Jurnalisme Warga
Bersihkan Atribut di Hati Menjelang Bulan Suci
Proses demokrasi dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. Keterlibatan kaum milenial dalam pesta demokrasi memberi warna berbeda, terutama selam
MUHAMMAD, S.Pd., M.Pd., Dosen dan Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam (FAI) Uniki Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Medio Februari lalu kita melaksanakan pesta demokrasi secara serentak di seluruh Indonesia. Kewajiban lima tahun sekali ini pun disambut dengan sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu 2024 dengan masa kampanye dimulai 28 November 2023—10 Februari 2024. Momentum itu langsung dimanfaatkan oleh semua partai politik nasional (parnas) maupun partai lokal (parlok), serta pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memikat hati pemilih dengan berbagai pendekatan dan strategi masing-masing.
Bersamaan dengan itu, masyarakat yang terdiri atas simpatisan masing-masing pasangan capres/cawapres dan caleg ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil (timses) di lingkungannya untuk mengamankan suara kandidat yang diusungnya.
Proses demokrasi dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. Keterlibatan kaum milenial dalam pesta demokrasi memberi warna berbeda, terutama selama proses kampanye.
Bisa disimpulkan, kampanye parpol maupun caleg dan capres/cawapres kali ini secara keseluruhan dominan dilakukan di media sosial dengan berbagai argumen menarik dari masing-masing pendukung.
Namun demikian, besarnya dominasi media sosial turut menyeret berbagai informasi yang kurang kredibel dan dijadikan alat untuk menyerang paslon lain, bahkan menciptakan informasi hoaks. Jika ditelaah lebih jauh, ada yang bahkan menggoreng isu agama, ras, bahkan menyerang fisik paslon tertentu oleh kubu lawan.
Lebih parahnya lagi terjadi keretakan komunikasi dan terputusnya hubungan sosial di kalangan keluarga dan masyarakat di daerah tertentu karena berbeda sudut pandang dan dukungan.
Fenomena di atas sempat mencuat sepanjang masa kampanye sampai tibanya hari pencoblosan pada 14 Februari 2024.
Kini, masa “gawat” itu sudah berakhir. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat untuk memilih calon presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRA, dan DPRK sudah dilaksanakan dengan baik, meskipun secara data hasilnya belum final.
Melalui reportase ini kami ingin menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk kembali berdamai dengan hati masing-masing. Perbaiki segera keretakan dalam keluarga dan hubungan sosial sesama anggota masyarakat yang berbeda pilihan. Hilangkan atribut politik di hati masing-masing dan kembalilah sebagaimana perintah Al-Qur’an, yaitu innamal-mu`minụna ikhwatun fa aṣliḥụ baina akhawaikum wattaqullāha la'allakum tur-ḥamụn (Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Oleh sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat).
Gesekan sosial terkadang tidak dapat dihindari selama yang bergerak adalah simpatisan fanatik yang tidak mengedepankan etika politik. Kelompok ini biasanya dikuasai emosi ketika berbeda pandangan dan argumen dengan kubu lain. Kondisi inilah yang memicu terjadinya banyak konflik sosial di masyarakat selama proses pemilu dari awal sampai akhir.
Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin berulang kali menyampaikan bahwa perbedaan pandangan dan pilihan tidak boleh membuat masyarakat terpecah belah. Perbedaan pandangan politik idealnya tidak merusak atau merugikan pihak lain.
Beberapa pekan lalu, setelah tinta biru menempel di ujung jari masing-masing, seharusnya itu menjadi pertanda berakhirnya perbedaan dan gesekan sosial antarsesama yang selama ini terpicu oleh beda pilihan. Tekad tersebut harus segera terwujud, mengingat pemilu kali ini terasa spesial dan berbeda. Selain pelaksanaannya serentak, juga perbedaan pandagan yang terjadi bisa diselesaikan dengan cepat karena tak lama lagi umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadhan yang penuh berkah. Selain itu, kepada calon yang terpilih kita doakan juga agar mendapatkan keberkahan Ramadhan karena kemenangannya disambut pula oleh bulan penuh kemenangan.
Kebiasaan umat Islam dari tahun ke tahun menjelang akhir Syakban sudah mulai mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan, demi menjemput keberkahan. Momentum ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh umat Islam untuk memperbaiki segala keretakan yang terjadi selama masa kampanye politik di Indonesia. Bagaimanapun, kita harus tetap berpegang teguh pada semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda, tapi tetap satu jua). Semboyan ini berlaku tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Setiap individu harus berani memaafkan dan saling rangkul satu sama lain. Itu adalah kemuliaan yang harus ditunjukkan umat Islam pascapemilu pada semua pemeluk agama di Indonesia. Inilah seringan-ringannya dakwah yang harus dilakoni oleh setiap muslim, juga sebagai upaya individu dalam menjaga kerukunan umat beragama di wilayahnya masing-masing.
Umat Islam secara khusus tidak memiliki alasan untuk tidak memberi maaf, saling merangkul satu sama lain, karena jauh sebelum Bhineka Tunggal Ika itu ada kita sudah diingatkan Al-Qur’an dengan ‘innamal-mu`minụna ikhwatun’ yang terus menjadi pegangan kita sampai akhir hayat.
Pendeknya, jangan sampai negara lain tertawa melihat kita begitu baik dengan negara lain, bahkan mati-matian membelanya baik dengan doa maupun bantuan lain. Akan tetapi, dengan tetangga sendiri kita enggan bertutur sapa, bahkan saling menjelekkan satu sama lain hanya karena perbedaan yang tercipta selama beberapa bulan di masa kampanye pemilu.
Sudah saatnya kita kembali bersih dan berpegangan tangan melaksanakan rutinitas sebagaimana biasa. Tidak ada musuh abadi dalam politik. Paslon yang berbeda dan kalah sekalipun akan dipersatukan dan tertawa kembali dengan musuh politiknya hari ini. Lantas apa alasan kita sebagai simpatisan atau pendukung untuk tidak memaafkan saudara kita yang berbeda pilihan dengan klaim tidak akan memaafkan atau berbicara selama hidup?
Kebiasaan buruk ini harus dapat diubah mulai sekarang. Manfaatkan momentum Ramadhan untuk membersihkan bekas-bekas semua itu agar yang ke kebun kembali dengan leluasa, yang ke laut berlayar dengan rasa aman, yang bekerja paruh waktu pun bisa melaksanakan pekerjaan dengan aman dan damai. Tanpa dendam dan kebencian yang berlebihan.
Di akhir reportase ini ingin saya disampaikan bahwa kita kalangan menengah ke bawah selalu menjadi objek setiap bergulirnya kampanye pemilu, baik pada tingkat tertinggi pilpres sampai ke tingkat bawah pemilihan kepala desa. Kita pula yang menjadi tujuan sosialisasi berbagi programnya. Namun, pada faktanya, setiap selesai masa sosialisasi itu tidak semua yang disampaikan tersebut berdampak langsung atau dilaksanakan sebagaimana dijanjikan. Untuk itu, rasanya tidaklah perlu terlalu berlebihan sampai memutuskan silaturahmi satu sama lain, atau bahkan terjadi gesekan sosial yang berkepanjangan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdemokrasilah dengan cara-cara yang wajar, tidak menjatuhkan martabat dan menggugurkan hak orang lain. Apa yang sudah terjadi hari ini kita harapkan tidak terulang kembali dan jadikan pelajaran untuk menghadapi pemilu lima tahun mendatang dengan damai dan tetap menjaga silaturahmi sebagai kekuatan utama dalam menjalani kehidupan yang sudah berlaku secara turun-menurun.
Momentum menyambut bulan suci Ramadhan ini haruslah menjadi titik awal bagi kita untuk mencapai perubahan diri secara individu dan perubahan bangsa secara keseluruhan bersama pemimpin baru yang terpilih secara demokratis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.