Rohingya

Rektor UTU Minta Pengungsi Rohingya Diperlakukan Secara Humanis dan Tidak Anarkis: Beri Mereka Waktu

Disisi lain, Rektor UTU Meulaboh ini juga meminta keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh harus memiliki batas waktunya.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh Aceh Barat, Prof Ishak Hasan meminta pengungsi Rohingya agar diperlakukan secara humanis dan tidak anarkis. 

Rektor UTU Minta Pengungsi Rohingya Diperlakukan Secara Humanis dan Tidak Anarkis: Beri Mereka Waktu

SERAMBINEWS.COM, MEULABOH – Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh Aceh Barat, Prof Ishak Hasan meminta pengungsi Rohingya agar diperlakukan secara humanis dan tidak anarkis.

Prof Ishak juga meminta semua pihak untuk menjungjung tinggi nilai-nilai universal.

Disisi lain, Rektor UTU Meulaboh ini juga meminta keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh harus memiliki batas waktunya.

Sehingga masyarakat juga ingin kepastian dari pemerintah tentang penempatan Rohingya yang sudah mencapai 1.684 orang.

"Perlakukan mereka secara Humanis, dan nilai-nilai Universal dan tidak anarkis," ucap Prof Ishak, Senin (1/1/2024).

Baca juga: Pengungsi Rohingya di Sumut Bertambah Jadi 156 Orang, 8 Orang ‘Hilang’ karena Ditolong Warga: Luka

Para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi penolakan etnis Rohingya masuk ke kawasan penampungan sementara etnis Rohingya di Balai Meuseraya Aceh (BMA) di Lampriet, Banda Aceh, Rabu (27/12/2023).
Para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi penolakan etnis Rohingya masuk ke kawasan penampungan sementara etnis Rohingya di Balai Meuseraya Aceh (BMA) di Lampriet, Banda Aceh, Rabu (27/12/2023). (SERAMBINEWS.COM/ INDRA WIJAYA)

Rektor UTU menyampaikan, masyarakat Aceh tidak perlu diajarkan lagi tentang tolong menolong dan perilaku kemanusiaan sudah teruji.

"Jadi Aceh sudah lama menolong etnis Rohingya yang terdampar di Aceh," tuturnya.

Ia menilai, penanganan pengungsi Rohinya di Aceh belum waktunya dilakukan karena tingkatkan kesejahteraan provinsi ini masih rendah dan kemiskinan tergolong tinggi.

"Kita masih tergolong orang miskin," ujar Rektor.

Untuk itu, ia berharap kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani pengungsi Rohingya melalui UNCHR dan IOM untuk bertindak cepat.

"Sudah lembaga ini tidak tutup mata," harapnya.

Baca juga: Terkait Pengungsi Rohingya, Mantan Direktur Koalisi NGO HAM Kirim Surat Terbuka ke UNHCR Indonesia

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali atau Lem Faisal bersama anak-anak Rohingya saat menyerahkan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Gedung BMA, di Banda Aceh, Sabtu (30/12/2023).
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali atau Lem Faisal bersama anak-anak Rohingya saat menyerahkan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Gedung BMA, di Banda Aceh, Sabtu (30/12/2023). (SERAMBINEWS.COM/HENDRI)

Begitu juga lanjutnya, Rohingya yang terdampak di Aceh sangat disayangkan kalau adanya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Dikatakan, dalam WhatApp Grup (WAG) Krue Seumangat Aceh (KSA) bahkan sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang akan dibawa ke Pemerintah Aceh, sebagai saran dan masukan.

"Kita melakukan diskusi di WAG KSA dengan berbagai tanggapan," tutupnya. 

 

Kisah Sedih Ibu Rohingya Kehilangan Anaknya Saat Pergi ke Indonesia: Datang Dalam Mimpi Ngasih Kabar

Hati ibu mana yang tidak sedih kala berbulan-bulan tidak pernah mendengar kabar tentang anaknya.

Seorang ibu Rohingya, tak henti-hentinya memikirkan nasib putranya, Muhammad Ansar (14), yang pamit untuk meninggalkan kamp pengungsi Cox’s Bazar di Bangladesh.

Ansar pamit kepada keluarganya untuk pergi ke Indonesia bersama ratusan orang lainnya.

Sang kakak, Noor Fatima tak kuasa menahan tangis kala mengantarkan adiknya itu ke tempat keberangkatan kapal.

Keluarga berharap Ansar mendapatkan pekerjaan di Indonesia yang dapat membantu menghidupi mereka. 

Hanya ada sedikit hal yang bisa dilakukan di kamp pengungsian Cox’s Bazar.

Baca juga: Mahasiswa Geruduk BMA saat Pengungsi Rohingya Lagi Shalat, Kini Semakin Anarkis: Diangkut Paksa

Dalam foto yang dibagikan oleh keluarga, pengungsi Rohingya, Muhammad Ansar, 14, berpose untuk difoto pada 20 November 2023, hari ia meninggalkan tempat penampungan keluarganya di kamp pengungsi Bangladesh, untuk menaiki perahu menuju Indonesia yang kini telah hilang.
Dalam foto yang dibagikan oleh keluarga, pengungsi Rohingya, Muhammad Ansar, 14, berpose untuk difoto pada 20 November 2023, hari ia meninggalkan tempat penampungan keluarganya di kamp pengungsi Bangladesh, untuk menaiki perahu menuju Indonesia yang kini telah hilang. (VOA News)

Bangladesh telah melarang penghuni kamp untuk bekerja, sehingga kelangsungan hidup mereka bergantung pada jatah makanan yang diberikan PBB.

Saat itu tanggal 20 November 2023, Ansar akan melakukan perjalanan menggunakan kapal bersama beberapa kerabatnya, termasuk sepupunya yang berusia 20 tahun, Samira Khatun, dan putranya yang berusia 3 tahun. 

Keesokan harinya, Samira menelepon keluarga Fatima dan memberi tahu mereka bahwa mereka berada di kapal yang dimaksud.

“Kami sedang dalam perjalanan. Doakan kami," katanya, dikutip dari VOA News.

Beberapa hari setelah perjalanan, kapal Rohingya lainnya melihat kapal yang membawa Ansar dan Samira mengalami keruskaan mesin dan air mulai masuk ke lambung kapal.

Tak ada yang bisa dilakukan oleh kapal tersebut, mereka juga khawatir jika menolong orang-orang di kapal Ansar, akan ikut tenggelam karena kelebihan muatan.

Akhirnya kapten kapal hanya bisa menolong dengan menarik kapal tersebut menggunakan tali.

Lalu, dua atau tiga malam kemudian, badai melanda laut. 

Gelombang besar menghantam kedua kapal tersebut dan mengakibatkan tali penghubung kedua kapal putus.

Orang-orang yang berada di kapal Ansar dan Samira menangis dan berteriak keras, 'Tali kami putus! Tali kami putus! Tolong bantu kami!'.

Secara perlahan kedua kapal semakin jauh dan kapal yang ditumpangi oleh Ansar dan Samira hilang dari pandangan.

“Mereka juga beragama Islam. Mereka juga bagian dari komunitas kami,” kata Rujinah saat menyaksikan kapal Ansar hilang dari pandangam.

“Itulah sebabnya rakyat kami juga menangisi mereka,” katanya lagi.

Sementara itu, kamp pengungsian di Cox’s Bazar berduka atas hilangnya kapal yang membawa Ansar dan Samira bersama 180 orang itu.

Menurut penyelidikan AP News, kapal tersebut telah tenggelam di dasar laut dan orang-orangnya telah meninggal.

Fatima yang berada di kamp pengungsian Bangladesh, kesulitan untuk tidur sambil menunggu kabar tentang Ansar.

Dengan satu atau lain cara, katanya, mereka hanya menginginkan jawaban, apakah Ansar masih hidup atau tidak.

Suatu malam, kata Fatima, Ansar mendatangi sang ibu dalam mimpi dan memberitahunya bahwa dia berada di sebuah pulau.

Keluarga yakin Ansar masih hidup dan berada di suatu tempat.

Sementara keluarga lainnya, Shukkur juga bermimpi tentang putrinya, Kajoli yang berada di dalam kapal tersebut.

Namun ia bermimpi bahwa kapal yang ditumpangi putrinya itu telah tenggelam.

Dia yakin gadis kecilnya dan semua penumpang lainnya telah meninggal.

Penderitaannya bergema di seluruh tempat penampungan yang penuh sesak di kamp Cox’s Bazar. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved