Jurnalisme Warga

Ketika Bahasa Aceh Beranjak ke Bahasa Tulisan

Setelah waktu berlalu bertahun-tahun, saya tak pernah menjumpai satu pun naskah kitab bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T A SAKTI, penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh 

T. A. SAKTI, peminat bahasa dan sastra Aceh, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie

Dibandingkan  bahasa Melayu, bahasa Aceh termasuk lebih  lambat muncul dalam bentuk tulisan. Orang dapat melacak jejak bahasa Melayu sampai abad ke-7 Masehi (M), karena telah ditemukannya beberapa “batu bersurat”.

Sementara, bahasa Aceh–sejauh yang saya ketahui—belum dijumpai hal serupa. Bahasa Aceh lebih berperan sebagai bahasa lisan, yaitu bahasa percakapan antara warga masyarakat yang memakai bahasa Aceh.

Hal demikian dapat dimaklumi karena para ulama Aceh dan pujangganya  yang menulis kitab dan karya-karya mereka lainnya selalu menulis dalam bahasa Melayu dan Arab.

Berdasarkan beberapa  sumber, awal hadirnya bahasa Aceh dalam bentuk tulisan lebih kurang sekitar  375  tahun lalu.

Naskah berbahasa Aceh pertama adalah Hikayat Malem Dagang. Ini pun kalau kita percaya  pendapat  Snouck Hurgronje dan H.K.J. Cowan yang mengatakan Hikayat Malem Dagang telah ditulis pada abad 17.

Namun, menurut Mark Durie, ahli bahasa Aceh asal Australia, justru Hikayat Syamaun sebagai hikayat pertama yang ditulis di Aceh. Ia mengkaji hikayat  milik Museum Aceh, Banda Aceh. Akan tetapi, saya belum sempat membaca hikayat koleksi museum itu.

Hikayat Syamaun koleksi  “Rumoh Manuskrip”  Tarmizi Hamid yang sudah saya baca pada saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 8 Tahun 2023,  menyebut tahun penyalinannya 1287 Hijriah ((H), dua tahun sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh 1289 H. Berarti, itu bukan naskah tertua.

Perkembangan penulisan bahasa Aceh juga dapat kita lacak melalui berbagai kitab yang tertulis dalam bahasa Melayu, khususnya kitab-kitab tulisan tangan.

Mula-mula bahasa Aceh, terlihat sebagai ‘sandingan’ bahasa Melayu. Saya sebutkan sandingan, berarti bahasa Melayu tetap ditulis, tetapi di bawahnya  ditulis bahasa Aceh satu-dua kata.

Para ulama  Aceh zaman itu dalam menulis kitab berbahasa Melayu (atau penyalin ulang)  di sana-sini menyelipkan bahasa Aceh. Bukan diselip pada setiap halaman, melainkan dalam selang beberapa halaman kitabnya. Begitu yang saya lihat di banyak kitab tulisan tangan berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu atau Jawi alias harah Jawoe.

Pada abad ke-13 H atau awal abad 19 M, barulah hadir kitab dan karya  tulis dalam bahasa Aceh, berupa kitab agama dan hikayat. Saya memiliki  karya Syekh Abdussalam—kakek Teungku Chiek Di Tiro ( Pahlawan Nasional asal Aceh)— seperti Tambeh Tujoh (1208 H).

Syekh Jalaluddin Lam Gut  menyadur Kitab Tanbihul Ghafilin tahun 1242 H (1827 M). Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum menulis Hikayat Akhbarun Na’im (1269 H). Syekh Ismail Asyi menulis Kamus Empat Bahasa, yakni bahasa Arab, Turki, Melayu, dan bahasa Aceh  di Mesir juga pada abad 19 M.

Kemudian, Teungku Abdullah Arif MA (Aceh: Cong/cicit Syekh Jalaluddin Lam Gut (Aceh Besar) menulis kitab “Masailai Meunadham” tahun 1948 M. Selain kitab-kitab agama, penulisan hikayat juga amat semarak ketika itu.

Perkembangan penulisan bahasa Aceh mulai saat itu sangatlah maju. Hampir semua hal kehidupan orang Aceh  masa itu  sudah tertulis dalam bahasa Aceh, seperti dalam tambeh, nazam,  dan  kisah-kisah hikayat.

Hampir semua kita sudah memahami bahwa penulisan bahasa Aceh itu seluruhnya dalam bentuk syair. Hal demikian memang permintaan zaman saat itu. Sesuatu yang ditulis dalam bentuk syair, pasti mudah dipahami dan mudah terhafal oleh pembacanya.

Begitulah format hikayat, nadham, tambeh, dan like/lagu harian; semuanya dalam bentuk syair. Hal demikian berlangsung puluhan tahun, bahkan melintasi abad.

Begitu gemar dan fasihnya para pengarang Aceh masa dahulu mengarang segala hal dalam bentuk syair, sampai-sampai kitab ramuan obat pun ditulis dalam syair hikayat dalam huruf Jawi-Jawoe.

Satu-satunya kitab obat herbal itu berjudul “Kisah Afrahu Tabib”. Informasi ini dapat dijumpai dalam disertasi Prof Imran T Abdullah yang berjudul Hikayat Meukuta Alam. Kitab ini milik Pustaka Universitas Leiden, Belanda.

Dalam kondisi demikianlah, keluar pernyataan Prof Ali Hasjmy, bahwa tulisan bahasa Aceh seluruhnya tertulis dalam bentuk syair-bersanjak, nyaris tidak ada dalam bentuk prosa.

Sebagai pengagum Prof Ali Hasjmy saya coba menelusuri “kembali” apa yang telah disimpulkan beliau.

Setelah waktu berlalu bertahun-tahun, saya tak pernah menjumpai satu pun naskah kitab bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Suatu sore seseorang membawa sebuah manuskrip besar ke tempat saya. Tujuannya agar saya sudi membacanya. Di antara beberapa kitab dalam buku tebal itu, saya tertarik pada dua buah kitab, yakni “Umdatun Muhtajin” karya Syiah Kuala dan kitab Qawa ‘Idul Islam.

Kitab Qawa’idul Islam amat menarik bagi saya. Isinya mengenai dasar-dasar Ilmu Tauhid, tapi penulisannya dalam bentuk prosa dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Melayu, dan bahasa Aceh. Dengan demikian,  terjawablah sedikit kata “nyaris tidak ada” dari pernyataan Prof Ali Hasjmy itu.

Niat saya untuk transliterasi kitab itu cukup menggebu-gebu. Betapa tidak, sesuatu yang selama ini saya anggap,”nyaris tak ada” ternyata sudah terhantar di depan saya. Sungguh batin saya sangat berbunga-bunga.

 

Kitab Qawa’idul Islam yang dalam istilah C. Snouck Hurgronje disebut juga Kitab Bakeumeunan, karena di banyak halaman tertulis kata “Bakeumeunan” sebagai tanda dimulainya suatu masalah baru/hal lain.

Selesai kami salin dan alih aksara ke huruf Latin (bersama Tgk Muhammad Kalam Daud), maka    kitab itu memiliki  dua jenis huruf, yaitu huruf Arab Melayu dan Latin. Beberapa tahun kemudian diterbitkan oleh Pustaka Wilayah Provinsi Aceh.

Alhamdulillah, mimpi Prof  Ali Hasjmy dan TA Sakti terbukti adanya. Bahwa telah ditemukan dan diterbitkan pula sebuah kitab yang bertuliskan bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Pada awal tahun 2020 M–sebelum penyakit ta’eun atau Covid-19 merebak—sahabat saya, Iqbal Hafidh dan dr Nabil Berry, membawa beberapa lembar naskah lama yang telah diedarkan secara online oleh British Library ke tempat saya di Bale Tambeh.

Saya amat tertarik dengan lembaran manuskrip ini karena sebagian tertulis dengan bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Bahasa Aceh prosa ini bisa dijumpai di sana-sini dalam Kitab ‘Aqidatul ‘Awam itu. Sedangkan sebagian besar isinya masih tertulis dalam bentuk syair hikayat.

Dalam manuskrip itu juga dapat kita jumpai nama  penulisnya, yaitu Haji Syekh Saman Tiro, yang sekarang lebih populer dengan gelar Teungku Chiek Di Tiro, Pahlawan Nasional RI asal Aceh.

Selain menulis kitab agama, selama memimpin peperangan Teungku Chiek Di Tiro juga  menulis karya yang berjudul “Nasha’ihul Ghazat” (Nasihat Peperangan).

Sayang sekali, setelah dikaji oleh Prof Dr Imran T Abdullah, Dosen UGM Yogyakarta yang diambil dari Pustaka Leiden (Belanda), tidak ada yang menerbitkan setelah sang Profesor meninggal.

Menurut keterangan Iqbal Hafidh,  Kitab ‘Aqidatul ‘Awam ini tebalnya 190 halaman. Keseluruhan isinya mengenai seluk-beluk agama Islam.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved