Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia

Koalisi SLHA Desak Pemerintah Selamatkan Hutan Gambut Rawa Tripa-Babahrot

Koalisi SLHA mendesak Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh agar menjamin perlindungan keanekaragaman hayati, khususnya yang ada di Aceh.

|
Editor: Taufik Hidayat
Dok Koalisi SLHA
Pembukaan hutan di kawasan lindung gambut yang masuk dalam areal HGU PT DPL. Koalisi SLHA menyebutkan bahwa dalam satu tahun terakhir, hutan gambut yang hilang di Babahrot, Abdya mencapai 269,03 hektare. 

SERAMBINEWS.COM – Memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia  atau International Day for Biological Diversity pada 22 Mei 2024, sejumlah LSM peduli lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (SLHA) menyampaikan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk menghentikan penghancuran hutan yang menjadi rumah terakhir Orangutan khususnya di Tripa-Babahrot.

Koordinator Koalisi SLHA, Yusmadi Yusuf mengatakan, hutan yang menjadi rumah terakhir Orangutan yang ia maksudkan itu merujuk pada kawasan ekosistem hutan rawa gambut Tripa-Babahrot yang luas awalnya mencapai 62.000 ha (60 persen di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya dan 40 persen di Kecamatan Babahrot, Abdya).

Kawasan ini menyimpan 300 jenis tumbuhan lokal dan beberapa satwa khas, antara lain fauna, termasuk Orangutan (Pongo abelli), Beruang Madu dan Harimau Sumatera dijumpai di Rawa Tripa.

“Di Babahrot, penghancuran hutan gambut masih terus terjadi hingga hari ini. Kondisi Rawa Tripa-Babahrot saat ini hampir seluruhnya menjadi kawasan budidaya perkebunan kelapa sawit. Karena itu, dalam momentum Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia atau International Day for Biological Diversity ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh agar menjamin perlindungan keanekaragaman hayati, khususnya yang ada di Aceh,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Kamis (23/5/2024).

Menurut Yusmadi, hancurnya hutan gambut Tripa-Babahrot itu terjadi akibat pemberian legalitas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan oleh pemerintah kepada PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi di areal hutan gambut Babahrot. “Padahal, hutan gambut Babahrot ini merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilindungi secara nasional,” kata Yusmadi.

Total luas hutan gambut Babahrot ini mencapai 23.807 hektare. Okupansi perkebunan kelapa sawit telah mengkonversi hampir seluruh lahan gambut Babahrot. Bahkan 4.529 hektare Kawasan Hidrologi Gambut Babahrot sudah berubah fungsi.

Beberapa tahun belakangan, 634,70 hektare hutan yang masuk Kawasan Lindung Gambut kembali dibuka dan dikeringkan. Padahal ini bertentangan dengan Permentan No 14 tahun 2009 tentang larangan budidaya komoditas perkebunan termasuk kelapa sawit dalam kawasan yang terdapat kubah gambut kedalaman lebih 3 meter.

“Dari investigasi yang kami lakukan beberapa bulan lalu, kami menemukan bahwa hutan dalam Kawasan Lindung Gambut tengah dibuka dan dikeringkan oleh PT Dua Perkasa Lestari (DPL) dan PT Cemerlang Abadi (CA). Hasil analisis citra tahun 2023, terdapat 501,67 hektar hutan dalam Kawasan Lindung Gambut. Sedangkan pada Februari 2024, hutan gambut tersisa hanya 232,64 hektar. Ini menunjukkan data yang menyeramkan dimana dalam satu tahun terakhir, hutan gambut yang hilang di Babahrot mencapai 269,03 hektare,” ungkapnya.

Koalisi SLHA juga menemukan bahwa aktivitas pembukaan lahan untuk budidaya perkebunan juga tidak sesuai arahan dari peta analisis kesesuaian revisi RTRW dengan peta HGU PT DPL dan PT CA yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN Tahun 2024. “Peruntukan Kawasan Gambut yang merupakan bagian dari Kawasan Lindung Gambut masih tumpang tindih dengan HGU kedua perusahaan tersebut,” tambahnya.

Orangutan Makin Terusir

Deforestasi terencana di hutan gambut Babahrot ini telah mengancam keanekaragaman hayati yang hidup di hutan tersebut, khususnya sejumlah spesies kunci seperti Orangutan.

Data Koalisi SLHA menunjukkan bahwa penyusutan lahan gambut telah menyebakan populasi Orangutan di hutan Babahrot ini kian rentan.

Beberapa kasus Orangutan yang terdampak akibat okupansi sawit di hutan gambut Babahrot itu antara lain:

Pada 12 Maret 2019, satu anak Orangutan jantan usia 5 bulan ditemukan terisolir di kebun masyarakat dan dievakuasi ke Pusat Karantina Orangutan Sumatera di Batu Mbelin Sumatera.

Pada 28 Oktober 2020, satu induk Orangutan dan anaknya terisolir dalam kebun masyarakat.

Pada 9 April 2022, 2 induk Orangutan dan anak usia 2 dan 5 tahun ditemukan dalam kondisi kurus di hutan Babahrot dan dievakuasi ke Pusat Reintroduksi Orangutan Jantho.

Konflik sosial

Penguasaan hutan dan lahan gambut di Babahrot melalui izin Hak Guna Usaha (HGU) itu pun telah menyebabkan tersulutnya banyak konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

Selain itu, kewajiban perusahaan HGU dalam memberikan 20 persen kebun plasma dari total luas HGU  mereka pun masih belum terealisasi hingga hari ini. “Kedua perusahaan ini juga masih mengabaikan proses Free Prior and Informed Consent (FPIC) dengan komunitas masyarakat local,” ujar Yusmadi.

Ia pun menegaskan bahwa perusahaan yang membuka lahan gambut Babahrot perlu dimintai komitmen terhadap kebijakan Nol NDPE di dalam hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Areas).

“Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh juga mendesak perusahaan PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi menghentikan aksi pembukaan lahan baru di hutan gambut Babahrot. Karena pembukaan lahan ini telah menyebabkan terusirnya populasi Orangutan di hutan gambut Babahrot. Pemerintah Daerah (Pemkab Abdya) juga perlu segera mengambil tindakan penghentian pembukaan lahan di dalam Kawasan Lindung Gambut sesuai dengan arahan dari peta analisis kesesuaian revisi RTRW Abdya. Pengabaiaan hak-hak komunitas lokal oleh kedua perusahaan ini pun akan menambah daftar panjang skandal HGU di dalam hutan gambut Babahrot,” tukasnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved