Opini
Sudan Teriak, Dunia Terdiam, The Next Genocide?
Saat ini, Sudan kembali berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian, memicu pertanyaan, apakah kita sedang menyaksikan awal dari genosida
Oleh: Muhammad Shiddiq *)
Di tengah krisis kemanusiaan dan politik yang berlangsung, Sudan sering kali mengeluarkan jeritan minta tolong. Namun, di banyak kesempatan, jeritan ini tampaknya tidak mendapat perhatian yang memadai dari komunitas internasional.
Ungkapan "Sudan teriak, dunia terdiam" menggambarkan frustrasi yang dirasakan oleh rakyat Sudan ketika suara mereka tidak cukup didengar oleh dunia luar.
Saat ini, Sudan kembali berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian, memicu pertanyaan, apakah kita sedang menyaksikan awal dari genosida berikutnya seperti yang dirasakan oleh Palestina ?
Konflik yang terjadi di sudan menjadi sorotan tersendiri, bisa dikatakan dengan “Perang Saudara” pasalnya konflik yang didasari oleh persaingan politik internal antara Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian berkembang menjadi perpecahan etnis, agama, dan ekonomi.
Perebutan kekuasaan yang terjadi di daerah Darfur antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Nah, dimana letak perbedaan keduanya? SAF (Sudanese Armed Forces) adalah angkatan bersenjata resmi sudan, yang terbentuk setelah kemerdekaan sudan dari Inggris pada tahun 1956 yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan. Tentara ini, tediri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Unit Paramiliter.
Baca juga: Serangan Paramiliter di Sebuah Desa di Sudan Tewaskan 100 Orang
RSF (Rapid Support Forces) sebuah organisasi yang terbentuk pada tahun 2013 oleh Mohamed Hamdan Dagalo dikenal sebagai Hemedti, RSF itu sendiri adalah gabungan antara tentara, tentara bayaran, konglomerat perdagangan emas dan kendaraan untuk ambisi politik Hemedti.
Krisis Sudan disetiap Sudut
Sebelum terjadinya konflik, Sudan memang sudah menghadapi kritis kemanusian yang di akhibatkan oleh cuaca ekstrem, kerusuhan sosial dan politik, serta kenaikan harga pangan yang dapat mendorong kemiskinan dan kelaparan.
Pasca konflik yang terjadi yang sangat besar di mulai pada tanggal 15 April 2023 sampai sekarang ini, telah menyebabkan krisis manusia dengan skala yang begitu dahsyat.
Menurut angkat dari PBB pada Januari 2024, lebih dari 45 juta penduduk Sudan, sebanyak 5,9 juta orang menjadi sebagai pengungsi internal dan 1,4 juta orang mengungsi ke tempat yang aman, serta sebanyak 25 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, dengan krisis pangan yang mengancam resiko kelaparan.
Setiap harinya, jutaan kepala keluarga harus membuat pilihan yang sangat berat untuk memberi makanan ke keluarga mereka, sering kali menjalani kehidupan tanpa makan apa apun.
Krisis kelaparan dengan proporsi yang tidak bisa dibayangkan bukanlah sebuah kekhawatiran di massa depan, namun sebuah kenyataan yang terjadi saat ini terjadi di beberapa wilayah negara. Dalam kondisi yang semakin genting ini, komunitas internasional tampaknya terpecah antara keprihatinan dan ketidakmampuan untuk bertindak efektif.
"Konflik telah sangat merusak kemampuan masyarakat untuk bercocok tanam, mengganggu pasar, menyebabkan pengungsian massal, berdampak negatif pada pendapatan, dan membatasi akses terhadap bantuan, yang semuanya mengakibatkan jutaan orang kekurangan makanan," kata Shashwat Saraf, direktur darurat regional IRC Afrika Timur.
The Next genocide?
Negeri sudan yang berasal dari taduk Afrika sudah terkoyak hancur dikarenakan pertaruhan dua jendral, yang tak segan menghentikan atau membajak pengiriman bantuan dari negara lain untuk bantuan kemanusiaan bagi warga sipil.
Di pusat kota Darfur, Kota dengan penduduk setengah juta jiwa itu masih dikuasi oleh militer Sudan. Apa yang terjadi di barat sudan sudah mencapai dimensi pembersihan etnis, kaum sipil diserang, dibunuh, dan rumah di hancurkan karena warna kulitnya.
Salah seorang korban yang selamat dari pasukan RSF mengatakan bahwasnya mereka dieksekusi, ditembaki serta akan menyerang Massalit (nama kelompok etnis) dengan target mereka adalah laki-laki.
Setidaknya sebanyak 8.000 orang telah melarikan diri ke Chad, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, yang mengungsi akibat dari serangan di Darfur Barat terutama antara bulan April dan Juni.
Berdasarkan hukum internasional, serangan yang sengaja dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk pembunuhan, penganiayaan dan peminandahan secara paksa, dapat dituntut sebagai kejahatan perang dalam kata lain adalah genosida.
Jika tren ini terus berlanjut dan tidak ada respons yang kuat terhadap krisis internasional, sudan kemungkinan akan menjadi negara gagal dan akan menghadapi genosida besar-besaran.
Seluruh dunia terdiam kenapa?
Melihat apa yang sedang terjadi di sudan, menempatkan negara tersebut dalam ambang kehancuran. Melihat hal demikian, para penguasa dari belahan dunia seolah-olah buta akan hal tersebut, padahal banyak dari masyarakat sipil yang tidak berdosa yang menjadi korban dari konflik, serta banyak masyarakat yang susah mencari makanan dan anak-anak banyak yang putus dari pendidikan.
Sungguh ironis apa yang dirasakan oleh masyarakat sipil di sudan, menarik untuk dikaji kenapa para pemangku penguasa di dunia internasional terdiam dengan kejadian di Sudan, berikut faktornya:
Kompleksitas Politik
Konflik di Sudan sering kali rumit dan melibatkan banyak aktor dengan kepentingan yang beragam. Hal ini membuat komunitas internasional sulit mengambil tindakan yang cepat dan efektif.
Prioritas Global yang Berubah
Dunia internasional sering kali disibukkan oleh krisis lain di berbagai belahan dunia, seperti konflik di Timur Tengah, perubahan iklim, dan pandemi global. Perhatian terhadap Sudan mungkin tersisih oleh isu-isu yang dianggap lebih mendesak.
Kepentingan Strategis yang Terbatas
Beberapa negara mungkin tidak melihat Sudan sebagai prioritas strategis, baik dari segi politik, ekonomi, maupun keamanan. Ini mengurangi insentif bagi negara-negara tersebut untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan krisis di Sudan.
Predeksi Sudan ke Depan
Masa depan Sudan masih diselimuti ketidakpastian. Meskipun ada beberapa perjanjian damai telah ditandatangani, serta implementasinya masih terhambat oleh berbagai faktor. Ketegangan politik, pelanggaran hak asasi manusia, dan krisis ekonomi masih menjadi tantangan utama.
Hanya sebuah prediksi dari penulis, melihat konflik yang terus terjadi di Sudan yang sangat memanas belakangan ini yang dipicu oleh pihak internal antara presiden dan wakil presiden. Konflik yang terjadi secara internal dapat juga diselesaikan secara internal, seperti halnya Afrika Selatan, negara ini berhasil menyelesaikan konflik apartheid melalui proses rekonsiliasi nasional yang melibatkan semua pihak yang berkonflik.
Namun, perlu dicatat untuk menyelesaikan konflik secara internal bukan hal yang mudah, dibutuhkan komitmen yang kuat dari kedua belah pihak.
Jikalau dengan opsi tersebut tidak berhasil, maka dapat penulis gambarkan bahwa perperangan akan terus berlanjut, hingga pemenang akhir dari pertempuran ini akan menjadi Presiden Sudan berikutnya.
Sementara, pihak yang kalah akan mendapatkan pengasingan di tempat yang jauh atau bahkan mengalami kematian.
*) Penulis Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Peminat Komunikasi Internasional dan Isu-isu Global.
| Tuha Peuet, Suloh, dan Syarak: Modal untuk Pemilu Berintegritas |
|
|---|
| Mencegah Penyimpangan Perilaku Sosial pada Remaja |
|
|---|
| Memanfaatkan Agglomeration Economies sebagai Lokomotif Baru Pemerataan Ekonomi Aceh |
|
|---|
| Membaca Fenomena Bullying di Lembaga Pendidikan |
|
|---|
| Perlindungan Anak yang Terlalu Jauh, Kita Sedang Mencetak Generasi Rapuh |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Muhammad-Shiddiq-838.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.