Konflik Palestina vs Israel
Tolak Wajib Militer Israel, Rabi ke Murid Sekolah Yahudi: Jangan ke Kantor atau Jawab Telepon IDF
Pemimpin tinggi Yahudi ultra-Ortodoks Rabi Dov Lando menegaskan ke murid-murid yeshiva untuk tidak mengikuti wajib militer.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM - Pemimpin tinggi Yahudi ultra-Ortodoks Ashkenazi di Israel, Rabi Dov Lando menegaskan ke murid-murid sekolah Yahudi (yeshiva) untuk tidak mengikuti wajib militer sebagaimana putusan hakim Pengadilan Tinggi beberapa waktu lalu.
"Tidak boleh datang ke kantor wajib militer [IDF] sama sekali," tegas Rabbi Lando dilansir dari Times of Israel, Kamis (11/7/2024).
Menurutnya, patuh terhadap putusan hakim pengadilan sama saja dengan menyerah dalam perang melawan Tuhan dan Taurat-Nya.
"Maka para anggota yeshiva diperintahkan untuk tidak datang ke kantor wajib militer sama sekali atau menjawab panggilan apa pun," tulis Rabbi Lando.
Baca juga: Kecam Wajib Militer Bagi Siswa, Masyarakat Israel Turun ke Jalan hingga Serang Mobil Menteri
Baca juga: Anggota Parlemen Senior Israel Keceplosan soal Pemerintahan Negaranya Tidak akan Berumur Panjang
Diketahui Yahudi ultra-Ortodoks atau Yahudi Haredi adalah salah satu sekte yang menolak zionisme dan pertikaian seperti yang dilakukan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membunuh warga sipil, perempuan dan anak kecil tak berdosa di Gaza.
Sementara diberitakan sebelumnya, kemarahan Yahudi ultra-Ortodoks memuncak ketika isu pendaftaran murid yeshiva kembali menjadi agenda pemerintah di tengah perang yang sedang berlangsung melawan Hamas di Jalur Gaza.
Kaum Haredim marah kepada para anggota parlemen mereka sendiri yang notabenenya sebagai anggota koalisi, mendukung langkah baru-baru ini.
Langkah tersebut yakni menghidupkan kembali rancangan undang-undang dari parlemen sebelumnya, menurunkan usia wajib militer bagi siswa yeshiva ultra-Ortodoks dari 26 tahun menjadi 21 tahun.
“Kami tidak akan bergabung dengan tentara musuh,” demikian tulis spanduk yang dibawa ribuan demonstran ultra-Ortodoks berunjuk rasa di Yerusalem pada Minggu (30/6/2024).
“Kami akan mati dan tidak bergabung,” tulis di spanduk lainnya saat mereka memblokir persimpangan jalan menuju kawasan yang dihuni oleh penganut ultra-Ortodoks di ibu kota.
Dalam rapat umum utama di Shabbat Square, pimpinan Yeshiva Porat Yosef Sephardi terkemuka di Yerusalem mengecam anggota parlemen ultra-Ortodoks.
Hal ini karena memberikan suara mendukung RUU tersebut.
"Orang-orang bodoh ini ingin berkompromi? Kami bukan tuan tanah Taurat," kata Rabbi Moshe Tzedaka.
"Sama seperti seorang pelayan yang tidak berkompromi dengan tuan tanah, kami juga tidak akan berkompromi dengan Taurat," sambungnya.
Baca juga: Hampir Tiap Hari Militer Israel Tewas di Tangan Hamas saat Menjajah Gaza Palestina
Banyak orang Yahudi ultra-Ortodoks meyakini, wajib militer tidak sesuai dengan cara hidup mereka dan takut yang mendaftar akan disekulerkan.
Aksi protes tersebut, salah satu dari banyak aksi protes dalam beberapa bulan terakhir.
Hal ini muncul sebagai respons terhadap putusan penting Pengadilan Tinggi minggu lalu yang memerintahkan militer untuk mulai merekrut pria ultra-Ortodoks dan menghentikan pendanaan untuk yeshiva yang tidak mematuhi perintah tersebut.
Putusan Pengadilan Tinggi ini berarti bahwa setelah puluhan tahun kontroversi dan perselisihan politik dan sosial mengenai masalah ini, kini ada kewajiban hukum bagi pemuda Haredi untuk bergabung dengan sebagian besar rekan-rekan mereka di Israel dan bertugas di militer.
Anggota Parlemen Senior Keceplosan, Pemerintahan Israel Tak akan Berumur Panjang
Sementara pada kesempatan lain, diberitakan sebelumnya kalau anggota parlemen senior Israel, Moshe Gafni mengisyaratkan pemerintahan negaranya tidak akan berumur panjang.
Anggota parlemen dari United Torah Judaism atau koalisi Haredi Ashkenazi yang menolak zionisme dan pertikaian itu menyampaikannya langsung di Komite Keuangan (Banggar) Knesset, Senin (8/7/2024).
Awalnya dalam rapat itu, Moshe menanggapi Anggota Knesset (Parlemen Israel) Partai Yesh Atid, Naor Shiri mengenai alasan sekolah-sekolah di Kota Alma wilayah utara tidak diperkuat oleh pemerintah.
"Kekuatannya lemah," tuding Moshe terhadap pemerintahan Israel dilansir dari Times of Israel, Selasa siang.
Hal itu kemudian langsung dibalas oleh anggota parlemen dari partai politik Zionis liberal berhaluan tengah di Israel.
"Jika kamu lemah, rumah ini bisa dibubarkan," balas Shiri.
Pernyataan itu membuat Gafni keceplosan, "ke sanalah tujuan kita."
Komentar Gafni kemudian ia tarik kembali, pernyataan itu muncul hanya lima minggu setelah ia mengancam akan meninggalkan jabatannya sebagai ketua komite yang berpengaruh atas perselisihan mengenai pendanaan pendidikan ultra-Ortodoks.
Pernyataan itu tampaknya menjadi tanda keraguan terbaru di antara anggota koalisi garis keras Netanyahu bahwa mereka dapat terus menjaga persatuan pemerintah.
Berita Lainnya: IDF Deg-degan, Objek Mencurigakan Lewat Menuju Langit Israel
Sementara diberitakan sebelumnya objek mencurigakan lewat menuju langit Israel, sempat bikin Pasukan Pertahanan Israel (IDF) deg-degan.
Objek mencurigakan tersebut bergerak menuju Israel selatan dari arah timur.
Pihaknya mencegat target yang mencurigakan tersebut menggunakan jet tempurnya yang diduga bakal meledakan Israel.
"Objek tersebut tidak melintasi wilayah udara Israel dan tidak ada sirene yang diaktifkan," tulis IDF dalam keterangannya dilansir dari Times of Israel, Selasa (9/7/2024).
Militer Israel Kehabisan Amunisi hingga IDF Krisis SDM
Sementara diberitakan sebelumnya, media ternama di Amerika Serikat (AS), The New York Times membongkar kelemahan militer Israel, dalam laporannya menyebutkan kalau penjajah itu mulai kehabisan amunisi.
Pejabat keamanan Israel yang dikutip New York Times dalam laporannya juga menguraikan krisis sumber daya manusia yang dihadapi Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Surat kabar tersebut mengutip empat pejabat militer mengatakan, semakin sedikit prajurit cadangan yang melapor untuk bertugas karena perang di Gaza terus berlanjut.
Lima perwira juga mengatakan, para perwira semakin tidak percaya kepada komandan mereka setelah kegagalan tentara pada tanggal 7 Oktober lalu.
“Lima pejabat dan perwira disebutkan mengatakan Israel kehabisan amunisi,” tulis New York Times dilansir Times of Israel pada Rabu (3/7/2024).
Beberapa menambahkan, IDF kekurangan suku cadang untuk kendaraan militer, termasuk tank dan buldoser.
Dua perwira mengatakan bahwa karena kekurangan amunisi, tank Israel di Gaza tidak terisi penuh.
Netanyahu menimbulkan krisis dengan Amerika Serikat selama dua minggu terakhir setelah menuduh Gedung Putih melakukan pengurangan pengiriman senjata ke Israel.
Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang mengunjungi Washington minggu lalu, mengatakan bahwa "kemajuan signifikan" telah dicapai dalam menyelesaikan krisis tersebut.
Mantan penasihat keamanan nasional Israel, Eyal Hulata mengatakan kepada The New York Times bahwa Israel masih mampu melawan Hizbullah.
"Jika kita terseret ke dalam perang yang lebih besar, kita memiliki cukup sumber daya dan tenaga kerja," kata Hulata.
"Namun, kami ingin melakukannya dalam kondisi terbaik yang kami bisa. Dan saat ini, kami tidak memiliki kondisi terbaik," sambungnya.
Semua petugas yang diwawancarai dikatakan setuju dengan penilaian Hulata.
Ketegangan meningkat dengan kelompok pejuang Hizbullah yang didukung Iran selama berminggu-minggu.
Kebakaran melanda wilayah utara pada Senin lalu setelah roket yang diluncurkan dari Lebanon memicu berkobarnya api, rentetan 15 proyektil menghantam kota Kiryat Shmona yang sebagian besar telah dievakuasi pada Selasa.
Mantan anggota kabinet perang Benny Gantz memperingatkan pada Senin lalu bahwa Lebanon dapat segera mulai merasakan perang jika gagal mengendalikan Hizbullah.
Pernyataan Gantz muncul dua minggu setelah IDF mengatakan komandan seniornya telah menyetujui rencana serangan ke Lebanon.
Kemudian pada hari itu, kepala Hizbullah Hassan Nasrallah mengatakan "tidak ada tempat" di Israel yang aman dari rudal kelompok teror tersebut.
Sementara itu, seorang penasihat senior Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, dikutip di Financial Times pada hari Selasa mengatakan bahwa Republik Islam akan mendukung Hizbullah dengan segala cara jika Israel melancarkan perang di Lebanon.
Laporan itu muncul beberapa hari setelah misi Teheran di PBB mengancam akan " melakukan perang besar-besaran terhadap Israel jika Israel melakukan agresi militer skala penuh di Lebanon.
IDF Percaya Hentikan Perang Cara Terbaik Bebaskan Tawanan
Pejabat di Israel kini tengah pecah kongsi dan kembali menunjukkan tanda terbaru soal keretakan antara IDF dan Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu.
Dilaporkan bahwa, para petinggi militer Israel ingin melihat gencatan senjata (menghentikan perang) di Gaza Palestina, bahkan jika kelompok pejuang Islam Hamas tetap menguasai Jalur Gaza sekalipun.
Hal itu sebagaimana mengutip enam pejabat keamanan saat ini dan sebelumnya berdasarkan laporan The New York Times.
Para jenderal tersebut dikatakan percaya, gencatan senjata permanen adalah cara terbaik untuk membebaskan para sandera yang masih ditawan Hamas.
Mereka juga dilaporkan mengatakan bahwa IDF perlu mengisi kembali persediaan sebelum konflik yang lebih luas dengan Hizbullah diperkirakan terjadi.
Sebab upaya diplomatik sejauh ini gagal meredakan kekhawatiran akan potensi perang di Lebanon.
The New York Times tidak menyebutkan sejauh mana para jenderal telah mendesak posisi tersebut kepada Netanyahu, yang telah berulang kali berjanji untuk terus berjuang hingga "kemenangan total."
Perdana menteri itu juga mengatakan bahwa Israel sedang kekurangan amunisi, dan menuduh bahwa Gedung Putih menahan pasokan senjata dari negara tersebut.
Laporan The Times merupakan indikasi terbaru adanya keretakan antara Netanyahu dan petinggi militer mengenai perang melawan Hamas.
Sementara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dengan cepat menanggapi bahwa ini bukanlah pilihan.
Dalam sebuah pernyataan, Netanyahu mengecam sumber anonim yang berbicara kepada media AS tersebut.
"Saya tidak tahu siapa saja pihak-pihak yang tidak disebutkan namanya itu, tetapi saya di sini untuk menjelaskannya dengan tegas: hal itu tidak akan terjadi," kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan video.
"Kami akan mengakhiri perang hanya setelah kami mencapai semua tujuannya, termasuk penghapusan Hamas dan pembebasan semua sandera kami," sambungnya.
“Eselon politik telah menetapkan tujuan-tujuan ini untuk IDF,” lanjutnya, “dan IDF memiliki semua cara untuk mencapainya.
"Kami tidak akan menyerah pada kekalahan, baik di The New York Times maupun di tempat lain. Kami dipenuhi dengan semangat kemenangan," simpulnya.
IDF juga menanggapi laporan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka "bertekad untuk terus berjuang hingga mencapai tujuan perang.
"Menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, membawa kembali sandera kami, dan mengembalikan penduduk di utara dan selatan ke rumah mereka dengan selamat," sebut IDF dalam sebuah pernyataan.
“IDF akan terus memerangi Hamas di Jalur Gaza, sambil terus meningkatkan kesiapan kami untuk berperang di utara, dan mempertahankan semua perbatasan kami,” lanjutnya.
Selama kunjungan ke Gaza Selasa kemarin, Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Herzi Halevi mengatakan bahwa operasi di Rafah di wilayah kantong selatan itu akan memakan waktu.
"Kami menghitung di Brigade Rafah [Hamas], apa yang kami lihat dengan mata kepala kami sendiri, lebih dari 900 Hamas tewas," kata Halevi kepada pasukan di pangkalan logistik terdepan.
"Termasuk komandan, sedikitnya satu komandan batalyon, banyak komandan kompi, dan banyak operator," sambungnya.
Kepala Staf IDF itu mengatakan, militer akan terus menghancurkan infrastruktur Hamas di Rafah, termasuk terowongannya.
"Butuh waktu, jadi operasi ini panjang karena kami tidak ingin meninggalkan Rafah dengan infrastrukturnya," imbuh Halevi.
Netanyahu Terang-terangan Ingin Dirikan Pemerintah Sipil di Gaza
Sementara diberitakan sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu secara terang-terangan menyampaikan ingin mendirikan pemerintah sipil di Gaza pasca-perang tanpa melibatkan Otoritas Palestina (PA).
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam beberapa minggu terakhir secara pribadi telah menarik kembali penentangannya terhadap keterlibatan individu-individu yang terkait dengan Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza setelah perang melawan Hamas.
Hal ini sebagaimana disampaikan tiga pejabat yang mengetahui masalah tersebut kepada The Times of Israel, dilansir pada Selasa (2/7/2024).
Perkembangan ini terjadi setelah kantor Netanyahu selama berbulan-bulan mengarahkan lembaga keamanan untuk tidak memasukkan otoritas Palestina dalam rencana apa pun untuk pengelolaan Gaza pasca-perang.
Dua pejabat Israel itu mengatakan, perintah tersebut secara signifikan menghambat upaya untuk menyusun proposal realistis pasca-perang yang dikenal sebagai "hari setelahnya."
Secara terbuka, Netanyahu terus menolak gagasan kekuasaan otoritas Palestina atas Jalur Gaza.
Dalam wawancara yang dimuat Channel 14 minggu lalu, perdana menteri Israel itu tidak akan mengizinkan negara Palestina didirikan di wilayah pesisir tersebut.
"Tidak siap untuk memberikan [Gaza] kepada PA," ucap Netanyahu.
Sebaliknya, dia mengatakan kepada jaringan sayap kanan bahwa ia ingin mendirikan pemerintahan sipil di Gaza.
“Pemerintahan sipil, jika memungkinkan dengan warga Palestina setempat dan mudah-mudahan dengan dukungan dari negara-negara di kawasan tersebut,” ucap Netanyahu.
Namun secara pribadi, para pembantu utama Netanyahu menyimpulkan, individu-individu yang memiliki hubungan dengan PA adalah satu-satunya pilihan yang layak bagi Israel jika ingin mengandalkan warga Palestina setempat untuk mengelola urusan sipil di Gaza pasca-perang.
Hal itu sebagaimana dikonfirmasi dua pejabat Israel dan satu pejabat AS selama seminggu terakhir.
“Warga Palestina Lokal adalah kode untuk individu yang berafiliasi dengan PA,” kata seorang pejabat keamanan Israel.
Dua pejabat Israel menjelaskan, individu yang dimaksud adalah warga Gaza yang digaji oleh PA yang mengelola urusan sipil di Jalur Gaza hingga Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007, dan sekarang sedang diselidiki oleh Israel.
Pejabat Israel lainnya mengatakan kantor Netanyahu mulai membedakan antara pimpinan PA yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dengan pegawai Otoritas Palestina tingkat bawah yang merupakan bagian dari lembaga yang sudah ada di Gaza untuk urusan administratif.
Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dianggap belum secara terbuka mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.