Opini

Mengenal Penyakit Ginjal Kronis

Renin berperan mengontrol tekanan darah dan mengatur keseimbangan cairan tubuh manusia. Kalsitriol berperan mengatur keseimbangan kalsium dan Vitamin

Editor: mufti
IST
Dr dr Abdullah SpPD-KGH, Skretaris Perhimpunan Nefrologi Indonesia Korwil Aceh 

Dr dr Abdullah SpPD-KGH, Skretaris Perhimpunan Nefrologi Indonesia Korwil Aceh

PENYAKIT Ginjal Kronik (PGK) merupakan penurunan fungsi ginjal dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal yang terjadi secara cepat dan tidak dapat diperbaiki selama tiga bulan atau lebih. Ginjal merupakan organ cukup penting dalam tubuh manusia dengan fungsi utama sebagai penyaring zat racun dalam tubuh, baik yang berasal dari makanan dan obat-obatan.

Ginjal menyaring 180-200 liter darah setiap hari membentuk air seni. Selain itu ginjal juga mengontrol tekanan darah, menjaga kesehatan tulang, menyerap kembali zat-zat yang dibutuhkan tubuh, yaitu asam amino, gula, natrium, kalium, dan nutrisi lainnya, serta menghasilkan hormone eritropoeitin, renin dan kalsitriol. Eritropoetin berperan dalam pembentukan sel darah merah.

Renin berperan mengontrol tekanan darah dan mengatur keseimbangan cairan tubuh manusia. Kalsitriol berperan mengatur keseimbangan kalsium dan Vitamin D.

Stadium awal PGK umumnya tanpa gejala. Keluhan timbul pada stadium lanjut berupa lemas dan pucat karena hormon pembentuk sel darah merah yang mulai berkurang akibat gagal ginjal dan ureum yang meningkat, gatal, sering pusing, sulit berkonsentrasi, mual, muntah serta nafsu makan yang berkurang.

Data dari Indonesian Renal Registry menyebutkan terjadi peningkatan kasus PGK. Sebanyak 10 persen populasi di seluruh dunia terkena PGK, dapat terjadi pada segala usia dan ras. Berdasarkan jenis kelamin, 1 dari 5 pria dan 1 dari 4 perempuan menderita PGK. Angka kesakitan dan kematian yang cenderung tinggi dan semakin meningkat setiap tahun.

Global Burden of Disease 2019 melaporkan lebih  dari 3,1 juta kematian akibat PGK dan merupakan  faktor risiko kematian ketujuh. Angka kematian PGK lebih tinggi di negara berkembang (5-11 juta per tahun). Hal ini terjadi karena tingginya kejadian gagal ginjal akut dan kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan yang menyediakan fasilitas terapi pengganti ginjal (dialisis).

Hal ini diperberat akibat kesenjangan dalam pencegahan, deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan penyakit ginjal kronis.

Dalam deteksi dini dan pengobatan Penyakit ginjal kronis stadium akhir membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dibutuhkan bukan hanya biaya dialisis dan transplantasi ginjal, namun juga perawatan komplikasi penyakit dasar seperti serangan jantung, gagal jantung, stroke dan komplikasi lainnya.

Berbagai data menunjukkan bahwa faktor risiko penyakit ginjal kronis meliputi tekanan darah tinggi (51,4 % ), kadar glukosa plasma puasa yang tinggi (30,9 % ), dan indeks massa tubuh yang tinggi (26,5 % ). Umumnya 80-95 % pasien tidak menyadari mereka menderita hipertensi, diabetes bahkan telah timbul berbagai komplikasi penyakit dasar tersebut, termasuk komplikasi PGK. Data menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang dengan hipertensi dan 1 dari 3 orang penderita diabetes juga menderita PGK.

Upaya dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah PGK adalah gaya hidup sehat, pengendalian faktor risiko seperti kontrol gula darah pada diabetes melitus dan kontrol tekanan  darah pada hipertensi, pencegahan gagal ginjal akut, optimalisasi kesehatan ibu dan anak dan mengenali perubahan iklim.

Upaya perbaikan gaya hidup sehat yang dapat dilakukan masyarakat adalah pola diet seimbang (cukup karbohidrat, protein, memperbanyak serat dan mengurangi makanan manis), pantau gula darah, pantau tekanan darah, tidak minum obat tanpa resep dokter, cukup minum, olah raga teratur sehingga lebih bugar dan mencapai berat badan ideal, tidak merokok dan tidak minum alkohol.

Hal yang tidak kalah penting adalah periksa fungsi ginjal berkala (ureum, kreatinin dan urinalisis). Diagnosis dini dan stratifikasi risiko memiliki kontribusi memperlambat progresivitas penyakit ginjal kronis. Data menunjukkan proporsi pasien yang mendapat terapi yang optimal cenderung rendah.

Bagaimana deteksi penyakit ginjal? Penyakit ginjal tahap awal tidak memiliki tanda maupun gejala tertentu. Seseorang dapat kehilangan 90 % fungsi ginjalnya tanpa mengalami  gejala apa pun. Deteksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sederhana.

Seperti pemeriksaan kencing untuk melihat  protein pada air seni dan tes darah untuk mengetahui kadar kreatinin darah. Pemeriksaan laboratorium tersebut dapat dilakukan secara berkala sebaiknya 3 bulan sekali terutama pada kelompok yang memiliki risiko terhadap penyakit ginjal kronis atau usia lebih 40 tahun.

Prioritas layanan

Kebijakan kesehatan memasukkan penyakit ginjal kronis sebagai prioritas layanan kesehatan, memastikan pembiayaan berkelanjutan, memantau beban dan dampak penyakit, tindakan multisektor, meningkatkan kesehatan ginjal melalui upaya meningkatkan dan memperbaiki gaya hidup sehat pada masyarakat dan mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Kebijakan juga mampu mengatasi faktor-faktor penentu sosial dalam kesehatan, yang merupakan faktor utama yang meningkatkan risiko dan keparahan penyakit ginjal. Perlunya perbaikan dalam hal promosi kesehatan ginjal, serta pencegahan primer dan sekunder penyakit ginjal. Berkaitan dengan hari ginjal sedunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Maret setiap tahunnya promosi kesehatan ginjal sangat penting dilakukan.

Promosi kesehatan ginjal mulai dari lini terdepan layanan kesehatan seperti Puskesmas dengan memberikan edukasi pentingnya pengendalian penyakit dasar utama penyebab PGK. Masyarakat wajib mengetahui pentingnya kendali gula darah dan kendali tekanan darah serta deteksi dini dengan evaluasi fungsi ginjal secara berkala setiap 3 bulan.

Pemangku kebijakan juga perlu melakukan evaluasi dan menilai apakah evaluasi fungsi ginjal ini sudah dapat dilakukan oleh Puskesmas. Pengatur kebijakan juga dapat bekerja sama departemen terkait penyampaian informasi kesehatan dan deteksi dini penyakit melalui televisi, radio dan koran.

Sistem kesehatan mengintegrasikan perawatan penyakit ginjal ke dalam perawatan primer, menetapkan standar kualitas, memasukkan diagnostik dan pengobatan yang diperlukan. Kualitas asuransi mampu mengatur dan memantau mutu obat serta memberikan dukungan yang proporsional sesuai keparahan penyakit.

Dalam hal ini perlu kerja sama yang baik antara sistem layanan kesehatan masyarakat dengan pihak asuransi kesehatan dalam mempermudah prosedural administrasi dan rujukan sehingga layanan kesehatan dapat lebih optimal dan mencakup seluruh kalangan masyarakat.

Kemampuan pasien untuk memahami kebutuhan kesehatan, membuat pilihan yang sehat dan keluarga mampu memberikan dukungan psikososial. Komunikasi harus dimulai dengan memberikan informasi berkualitas, memberikan pemahaman terhadap pasien dan sering kali keluarga. Kurangnya informasi kesehatan, komunikasi yang buruk, dan ketidakpercayaan mempengaruhi kualitas kesehatan pasien. Hal lain juga memerlukan perhatian adalah kualitas obat generik, harga obat serta ketersediaan obat, pemakaian obat yang banyak dan teknologi digital.

Hal lain yang menarik di Indonesia yang sangat luas dengan kondisi geografis yang terdiri atas banyak pulau dan pegunungan sehingga jarak tempuh untuk mencapai fasilitas kesehatan cukup jauh dengan sarana transportasi yang sangat terbatas dan tidak kontinu.

Masyarakat kurang terjangkau dengan fasilitas kesehatan. Tingkapan pendapatan dan Pendidikan masyarakat juga mempengaruhi kemampuan akses kesehatan. Walaupun pemerintah menjamin asuransi kesehatan terhadap masyarakat, namun akses layanan kesehatan tidak optimal akibat jarak tempuh yang jauh dan membutuhkan biaya tinggi. Evaluasi terhadap fasilitas kesehatan terdekat sangat perlu dilakukan meliputi sumber daya manusia, kelengkapan penunjang diagnosis dan obat obatan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved