajah Aceh di Mata Dunia

lihat fotoRibuan pengungsi Aceh meninggalkan rumah mereka menyusul bentrokan antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ribuan pengungsi Aceh meninggalkan rumah mereka menyusul bentrokan antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Seruan kepada pemerintah Malaysia untuk mengakhiri pemulangan paksa warga Aceh selama konflik bersenjata di Aceh masih berlanjut.

“Kami akan memperlakukan mereka (orang Aceh) seperti kami memperlakukan pengungsi lainnya. Kami akan menahan mereka dan mengirim mereka kembali (ke negaranya),” kata Khalil Yaacob, Menteri Penerangan Malaysia pada Juni 2003, kala itu. 

Pada bulan Agustus 2003 polisi Malaysia menangkap dan menahan sedikitnya 250 pencari suaka asal Aceh di luar kantor UNHCR di Kuala Lumpur. 

Penangkapan di luar UNHCR itu diketahui secara luas di kalangan masyarakat Aceh di Malaysia, dan sering disebut sebagai alasan utama mengapa pengungsi Aceh tidak mau pergi ke kantor UNHCR untuk mendaftar atau mendapatkan surat perlindungan.

Tindakan keras tersebut jelas menyasar para pencari suaka asal Aceh, karena penangkapan tersebut terjadi dua kali berturut-turut.

UNHCR Lindungi Pengungsi Aceh

Pada pertengahan November 2003, Malaysia bersiap untuk memulangkan secara paksa delapan pengungsi Aceh, termasuk seorang ibu dan anaknya yang masih kecil ke Indonesia. 

Semuanya memegang surat perlindungan sementara yang dikeluarkan UNHCR

Tekanan kuat dari LSM Malaysia dan internasional membantu menarik perhatian terhadap kasus ini dan laporan kekerasan terhadap para pengungsi, sehingga pemerintah Malaysia setuju untuk menunda deportasi.

Disamping itu, UNHCR melaporkan bahwa tujuh pencari suaka dipulangkan melalui Selat Malaka pada tanggal 5 September 2003.

Deportasi tersebut terjadi meskipun ada permintaan dari Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Ruud Lubbers, untuk moratorium deportasi warga Aceh.

Lubbers mengatakan bahwa rencana mendeportasi pengungsi Aceh bertentangan dengan jaminan yang diberikan oleh pihak berwenang Malaysia.

Di mana jaminan tersebut menyatakan bahwa para pencari suaka "tidak akan dikembalikan ke situasi yang dapat membahayakan nyawa dan kesejahteraan mereka.

Setidaknya 5.000 warga desa Aceh Utara berkumpul di kota Pedada, 60 km dari Lhokseumawe pada 27 Mei 1999 untuk meninggalkan rumah mereka di tengah kekhawatiran militer yang memburu anggota  Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setidaknya 5.000 warga desa Aceh Utara berkumpul di kota Pedada, 60 km dari Lhokseumawe pada 27 Mei 1999 untuk meninggalkan rumah mereka di tengah kekhawatiran militer yang memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). (AFP FOTO/ UMAR)

Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan dari Jenewa, UNHCR menyatakan bahwa mereka sangat prihatin setelah mengetahui bahwa pihak berwenang Malaysia mendeportasi tujuh pencari suaka yang berasal dari provinsi Aceh di Indonesia, meskipun ada permintaan dari Komisaris Tinggi minggu ini untuk moratorium.

Meskipun ada kritik dan tekanan internasional, penggerebekan polisi Malaysia terhadap orang Indonesia terus berlanjut. 

Tidak ada perbedaan yang dibuat antara orang Indonesia yang tidak memiliki dokumen, pencari suaka, dan pengungsi

Misalnya, polisi Malaysia menggerebek pemukiman Indonesia di Limau Manis dekat Kuala Lumpur pada tanggal 16 September 2003.

Mereka mengatakan bahwa 167 pekerja migran tanpa izin kerja yang sah telah ditahan dan akan dideportasi. 

Saksi mata melaporkan bahwa ada banyak warga Aceh di antara mereka yang ditahan.

Pada Oktober 2003, polisi Malaysia menggerebek sebuah kamp pekerja tidak berdokumen di Penang dan kembali menangkap sejumlah warga Indonesia, termasuk 33 warga Aceh.

Organisasi hak asasi manusia Malaysia, SUARAM (Suara Rakyat Malaysia), melaporkan bahwa empat dari mereka diyakini memegang surat perlindungan sementara yang dikeluarkan UNHCR

Pada bulan Januari 2004, sebuah organisasi Malaysia, Solidaritas untuk Aceh, dan Organisasi Mondiale Contre la Torture (Organisasi Dunia Menentang Penyiksaan), melaporkan bahwa setidaknya 40 pencari suaka asal Aceh ditangkap.

Itu terjadi setelah polisi Malaysia menggerebek pemukiman komunitas migran di Kampung Sungai Nibong, Penang pada 25 Januari 2004.

Pada 21 Februari 2004, Kelompok Dukungan Penang untuk Aceh melaporkan 10 pencari suaka asal Aceh ditangkap dalam penggerebekan polisi di Bukit Jambul. 

Warga Aceh tersebut ditahan di Kantor Polisi Distrik Barat Daya Penang dengan harapan nantinya mereka akan dipindahkan ke pusat penahanan Juru untuk persiapan deportasi.

Bukti di atas menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar tidak dilaporkan, deportasi terhadap warga Aceh sering terjadi sebagai bagian dari deportasi yang lebih luas terhadap semua warga Indonesia yang tidak memiliki dokumen di Malaysia.

Setelah penangkapan pada bulan Agustus di luar kantor UNHCR di Kuala Lumpur, UNHCR tidak dapat mengunjungi mereka yang ditangkap dan ditahan di pusat penahanan imigrasi Malaysia

Dari 289 orang yang diketahui telah ditahan, 182 orang diidentifikasi, kebanyakan warga Aceh, yang meminta perlindungan UNHCR.

UNHCR memberikan surat perlindungan sementara kepada mereka yang belum memilikinya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved